Salah satu delusi dalam praktik demokrasi elektoral adalah perihal penentuan ambang batas parlemen (parliamentary threshold). Wacana ini telah menjadi faktorial melekat yang mengiringi setiap rencana revisi undang-undang kepemiluan. Hari ini ruang publik kembali disuguhi perdebatan yang tidak saja delusional, namun juga kontraproduktf dan ahistoris. Kalau penentuan ambang batas ini diklaim mampu menyederhanakan jumlah partai, maka pikiran demikian jelas suatu inkonsistensi logis (logical fallacy). Karena hal ini pulalah debat parlementarian kita tidak pernah substantif dan menyentuh akar persoalan perihal sistim kepartaian yang ideal. Perdebatan ambang batas sesungguhnya manifes watak kepurbaan aktor politik yang semata mengejar kekuasaan. Tidak ada relasi kausal antara ambang batas yang tinggi dengan penyederhanaan jumlah partai.
Faktanya, partai politik di Indonesia tidak ada yang pantas disebut partai kuat. Semuanya, kalau tidak sama-sama kuat, lebih tepat disebut sama-sama lemah. Sepanjang dekade reformasi, tidak ada satupun partai yang mampu menembus angka 30 persen suara sah atau kursi DPR. Apalagi mampu menjadi mayoritas mutlak dengan perolehan di atas 50 persen. Maka itu, lagi-lagi, mendebat ambang batas adalah membincang kesia-siaan. Bahkan selain kesia-siaannya, perihal ambang batas juga berimplikasi konstitusionalistik. Sebagai hak yang dijamin oleh konstitusi, setiap warga negara berhak mendapatkan kesempatan yang sama dalam pemerintahan (Pasal 28D ayat 3 UUD 1945). Konsekuensi logis dari klausula ini adalah hak untuk mewakili dan diwakili dalam kehidupan ketatanegaraan. Ambang batas telah menjadi sandungan yang nyata dan faktual terhadap hak konstitusional yang sejatinya bersifat azali.
Jika mengacu pada pelaksanaan Pemilu 2009 yang menerapkan besaran ambang batas 2,5 persen dan Pemilu 2014 sebesar 3,5 persen, sesungguhnya tidak ada implikasi apa-apa yang dihasilkan oleh pengaturan ini, selain penyelundupan struktural suara rakyat. Besarnya suara yang dihilangkan paksa adalah bentuk kezaliman legalistik yang tidak sejalan dengan prinsip demokrasi. Kalau konsisten dengan nafas demokrasi, seharusnya setiap aspirasi politik diberikan ruang yang paripurna untuk menyepih gagasan dan program. Politik kuantifikasi yang tengah berlangsung dan kini hendak dipertegas adalah bentuk peminggiran hak-hak sosial politik yang vulgar dan tidak bertanggung jawab.
Selain itu, praktik politik yang terjadi di senayan kian menegasi maksud yang selalu diketengahkan oleh kalangan politisi sendiri. Kalau memang tujuannya hendak meningkatkan efektivitas pengambilan keputusan politik, maka sejatinya, praktik dan preseden koalisi kepartaian jelas-jelas perilaku yang eksesif. Faktanya, sepanjang pemberlakuan sistim ambang batas, sepanjang itu pula ritual berkoalisi ini dipraktikkan. Pada Pemerintahan SBY, kita melihat poros besar yang bernama Sekretariat Gabungan. Sekarang di masa Presiden Jokowi, kita kembali disuguhi kartelisasi partai dalam format Partai-Partai Pendukung Pemerintah (P4). Lalu apa yang tersisa dari tujuan penentuan ambang batas ini?
Padahal ketimbang ambang batas, akan jauh lebih berguna jika lokus perdebatannya digeser kepada mekanisme lain, yang tidak saja konstitusional, namun juga realistik. Penegasan demarkasi politik, misalnya. Parlemen dapat dipisahkan secara tegas ke dalam dua sumbu kepentingan politik yang sama sekali berbeda. Praktik ini lazim ditemui di berbagai negara demokrasi. Di Amerika Serikat, jangan dikira hanya ada dua partai yang bertarung dalam setiap perhelatan pemilu legislatif dan presiden. Ada banyak partai politik, tetapi dunia hanya mengenal dua kekuatan besar, yang kerapkali memiliki kepentingan yang secara diametral berbeda. Amerika Serikat juga tidak mengenal sistim ambang batas. Setiap partai politik yang telah memenuhi syarat dipersilahkan ikut dalam pemilihan umum. Yang kita temukan bukan justru pada debat tidak berguna seperti bagi-bagi kursi dan tetek-bengek mendukung pemerintahan berkuasa. Perdebatan yang kita lihat adalah seni berdemokrasi yang berciri artikulatif, substantif, serta dipenuhi percaturan alot seputar cara memajukan negara.
Di sana, polarisasi politik adalah keniscayaan dan bukanlah tertuduh bagi degradasi kehidupan bernegara. Dengan polarisasi politik ini, Amerika Serikat justru menemukan berkah demokrasi. Keith Poole (2008) dalam kajian bertajuk “The Roots of the Polarization of Modern US Politics,” menjelaskan bahwa polarisasi politik yang telah terjadi selama berabad-abad justru menjejak implikasi asimetriknya terhadap kemajuan perekonomian. Prinsip seperti demokrasi perwakilan, pemilu yang pluralistik, keterwakilan geografis, dan penegasan hak kepemilikan pribadi adalah warisan kolonialistik yang membentuk dunia perpolitikan Amerika Serikat saat ini. Apalagi, meskipun partai politik minor sangat jarang memperoleh kemenangan elektoral, namun mereka memainkan peran yang sangat vital dalam imaji politik. Faktanya, berbagai legislasi penting justru banyak yang merupakan gagasan dari partai minor ini seperti legislasi di bidang buruh anak, keamanan sosial, kompensasi bagi pengangguran, juga pengakuan akan hak-hak sipil (Richard Hardy, 2012, The Paradoxes of Political Parties in American Constitutional Development).
Karena itu, selain merupakan mandat konstitusi, ruang aktualisasi bagi setiap partai politik yang memang berhak dan memenuhi syarat mengikuti pemilu untuk juga hadir memperjuangkan programnya di parlemen adalah inovasi demokrasi yang perlu dipertahankan bersama. Di titik ini pulalah rencana penaikan ambang batas parlemen, bukan saja kehilangan pijak yuridisnya, namun juga tidak relevan dihadirkan di ruang demokrasi yang berkeadaban.
Arifuddin Hamid
Direktur Partnership for Strategic Initiatives (poin), Alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Dimuat Kompas, 20 Agustus 2016