Salah satu tantangan dalam penataan kebijakan pembangunan adalah konsistensi. Sebuah kebijakan yang bahkan dijadikan sebagai visi prioritas tidak terwujud dalam realisasi yang nyata dan berkelanjutan. Meski (seringkali) kita mahfum dengan kepentingan sloganistik, namun jika sebuah visi hanya menjadi dokumen kebijakan belaka, maka ada yang keliru dengan cara kita mengelola negara. Inilah barangkali fakta terjelas dari Visi Poros Maritim yang didengungkan dekade lalu. Pembangunan sektor maritim tidak terwujud dalam komitmen dan konsistensi yang solid.   

Merujuk pada Perpres 16/2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia, Visi Poros Maritim tersebut memiliki beberapa sasaran, yakni pertama, terkelolanya sumber daya kelautan secara optimal dan berkelanjutan. Kedua, terlaksananya penegakan kedaulatan, hukum, dan keselamatan di laut. Ketiga, terwujudnya kesejahteraan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil yang merata. Keempat, terwujudnya peningkatan pertumbuhan ekonomi dan industri kelautan yang berdaya saing. Kelima, terbangunnya infrastruktur kelautan yang andal.   

Jika dirangkum, sejatinya pemerintah punya target untuk mengoptimalisasi perekonomian sektor maritim. Ini berangkat dari pemahaman mendasar bahwa sektor maritim selalu menjadi anak tiri, sehingga kebijakan afirmasi perlu ditegakkan. Namun dari beragam sasaran yang telah dicanangkan, apakah kebijakan telah benar-benar mengarusutamakan sektor maritim? Atau dengan kata lain, apakah berbagai sasaran tersebut telah terwujud nyata? Jika mendasarkan pada volume produksi perikanan, tidak ada signifikansi dalam peningkatannya. Badan Pusat Statistik (2024) mencatat pada tahun 2017 ada 23,19 juta ton ikan yang mampu diproduksi, namun jumlahnya malah menurun menjadi 21,83 juta ton (2020) dan hanya sedikit naik menjadi 23,54 juta ton (2023).  

Di sisi lain, pelanggaran kedaulatan dan pencurian ikan yang dilakukan oleh kapal berbendara asing masih terus terjadi. Dalam Laporan Kementerian Kelautan dan Perikanan (2024), praktik illegal fishing menyebabkan Indonesia mengalami kerugian Rp3,5 triliun sepanjang 2024. Dari aspek infrastruktur kelautan, sebanyak 42,29 persen pelabuhan perikanan ditemukan di Pulau Jawa (BPS, 2024). Hal ini menandaskan pembangunan infrastruktur maritim masih terkonsentrasi di wilayah tertentu, padahal Visi Poros Maritim untuk menjawab persoalan ketimpangan spasial.  

Menata Nalar Kebijakan  

Pada mulanya, visi pembangunan sektor maritim dipostulatkan melalui serangkaian paket kebijakan ambisius, berani, dan optimistik. Pemerintah sangat yakin bahwa kebijakan ini adalah manifes karakteristik nusantara yang bertumpu pada sektor kelautan, sekaligus menjadi penasbihan aktual janji politiknya untuk mengakhiri keterpinggiran sektor ini selama lebih dari empat dekade. Karena itu, tidaklah mengherankan jika rencana kebijakan ini mendapatkan atensi dan euforia. Ujung wacana ini tentu mudah ditebak, yakni marjinalisasi sektor ini telah menciptakan dampak buruk endemik bagi kesejahteraan masyarakat pesisir, khususnya nelayan tradisional yang menggantungkan hidupnya dari laut. Ketimpangan infrastruktur fisik menjadi salah satu penyebab mengapa sumber daya kelautan kita tidak pernah mampu berdaya saing secara regional dan global.  

Pada basis teoritik ini, Visi Poros Maritim perlu disambut dengan optimis dan didukung oleh semua komponen bangsa. Visi yang bertumpu pada pembangunan infrastruktur ini menjadi langkah awal pembangunan semesta sektor kelautan Indonesia. Pembangunan infrastruktur yang bertujuan meningkatkan konektivitas antarwilayah dan dengan sendirinya berdampak mengganda terhadap dinamisasi arus barang dan jasa kelautan serta menumbuhkan pusat ekonomi baru diharapkan sampai pada tujuan akhirnya: meningkatkan kapasitas masyarakat pesisir dan warga negara pada umumnya.  

Secara konseptual, keterhubungan spasial ini dapat menciptakan surplus kemakmuran, baik bagi nelayan selaku produsen sumber daya perikanan, maupun masyarakat sebagai konsumen. Bagi nelayan, integrasi spasial ini akan menekan ongkos produksi sehingga kapasitas mereka dalam menjaring sumber daya perikanan akan jauh lebih produktif. Penurunan harga solar, misalnya, berdampak langsung terhadap kemampuan nelayan memperluas rentang pencarian hasil laut sehingga jumlah tangkapannya jauh lebih meningkat. Selain itu, pemasaran hasil tangkapan ini akan jauh lebih mudah dan murah. Kebijakan ini pada akhirnya menciptakan struktur insentif bagi nelayan untuk lebih berdaya guna dalam memanfaatkan laut secara optimal.  

Bagi konsumen, keuntungan yang paling besar adalah penurunan harga sumber daya perikanan. Dengan berkurangnya biaya produksi dan distribusi yang mesti ditanggung produsen: jumlah, pilihan, dan harga ikan akan jauh lebih murah dan pilihan terhadapnya menjadi jauh lebih beragam. Dari penjelasan konseptual ini, pertanyaan terbesarnya adalah bagaimana kebijakan integrasi spasial ini mencapai target teoritiknya? Pertanyaan inilah yang perlu dijawab dengan penajaman kebijakan yang lebih sektoral dan mikroskopik.   

Infrastruktur dan Proteksi Ekonomi  

Pembangunan berdimensi spasial sejatinya nasab alamiah yang mesti menjadi fokus kebijakan. Ini adalah konsekuensi logis dari geografi nusantara yang sebagian besar terdiri atas laut dan potensi yang dimilikinya. Hal ini perlu menjadi catatan khusus Presiden Prabowo dalam menata kembali arah kebijakan pembangunan nasional. Dengan demikian, revitalisasi Visi Poros Maritim adalah sebuah kemestian. Pemerintah harus memulainya dengan pembangunan infrastruktur kelautan dan perlindungan ekonomi masyarakat pesisir. Dengan sendirinya, konektivitas antarwilayah akan mampu mendongkrak potensi ekonomi yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia.  

Secara teoritik, infrastruktur, termasuk infrastruktur maritim adalah katalis bagi pertumbuhan, mengurangi ketimpangan dan kemiskinan. Transportasi maritim merupakan tulang punggung perdagangan internasional. Sekitar 80 persen volume perdagangan barang internasional diangkut melalui laut. Dalam kasus China, infrastruktur maritim ini tidak hanya berdimensi komersil, namun juga militer (Runde, dkk, 2024). Hal ini sejalan dengan temuan Bekteshi, dkk (2024) yang menyatakan bahwa dengan meningkatnya pelayaran laut, terjadi seiring dengan pertumbuhan perdagangan, perkembangan keuangan, dan pertumbuhan ekonomi di 14 negara Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional dari tahun 2006 hingga 2019.  

Deretan fakta ini menjelaskan bahwa infrastruktur maritim mampu mengurai berbagai hambatan ekonomi yang dialami masyarakat, utamanya di wilayah pesisir. Sebagai pemilik sah sumber daya kelautan di wilayah domisilinya, nelayan tradisional semestinya menjadi kalangan terungkit paling besar dari hadirnya infrastruktur maritim, menghilangkan praktik ekonomi rente yang membelit nelayan kecil, yakni praktik diskriminasi biaya (tengkulak) dengan cara pelaku bermodal besar membeli murah sumber daya perikanan dari nelayan dan menjual mahal kepada konsumen lintas pulau atau lintas negara.   

Oleh karena itu, pemerintah mesti menindaklanjuti pembangunan infrastruktur maritim dengan membuat sistem proteksi sosial dan ekonomi bagi nelayan dan masyarakat pesisir. Kebijakan afirmasi ini diterjemahkan melalui pembentukan badan usaha atau koperasi nelayan yang dikelola secara kolektif oleh nelayan. Kebijakan ini harus menjadi tafsiran preferensif Visi Poros Maritim. Secara konseptual, preferensi visi ini adalah pada pemberdayaan nelayan, sementara kebijakan sektoral seperti pembangunan pelabuhan dan pembangunan maritim lainnya menjadi langkah taktis demi tercapainya kemakmuran nelayan dan masyarakat pesisir.   

Agar kebijakan ini mengikat dan efektif, pemerintah pusat harus mengarahkan kepala daerah agar pengawalan terhadap kebijakan ini berjalan optimal. Kegagalan pengawalan berarti menurunnya indeks kinerja daerah dan hasil evaluasi ini berdampak langsung pada alokasi dana transfer. Jika kebijakan ini dapat dijalankan secara konsisten, maka visi pembangunan maritim akan mampu menerjemahkan hakikat bernegara sebenarnya, yakni memajukan kesejahteraan umum seutuhnya. 

Arifuddin Hamid
Direktur Eksekutif Prolog Initiatives. Alumnus Magister Perencanaan Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan (MPKP FEB UI) 

Dimuat Antara, 3 Juni 2025


Profil
Arifuddin Hamid menulis di berbagai media dan jurnal akademik, serta profesional di berbagai institusi sipil dan pemerintahan. Menyelesaikan pendidikan sarjana (S1) di Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan pendidikan magister (S2) di Program Studi Magister Perencanaan Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan (MPKP) Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia.

Publikasi

Publikasi Kolom