Ada dua kegusaran yang mendasari tulisan ini. Saya sangat gusar dengan komitmen dan daya inovasi pemerintah kita, yang bahkan dalam ranah perhelatan formal, masih sangat malas untuk menjaring peluang bisnis dan investasi.
Kegusaran pertama saya adalah soal kopi. Dalam satu kesempatan di Istora Senayan, Jakarta, saya menyempatkan diri untuk menemui kawan yang kebetulan sedang disibukkan dan menjadi tim pelaksana salah satu acara. Sebagai kawan yang sudah cukup dekat dari bangku kuliah, saya banyak bertanya tentang acara yang sedang diadakan. Ternyata kawan tersebut sedang menyiapkan satu perhelatan yang segera menarik perhatian saya: Pameran Kopi. Lebih lengkap acara ini bertema “Membangun Kemitraan Bisnis dan Investasi Kopi dan Coklat di Daerah Kabupaten” dan sebagai bagian dari seri agribisnis kegiatan promosi Apkasi International Trade Investment Summit. Sebagai pecinta kopi, saya membayangkan akan sangat menarik seandainya saya mencicipi berbagai cita rasa kopi yang dipamerkan di keesokan dan lusa harinya (6-7 Desember 2014).
Setelah melihat dan berkeliling setiap stand pameran, saya sampai pada perasaan tergelitik. Ternyata tidak ada stand kopi dan coklat dari pemerintah daerah di Nusa Tenggara Barat. Saya pun kembali menyampaikan pada kawan tersebut dan menginformasikan bahwa daerah saya juga memiliki komoditas kopi yang sudah sangat terkenal: Kopi Rinjani dan Kopi Tambora. Dan dengan nada protes, mengapa daerah saya tidak diundang sementara jelas-jelas ada stand Kopi Flores dari Nusa Tenggara Timur dan Kintamani Bali? Bukankah acara ini inisiatif Apkasi sebagai asosiasi resmi pemerintah kabupaten di seluruh Indonesia? Fakta inilah yang membuat saya sangat miris dan saya sampai pada satu kesimpulan: pemerintah saya terkucilkan!
Konon, kualitas kopi di NTB sudah masuk kategori premium (specialty). Sebagai kopi terbaik, wajarnya dikenal dalam jagad perkopian nusantara bahkan global. Kalau syarat terkenal (brand awareness) ini belum terpenuhi, minimal kualitas objektifnya teruji. Namun faktanya, harga jual kopi NTB sangat rendah sehingga nilai tambahnya bagi perekonomian daerah juga sangat kecil. Perkara ini berjalan episodik dan pada akhirnya bersifat endemik.
Kegusaran kedua saya menyangkut tambang. Kegusaran ini berawal ketika dalam satu kesempatan menyeduh kopi dengan beberapa kawan, mereka sedang menyiapkan satu perhelatan yang cukup besar dan berskala nasional. Topik ini segera menyita perhatian saya karena mereka menjadi bagian dari tim pelaksana acara BUMD Expo tahun 2014 di Surabaya, 17-19 Desember ini. Acara yang digagas Badan Kerjasama BUMD Seluruh Indonesia (BKSBUMDSI) ini semakin penting karena menggandeng Apkasi sebagai mitra strategis yang bahkan perlu dituangkan dalam nota kesepahaman. Mengapa ini perlu diulas sebab dalam rangka meningkatkan daya saing BUMD yang sebagian sahamnya dimiliki Pemda, Pemda menjadi faktor kunci (key determinant) dalam mendorong komitmen bisnis dan sosial BUMD bersangkutan. Acara yang juga didukung secara resmi oleh beberapa kementerian dan asosiasi pelaku usaha dan dirancang sebagai ajang bertemunya para pengusaha lokal dan investor dalam dan luar negeri ini mengagendakan pameran dan pertemuan bisnis (regional business forum).
Reaksi pertama saya ketika mendengar ulasan acara ini adalah pertanyaan. Apa saja BUMD dari NTB yang berpartisipasi? Dan jawaban kawan itu membuat saya cukup geram karena memang dua pekan sebelum batas akhir pendaftaran, belum ada satupun BUMD dari NTB yang terdata. Waktu itu, saya bahkan meminta kepada panitia memberikan dokumen yang perlu disampaikan kepada Pemda. Mungkin karena faktor kesamaan almamater, mereka pun dengan senang hati dan bahkan meminta agar ada yang ikut serta. Sepanjang pengetahuan saya, salah satu (atau mungkin satu-satunya?) BUMD yang perlu diikutsertakan adalah PT. Daerah Maju Bersaing (PT. DMB), BUMD yang—meskipun tidak secara langsung—memiliki saham di PT. Newmont Nusa Tenggara (PT. NNT).
Ada beberapa faktor mengapa PT.DMB perlu diikutsertakan. Pertama, alasan praktis. Alasan ini lebih berkaitan dengan masalah tata kelola. Jamak dipahami bahwa salah satu persoalan terbesar BUMD di Indonesia adalah ketidaksiapan dan ketidagsigapannya menerapkan pola pengelolaan korporasi yang baik (good corporate governance). Indikatornya banyak namun keluarannya satu yakni keuntungan perusahaan yang sangat minim. Persoalannya, persepsi umum pemangku kebijakan (stake holder) yang sekaligus pemegang saham (share holder) adalah BUMD tidak boleh merugi sehingga kerugian aktual ditambal dengan injeksi dana melalui mekanisme penanaman modal daerah. Keyakinan ini sangat berbahaya sebab akan sangat membebani keuangan daerah, yang dalam konteks Pemda di NTB, sudah sangat seret.
Kedua, alasan potensial. Alasan ini berkaitan dengan pembiayaan dan ketersediaan anggaran. Saya yakin BUMD ini seharusnya menyumbang penerimaan daerah cukup besar bagi Pemda pemilik saham, termasuk bagi Pemda lain di NTB melalui royalti dan dana transfer provinsi. Dari sisi kelembagaan, posisi BUMD ini sangat dilematis. Selain karena tidak memiliki saham langsung di PT. NNT, Pemda juga tidak memiliki cukup dana untuk memperbesar penguasaan sahamnya melalui pembelian saham (divestasi). Alasan ini pulalah yang sebelumnya mendasari saya menulis tiga opini terkait di harian ini (Suara NTB: 3/8/12; 2/10/12; dan 15/8/13). Ketiga tulisan tersebut pada intinya mempertanyakan strategi pengelolaan tambang di NTB beserta instrumen operasionalnya.
Karena dua alasan itulah saya memandang perlunya keikutsertaan PT. DMB ini. Selain masalah tata kelola yang barangkali dapat digali praktik terbaik (best practices) dari BUMD-BUMD lain di seluruh indonesia, mungkin akan didapatkan skema pembiayaan terbaik dan realistik dalam menunjang perbesaran saham daerah di PT.NNT. Secara regulatif, banyak skema pendanaan yang telah ditawarkan oleh peraturan perundang-undangan, baik dalam konteks kelembagaan Pemda maupun badan hukum BUMD sebagai perusahaan. Secara kelembagaan, direksi BUMD yang ikut serta dapat saja mengusulkan kepada Pemda untuk menggunakan mekanisme kerjasama daerah atau pinjaman langsung luar negeri (direct lending). Anggaran dari penggunaan skema ini (government to government atau business to business) dapat dialokasikan untuk membeli saham PT.NNT yang masih tersisa tujuh persen. Atau melalui mekanisme antarpelaku bisnis (business to business), kerjasama dapat langsung dilakukan oleh PT.DMB.
Keyakinan saya terkait biaya yang hilang (opportunity cost) dari minimnya peran Pemda dalam pengelolaan pertambangan ini sama kadarnya dengan prospek positif tambang ini sendiri. Brian Hill, Wakil Presiden Eksekutif Newmont pernah mengatakan bahwa Blok Elang yang sekarang belum dieksploitasi memiliki deposit yang jauh lebih besar ketimbang Boddington, tambang emas terbesar di Australia (Kata Data Research, 17/7/13). Kalau ungkapan Brian Hill tersebut benar adanya, sangat disayangkan apabila daerah tidak segera berbenah diri, memacu inovasi, dan bergegas menyelesaikan perkara pembiayaan dan tata kelola tersebut.
Dalam kerangka berpikir demikian, saya dengan beberapa kawan NTB di Jakarta mencoba untuk menghubungi Pemda. Namun kami segera saja dihinggapi rasa malas karena memang tidak ada tanggapan. Kalau perkara kopi dapat disebut kegagapan informasi, soal tambang ini adalah ketidakpedulian. Mungkin ulasan ini juga akan bernasib sama. Sampai pada Pemda memiliki definisi lain terkait inovasi, tulisan ini sia-sia belaka.
Arifuddin Hamid
Warga NTB, tinggal di Jakarta. Tenaga Ahli di Kementerian PPN/Bappenas dan DPR RI 2013-2014.
Dimuat Harian Suara NTB, 26 Desember 2014