Sengkarut tata kelola dan niaga minyak bumi telah menjadi endemi dalam pengelolaan industri minyak nasional. Ini adalah bom waktu dari lemahnya kemauan politik dari pemangku kebijakan mewujudkan kemandirian energi. Padahal, isu kemandirian bukan soal determinasi faktual cadangan minyak, namun perkara kehendak untuk meningkatkan daya dukung energi. Kita selalu berkelit dengan melakukan repetisi narasi: produksi minyak kita seret.  

Sejatinya, pilihan kebijakan haruslah berlandaskan pada prioritas pemenuhan kebutuhan domestik. Minyak, sebagai sumber energi utama, adalah hajat hidup rakyat yang mestinya menjadi prioritas bagi negara. Kebutuhan rumah tangga dan industri terhadap minyak semakin meninggi setiap tahun. Ini berarti, dinamika dalam persoalan minyak akan langsung berpengaruh terhadap perekonomian rakyat. Perubahan harga sangat berdampak pada daya beli dan tingkat kemiskinan.  

Fakta ini sejatinya menjelaskan perlunya pemerintah mencari kebijakan yang pro terhadap kebutuhan domestik. Semua instrumen kebijakan harus diarahkan pada pemenuhan hal tersebut. Bahwa jika defisit, maka defisitnya ditekan agar jangan terlalu besar. Hal ini sesuai dengan amanat Pasal 33 UUD 1945 yang pada intinya mewajibkan semua kekayaan negara, termasuk minyak, digunakan secara prioritas dan konfidensial untuk kebutuhan bangsa. Terlebih komoditasnya terbatas. Tren impor minyak yang telah berlangsung bertahun-tahun harus dimitigasi sedemikian rupa, sehingga kebutuhan energi domestik dapat dipenuhi.  

Menjaga Ketahanan Energi  

Minyak masih menjadi sumber energi utama dalam aktivitas perekonomian. Tanpanya, ekonomi akan lumpuh, kehidupan rakyat menjadi tidak stabil. Dalam jangka panjang, ini akan melemahkan negara. Ini adalah postulat baku yang empiris. Menjaga ketersediaan minyak adalah menjaga pertahanan dan kedaulatan negara. Jika kita lemah dan lengah, maka masa depan republik adalah pertaruhannya.  

Dalam studi Hafsi, dkk (2021) yang membahas hubungan antara produksi minyak dan pertumbuhan ekonomi di negara-negara teluk selama kurun waktu 1960-2018, menemukan bahwa peningkatan produksi minyak sebesar 1 persen meningkatkan PDB sebesar 0,125 persen. Dari sisi konsumsi, Susilo, dkk (2024) menyimpulkan bahwa konsumsi minyak punya dampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Setiap kenaikan 1 persen dalam konsumsi minyak akan meningkatkan PDB per kapita sebesar 0,7 persen.   

Berbagai riset tersebut menunjukkan bahwa peningkatan produksi menjadi sebuah hal yang  penting dan mendesak dilakukan. Hal ini juga meniscayakan efisiensi dalam konsumsi minyak, terutama bagi negara-negara yang konsumsi minyaknya sangat tinggi, seperti Indonesia. Semakin beralasan karena target pertumbuhan ambisius pemerintah akan berdampak nyata terhadap tingginya konsumsi minyak. Kedua faktorial ini punya relasi kausalitas yang nyata. Oleh karena itu, tingginya konsumsi minyak harus ditopang oleh peningkatan produksi. Ini perlu dilakukan agar defisit neraca perdagangan dapat ditekan dan cadangan devisa tetap terjaga.   

Konsep ketahanan energi memang tidak mempersoalkan asal atau pasokan sumbernya. Meskipun produksi minyak di suatu negara sangat minim, sepanjang negara itu mampu memenuhi pasokan minyak, maka disebut ketahanan energinya solid. Ini adalah referensi yang jamak dipahami. Namun dalam dunia yang semakin berubah dan tidak berkepastian, Indonesia tidak dapat lagi bersandar pada konsep ketahanan energi. Dalam jangka panjang, pemerintah mesti memikirkan kebutuhan energi yang mandiri dan berdaulat. Dalam konteks inilah perlunya intensifikasi energi.  

Dua Pilihan  

Kita memahami bahwa produksi minyak kita terbatas. Maka pilihannya ada dua. Pertama, keterbatasan produksi minyak aktual meniscayakan pencarian ladang minyak yang baru. Kita masih punya cadangan minyak yang cukup melimpah. Meski potensi minyak berada di laut dalam dan relatif berbiaya mahal, upaya produksi ini mesti dilakukan. Kita perlu memahami bahwa kebergantungan pada energi fosil masih sangat tinggi. Menggerakkan sektor produksi membutuhkan pasokan energi.  

Dalam lanskap geopolitik, kompetisi ekonomi di tingkat regional dan global akan semakin memanas. Lagi-lagi, negara yang punya kestabilan dan daya dukung energi akan mampu bertahan dan menjadi negara yang disegani. Maka intervensi teknologi dan permodalan adalah sebuah kemestian. Pemerintah harus punya komitmen yang solid dalam pembiayaan eksplorasi dan produksi minyak. Di sisi lain, kolaborasi dan alih teknologi harus menjadi prasyarat kunci dalam investasi minyak. Pertamina sebagai operator minyak milik negara harus dipacu untuk meningkatkan daya saingnya.  

Banyak studi proyeksi yang menyatakan permintaan minyak global akan semakin meningkat ke depannya. International Energy Agency (2024) memprediksi permintaan minyak global akan meningkat sebesar 3,2 juta barel per hari antara 2023 dan 2030. Dalam jangka panjang, permintaan minyak global akan naik hampir 18 juta barel per hari, dari 102,2 juta barel per hari pada 2023 menjadi 120,1 juta barel per hari pada 2050. Pertumbuhan ini sebagian besar akan datang dari kawasan seperti India, Asia lainnya, Afrika, dan Timur Tengah (OPEC, 2024). Hal ini berdampak pada meningkatnya keekonomian produksi minyak lepas pantai.  

Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Financial Times (2024), misalnya, menyatakan bahwa investasi global dalam pengeboran laut dalam mencapai $104 miliar pada 2024, meningkat hampir 50% dibandingkan 2020. Angka ini diproyeksikan naik menjadi $140 miliar pada 2030. Bahkan, produksi minyak dan gas dari laut dalam diperkirakan akan meningkat lebih dari 60 persen antara tahun 2022 dan 2030 (Wood Mackenzie, 2022). Ini relevan dengan kondisi Indonesia yang cadangan minyak terbukti dan potensialnya mengarah ke laut dalam.  

Kedua, meningkatkan kapasitas pengolahan minyak. Ini dilakukan melalui optimalisasi kilang minyak dan menambah jumlah kilang. Jika melihat Laporan Kinerja Kementerian ESDM (2024), kapasitas kilang minyak domestik pada 2024 hanya 1,18 juta barel per hari. Artinya, dengan total konsumsi 1,46 juta barel per hari, ada defisit 280 ribu barel per hari yang dipenuhi dari importasi. Fakta ini menjelaskan adanya paradoks berganda dalam pemenuhan konsumsi, yakni tetap berjalannya ekspor minyak dan importasi hasil minyak yang berdampak pada pemborosan uang negara.  

Pemerintah semestinya tegas untuk melarang ekspor minyak. Ini berarti  semua minyak yang diproduksi oleh kontraktor (KKKS) harus diolah di berbagai kilang dalam negeri. Selain itu, pemerintah juga harus memprioritaskan impor minyak mentah ketimbang hasil minyak, sampai pembangunan kilang baru mencukupi kapasitas konsumsi. Dengan demikian, selisih harga importasi yang menguras cadangan devisa dapat diperkecil. Pengolahan minyak mentah harus ditafsirkan sebagai wujud nyata dari hilirisasi energi, sebagaimana yang dicanangkan pemerintah.   

Jika kedua langkah tersebut dilakukan dengan konsisten, kita mungkin akan bersorak. Target pertumbuhan ekonomi tercapai, keberlanjutan fiskal tetap terjaga. Semoga. 

Arifuddin Hamid 
Direktur Eksekutif Prolog Initiatives, Alumnus Magister Perencanaan Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan FEB UI 

Dimuat Katadata, 12 Mei 2025 


Profil
Arifuddin Hamid menulis di berbagai media dan jurnal akademik, serta profesional di berbagai institusi sipil dan pemerintahan. Menyelesaikan pendidikan sarjana (S1) di Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan pendidikan magister (S2) di Program Studi Magister Perencanaan Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan (MPKP) Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia.

Publikasi

Publikasi Kolom