Rencana pemerintah melebur Badan Layanan Umum Pusat Investasi Pemerintah (BLU PIP) ke dalam PT. Sarana Multi Infrastruktur (PT. SMI) membuat wacana divestasi Newmont semakin buram. Padahal PIP adalah satu-satunya pihak yang bersedia dan siap untuk membeli saham Newmont sebesar 7 persen tersebut. Rencana ini pada akhirnya membuat peluang negara menguasai saham maksimal di Newmont semakin jauh. Sementara kita semua tahu, proses divestasi sangat berbelit dan penuh tendensi politik. Bahkan dinamika ini telah menyeret beberapa lembaga negara utama sekaligus dan belum mecapai titik terang penyelesaian.
Tulisan ini tidak berhasrat mengurai benang kusut wacana debat yang berkisar pada keriuhan politis, namun bertekad menjadi pengingat skenario. Apa pasal? Perdebatan riuh politis tersebut tidak memberikan dampak signifikan bagi kemaslahatan warga masyarakat di NTB khususnya, bahkan dalam lokus lebih luas masyarakat sekitar tambang di seluruh wilayah republik. Melalui tulisan ini, penulis menyampaikan kekhawatiran terbesar terkait ujung divestasi ini. Sementara pemerintah pusat semakin gamang dan terkesan tidak serius, BUMD PT. Daerah Maju Bersaing (PT. DMB) juga dipertanyakan kompetensi legalnya melakukan akuisisi sisa saham.
Celah Yuridis
Ada dua celah yuridis yang melingkupi persoalan ini. Pertama, soal kelembagaan PT. SMI. Sebagai perusahaan perseroan, SMI memiliki fokus bisnis pembiayaan yang jelas yakni bergerak di sektor infrastruktur. Apalagi dengan fokus kebijakan pemerintah yang memprioritaskan pembangunan infrastruktur, menjadi kian sulit untuk mengandalkan PT. SMI. Dari sisi bisnis, divestasi juga akan mendapat tantangan sangat berat sebab perdebatannya akan memasuki perkara untung-rugi. Wacana komersil terkait divestasi ini akan mendasarkan pada perhitungan rasional terkait keuntungan yang bakal didapat pemerintah apabila melakukan akuisisi saham.
Padahal divestasi adalah perintah undang-undang dan mesti dilakukan. Nalar legal inilah yang menjadikan peleburan BLU PIP ke dalam PT. SMI semakin menjauhkan usaha divestasi Newmont. Sebagai BLU, sudah sepatutnya PIP melakukan akuisisi sebab lokusnya adalah lokus hukum, bukan ranah bisnis. Perkara divestasi bukanlah soal untung-rugi namun amanat konstitusi yang bersandar pada penguasaan negara akan sumber daya alam, termasuk dalam hal ini penguasaan manajemen Newmont, selain memperbesar jumlah dividen.
Kedua, kesiapan BUMD. Berdasarkan konsiderans menimbang Perda No. 4/2010 tentang Perseroan Terbatas Daerah Maju Bersaing (Perda PT. DMB), pembentukan BUMD PT. DMB terjadi dalam dua tahapan. Pertama, adanya kerjasama di antara para pihak―Pemda NTB, Sumbawa, dan Sumbawa Barat―dalam membentuk perseroan terbatas. Kerjasama tersebut ditandai terbitnya Surat Kesepakatan Bersama bernomor: 415.4/229/KESDA, 500/70/EKBANG/2009, dan 21 Tahun 2009 dan pembentukannya tunduk pada ketentuan UU No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT). Terkait legalitasnya, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat (4) dan tertera dalam Pasal 2 ayat (1) Perda PT. DMB, legalitas PT. DMB diakui dengan adanya keputusan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia bernomor: AHU-32640.AH.01.01 Tahun 2009.
Dalam hal pembentukannya, BUMD ini juga potensial memiliki masalah hukum. Kerjasama pembentukan BUMD didasarkan pada kesepakatan bersama nomor: 500/204/KESDA, Nomor 161/02/KSB/2010, dan Nomor 27 Tahun 2010 yang ditetapkan melalui Perda Provinsi. Konsiderans ini menimbulkan ambivalensi hukum. Terlepas dari kekeliruan teknis pengundangan perda dalam lembaran daerah, dapat dikatakan bahwa BUMD PT. DMB dibentuk tanpa melalui instrumen perda di tingkatan Pemda Sumbawa dan Sumbawa Barat. Selanjutnya mengenai maksud pembentukan BUMD PT. DMB dalam hal akuisisi saham divestasi Newmont, menurut ketentuan Pasal 5 ayat (2) Perda PT. DMB dibentuk dengan maksud untuk melakukan kerjasama dengan pihak ketiga, yang dalam hal ini adalah PT. Multi Capital (Pasal 6 ayat 1 huruf a).
Dengan demikian, keberadaan BUMD PT. DMB memicu polemik hukum, yakni terkait manifestasi praktis kerjasama antardaerah dalam pembentukan BUMD dan tentang kedudukan pemerintah daerah dalam konteks kerjasama dengan PT. Multi Capital.
Sebagaimana disinggung di awal, dua tahap pembentukan BUMD yang ditandai terbitnya dua kesepakatan bersama dan klausula Perda tentang kerjasama dengan PT. Multi Capital menjelaskan dua posisi pemerintah. Tafsir posisi tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 1653 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer), bahwa apakah Pemda sedang berposisi sebagai badan hukum yang “diadakan” oleh pemerintah/kekuasaan atau sebagai badan hukum yang “didirikan” untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang dan/atau kesusilaan.
Praksis posisi tersebut berimplikasi pada peran Pemda yang berbeda. Bahwa dalam kapasitasnya sebagai badan hukum (pemerintah), sah-sah saja ketiga Pemda bekerjasama membentuk PT. DMB. Namun konsep badan hukum tersebut berhenti persis ketika PT terbentuk. Sehingga dalam hal pembentukan BUMD, acuan yuridisnya bukan lagi KUHPer, melainkan mekanisme pemerintahan sebagaimana ketentuan yang diatur oleh UU Pemda.
Demikian juga pascaterbentuknya BUMD, selaku pemegang saham PT. DMB, Pemda yang sedang berlaku sebagai badan hukum (perseroan) sejatinya memiliki posisi yang sama dan sejajar dengan PT. Multi Capital dalam kerjasama ekonomi. Dan memunculkan soal mengenai efektivitas dan keterikatan hukum Perda. Berdasarkan ketentuan Pasal 195 ayat (4) UU Pemda (UU 32/2004), kerjasama daerah dengan daerah lain yang membebani masyarakat dan daerah harus mendapatkan persetujuan DPRD, yang lebih lanjut diatur dalam klausula Pasal 9 PP No. 50/2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Daerah, berlaku ketentuan apabila biaya kerjasama tersebut belum teranggarkan dalam APBD tahun anggaran berjalan.
Lantas, apakah kerjasama ini membebani daerah? Dalam penjelasan Pasal 9 PP No. 50/2007 tersebut, yang dimaksud dengan membebani daerah adalah biaya kerjasama berasal dari APBD. Sementara apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) Perda PT. DMB, modal yang ditempatkan dan disetor merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan dan bersumber dari APBD tahun anggaran 2009. Artinya, celah apologis berupa surat kesepakatan bersama PT. DMB belum cukup dijadikan sebagai landasan tidak perlunya persetujuan DPRD Sumbawa dan Sumbawa Barat dalam proses pembentukan BUMD PT. DMB.
Pada akhirnya, kita akan kembali bertanya kemana ujung divestasi ini, yang sejatinya telah jelas dan tegas diamanatkan oleh UU Minerba.
Arifuddin Hamid
Mahasiswa Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
Dimuat Suara NTB, 16 Februari 2015.