Judul: Paradoks Rasionalitas: Perluasan Ruang Lingkup Keuangan Negara dan Implikasinya terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah
Penulis: Dian Puji N. Simatupang
Penerbit: Badan Penerbit FHUI, Depok
Cetakan: Pertama, 2011
Tebal: xv; 394 hal; 25 cm
ISBN: 978-979-8972-42-3
Buku yang diangkat dari disertasi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) ini secara umum bersubstansi gugatan. Sebuah catatan kritis atas carut marutnya formulasi konsep keuangan negara secara positivistik. Gugatan atas hasil kinerja wakil rakyat yang kadung melenceng dari idealitas konsepsi mengenai hukum dan hubungannya dengan keuangan negara. Membaca paragraf-paragraf awal buku ini, akan diketahui bagaimana alur pikiran penulis dalam keseluruhan isi buku. Sekali lagi, buku ini adalah gugatan atas formulatik yuridis mengenai bagaimana keuangan negara berarah.
Buku ini berangkat dari postulat vis a vis, antara konseptualitas badan hukum dengan rumusan legalistik tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Dengan berangkat dari ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 pascaamandemen, “Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Dari tilikan kritis atas frase ‘wujud dari pengelolaan keuangan negara,’ penulis mencoba melakukan kajian dengan pendekatan konseptual-normatif. Banyak pakar yang mempertentangkan frase tersebut, utamanya terkait tafsiran organik yang kemudian menjadi rumusan formil dalam berbagai peraturan perundang-undangan pelaksananya.
Namun demikian, buku ini ternyata tidak dimaksudkan sebagai derivasi lanjutan atas pertentangan yang ada, melainkan sinkronisasi konseptual atas frase tersebut yang menjadi titik tolak konsep bahasan. Oleh karenanya, buku ini bukanlah suatu perdebatan dalam aras konstitusi, melainkan upaya konfrontasi legal antara konstitusi dengan peraturan organiknya kemudian. Apabila memerhatikan masalah penelitian yang diajukan penulis (hal. 22-23), secara berterus terang perdebatannya bertujuan sebagai suatu “academic review,” mencoba mengambil sikap atas berbagai pengaturan peraturan setingkat undang-undang.
Penulis dengan tegas mengambil sikap, rezim keuangan negara yang diperluas sebagaimana ketentuan dalam UU. No. 17 Tahun 2003 tentang UU Keuangan Negara (UU 17/2003) menabrak konsep badan hukum yang berwujud badan usaha milik negara dan daerah (BUMN/BUMD), termasuk kaitannya dengan status dana transfer ke daerah (APBD). Sehingga buku ini kemudian juga menyoal risiko dan aspek pertanggung jawaban keuangan negara. Berangkat dari sikap demikian, penulis mencoba membantah ‘kekeliruan’ rumusan legalistik dalam UU termaksud dengan menyatakan, ada yang salah dengan normatif ini. Rumusan yang ada berpotensi menimbulkan resiko fiskal, selain akan merepotkan mekanisme pertanggung jawabannya.
Selain dengan UU 17/2003, penulis juga mengkonfrontir konsep badan hukum dengan definitif korupsi semenjak tahun 1973 sampai ketentuan terakhir (UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001). Secara sederhana dapat dikemukakan, bahwa penulis hendak menyatakan, rezim keuangan negara dengan berbagai peraturan perundang-undangan pengaturnya cacat konsep dan berbahaya. Bahaya tersebut tercemin dalam beratnya tanggungan hukuman yang harus dipikul oleh administratur pengelola dan paksaan untuk negara menanggung resiko fiskal yang diluar keterlibatannya.
Misalnya beberapa pertanyaan kritis yang diajukan penulis, apakah kemudian kerugian transaksi ekonomi yang diakibatkan oleh BUMN kepada pihak kedua harus juga ditanggung oleh negara? Apakah kemudian tanggungan ini suatu fait accompli (keharusan tak tertolak) yang memang seadanya demikian? Pertanyaan-pertanyaan mendasar ini menegaskan adanya bias implementasi dari legalistik keuangan negara.
Padahal negara tidak saja bertindak sebagai badan publik, namun jua berposisi sebagai badan privat. Konteks teoritik inilah yang menjadi landasan pembentukan BUMN, termasuk BUMD. Dalam era yang semakin ekonomistik ini, meredusir peran negara justru mengabaikan idealitas perlunya suatu negara. Sebagai badan privat, negara berhak mendapat keuntungan guna memastikan dana bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat terjamin. Oleh karenanya, peran negara sebagai badan publik dan privat bukanlah peran yang substitutif, melainkan bersifat kompelementer (saling melengkapi).
Namun demikian, peran ganda ini tidak berarti negara hadir di semua aspeknya. Konteks manajerial dengan aspek tujuan adalah dua hal yang berbeda, yang kalau dicampur-aduk justru kontraproduktif dan berisiko. Risiko ini, yakni non-state obligatory expenditure, mis-assets, dan mal-responsibility (hal. 41), berpotensi membangkrutkan keuangan negara. Adanya teori badan hukum menjadi konsep praksis mengatur pembagian peran tersebut. Sebagai badan privat, potensi risiko yang dapat menjalar menjadi persoalan keuangan negara dapat ditepis, sehingga risiko tersebut berhenti pada posisi negara sebagai badan privat (BUMN/BUMD).
Selain pada persoalan manajemen, kisruh kemudian juga terjadi pada aspek pemeriksaan, terutama menyangkut instansi pemeriksa. Adanya rumusan Pasal 2 UU No. 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara bahwa “Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara,” bertolak belakang dengan laiknya suatu perusahaan perseroan yang pemeriksaan atasnya dibebankan pada institusi khusus di luar ranah negara. Dalam ketentuan Pasal 6 ayat (2) UU No. 19/2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, pengawasan BUMN merupakan domain kewenangan Komisaris dan Dewan Pengawas.
Implikasi luasnya lingkup keuangan negara ini secara praksis pernah terjadi dalam kasus hukum antara PT. Pertamina dan PT. Karaha Bodas Company (PT. KBC). Selaku pihak penggugat, PT. KBC membawa persoalan ini pada pengadilan arbitrase internasional. Parahnya, klaim ganti kerugian ini diputus sejalan sesuai dengan tuntutan PT. KBC. Dan putusan Mahkamah Agung kembali menguatkan putusan arbitrase tersebut. Namun terlepas dari proseduralistik maupun substansi kasus ini, yang menarik dan penting untuk dicermati adalah potensi kerugian negara yang didasarkan pada klausula Pasal 2 huruf I UU. No. 17/2003, “kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.” Faktanya, ganti kerugian PT. pertamina juga ikut ditalangi oleh dana APBN.
Klimaks Konstitusionalitas?
Konsep keuangan negara sebagaimana diatur dalam paket peraturan perundang-undangan yang ada menyimpan sekam sengketa yang rawan. Oleh karenanya, mendiamkan persoalan ini tentu saja bukanlah langkah bijak. Sementara di sisi lain, pihak-pihak yang terpanggil merasa perlu melakukan permohonan hukum, ada yang salah (?)! Pengajuan permohonan juducial review beberapa waktu lalu barangkali menjadi klimaks perdebatan wacana, sekaligus upaya pembongkaran konsepsi atas keantahan normatif.
Sengkarut ini ternyata telah dua kali diajukan kepada Mahkamah Konstitusi (MK), yakni oleh Forum Hukum BUMN dengan menyasar kepastian ketertundukan hukum BUMN dan oleh sejumlah akademisi UI yang tergabung dalam Center for Strategic Studies UI dengan pokok soal lebih luas menyangkut definistik keuangan negara. Terutama terkait permohonan persoalan definistik, landasan konstitusionalitasnya berpotensi dilematis. Rumusan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 yang sering dijadikan sebagai pangkal acuan justru menjadi bagian dari persoalan. Bahwa APBN merupakan “wujud pengelolaan keuangan negara,” bukan “wujud keuangan negara.” Frase tersebut berpretensi interpretatif, kabur, dan tentu saja mengundang polemik.
Fakta konstitusi ini kadung memunculkan kesulitan yang lain, yakni norma apa dan terhadap yang mana norma tersebut bertabrakan? Bahwa normatif paket perundang-undangan di bidang keuangan negara sebagai peraturan organik atas konstitusi 1945 menafsirkan keuangan negara yang meluas, menyisa polemik berbahaya bagi kelangsungan fiskal. Sementara di saat bersamaan, celah yuridis bagi penyelesaian persoalan tersebut sulit ditemui. Atau justru solusinya bukanlah pada pengajuan permohonan pembatalan (judicial review), melainkan pada gugatan politis melalui amandemen konstitusi?
Arifuddin Hamid
Alumnus Fakultas Hukum UI
Jakarta, 20 Juli 2013