Target besar pemerintah dalam mencapai pertumbuhan 8 persen menemui jalan berliku. Hal ini meniscayakan perlunya mitigasi dan strategi terarah dalam menciptakan insentif dan kualitas berusaha. Paradoks ini terjadi karena sektor produksi belum menunjukkan geliat yang menjanjikan, selain anomali dari sektor konsumsi. Berdasarkan laporan Kementerian Keuangan (2024), potensi kerugian negara dari impor barang ilegal ditaksir mencapai Rp3,9 triliun sepanjang tahun 2024. Dalam perdagangan lintas batas yang terbuka, ketidaksigapan hanya akan berdampak pada semakin tidak terkendalinya arus barang masuk.   

Oleh karena itu, langkah akseleratif dalam mengakhiri jebakan struktural harus diambil. Ini bukan lagi pilihan, namun kemestian. Perbaikan regulasi dan kualitas kelembagaan, serta investasi berkelanjutan pada sumber daya manusia adalah kuncinya. Regulasi dan kelembagaan yang baik punya ekses langsung pada kualitas investasi, sementara sumber daya manusia berdaya saing akan mendorong efisiensi operasional dalam investasi. Ini adalah postulat empiris yang telah teruji secara global. Sebagai negara yang punya potensi besar di bidang kependudukan, tantangan ini akan menjadi pedang bermata dua. Silap dalam daya saing penduduk hanya akan menjadikan Indonesia sebagai pasar belaka.  

Hal tersebut tidak mengada-ngada sebab sektor produksi masih jauh dari kualifikasi siap bersaing. Hilirisasi pertambangan, meski telah menunjukkan kontribusi, namun belum mencapai derajat yang optimal. Hilirisasi berdampak nyata pada penerimaan negara, namun belum menunjukkan efek pengganda dalam jangka pendek. Faktanya, riset yang dilakukan FEB UI (2025) menemukan tantangan hilirisasi seperti keterbatasan infrastruktur dan teknologi, masih terbatasnya tenaga kerja yang terampil, permintaan pasar yang fluktuatif, dan dampak negatif terhadap lingkungan. 

Maka itu, satu-satunya proteksi ekonomi kita hanya pada pengawalan secara serius dan terkelola sisi konsumsi, setidaknya sampai industri domestik memiliki kapasitas produktivitas minimal.   

Mengawal Konsumsi  

Agar ekonomi tidak terperosok semakin dalam, satu-satunya yang dapat dilakukan, setidaknya dalam jangka pendek, adalah mengawal sisi konsumsi melalui pembentukan dan konsistensi pelaksanaan kebijakan standardisasi produk. Hal ini menjadi sangat perlu karena perdagangan bebas selalu memiliki sisi kelam, yakni serbuan produk yang belum tentu memiliki kualitas memadai. Selain Singapura, Asean adalah lokusnya negara berkembang, yang kondisinya tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Keseragaman relatif ini berdampak pada kualitas produk yang juga secara kualitas tidak berbeda jauh. Artinya, produk yang dihasilkan oleh negara lain dalam kawasan ini relatif tidak terpaut jauh satu sama lain, dan kalaupun ada perbedaaan, jaraknya tidak menjadikan yang satu memiliki preferensi mutlak dari pada yang lain.  

Sejatinya kondisi ini menjadikan Indonesia dapat berkompetisi sejajar dan bahkan berpeluang lebih baik dari negara tetangga, meski relasi perdagangan tidak selalu linear. Konsumen sebagai penikmat produk memiliki preferensi dan sensitif pada harga. Keunggulan faktor produksi suatu negara atas negara yang lain berdampak pada produktivitas dan kuantitas barang yang dihasilkannya. Semakin produktif dan unggul negara itu, maka kemampuannya untuk menekan biaya produksi semakin besar.   

Dalam konteks inilah kapasitas negara tersebut untuk menguasai pasar barang di negara lain semakin besar. Masalahnya, kita memiliki kelemahan faktor produksi sehingga kemampuan sektor industri kita relatif lebih lemah ketimbang negara lain di kawasan. Fakta industrial ini ternyata masih dibebani oleh faktor ketidakpastian kebijakan (policy uncertainty) yang semakin menekan daya saing perekonomian. Bahkan secara empiris, faktorial kebijakan inilah yang justru menjadi beban terbesar kita, yang dalam berbagai kepustakaan ekonomi kerap disebut sebagai ekonomi biaya tinggi.   

Ketidakpastian kebijakan ini telah menjadi perkara endemik. Bank Dunia (2024) dalam "Business Ready 2024," yakni laporan yang mengevaluasi iklim usaha dan investasi di seluruh dunia menilai Indonesia belum mencapai kinerja yang optimal. Dari 50 negara yang dinilai, Indonesia hanya mendapatkan skor 63,69 untuk pilar kerangka regulasi. Kita masih kalah dibandingkan dengan Vietnam (skor 66,81), Filipina (skor 70,68), atau Meksiko (75,07). Dalam aspek efisiensi operasional, kita juga masih kalah dibandingkan Meksiko dan Vietnam dan hanya unggul dari Filipina.   

Fakta inilah yang menjelaskan paradoks berganda ekonomi Indonesia. Dari perspektif pelaku domestik, berbagai rintangan kebijakan (policy barrier) tersebut berdampak pada rendahnya pertumbuhan usaha formal dan sekaligus menghambat daya saing dan laju ekspansi industri dalam negeri. Buruknya kualitas dan efektivitas regulasi menjadi hambatan terbesar yang membuat pelaku usaha menjadi enggan berinvestasi. Secara empiris, hal ini berdampak pada inefisiensi operasional dalam berusaha. Masih maraknya pungli dan ekonomi biaya tinggi menjadi faktor yang menghambat kualitas berusaha.   

Menjaga Standardisasi  

Pada ujungnya, benteng terakhir ketahanan ekonomi nasional hanyalah melalui pengawalan sistematik kesejahteraan konsumen, yakni dengan memastikan produk impor tersebut berkualitas dan aman dikonsumsi. Pelaksanaan kebijakan standardisasi nasional harus lebih konsisten, konsekuen, dan berkelanjutan. Sama juga halnya dengan pengawasan jalur masuk barang harus lebih diintensifkan guna mencegah barang selundupan dan bermutu rendah. Pekerjaan ini memang tidak mudah karena luasnya lingkup koordinasi dan potensi tumpang tindik kewenangan diantara pemangku kebijakan.  

Badan Standardisasi Nasional sebagai otoritas standardisasi produk harus bekerja cerdas dan cermat dengan berbagai kementerian dan lembaga terkait, khususnya otoritas bea cukai dan kementerian perdagangan dalam memastikan kualitas produk impor. Selain itu, sinergi dengan lembaga penegak hukum menjadi sangat penting agar arus masuk barang impor ilegal dapat diakhiri, atau minimal dibatasi ketat. Dalam konteks domestik, peningkatan daya saing produk dan legalisasi pelaku usaha, khususnya UMKM harus dilaksanakan dengan konsisten. Pengarusutamaan konsumsi meniscayakan produk berkualitas, dengan pemenuhan standardisasi tertentu.   

Selain itu, upaya sosialisasi dan edukasi berkesinambungan agar masyarakat cerdas dalam berkonsumsi adalah faktorial penting lainnya. Tugas pemerintah memastikan adanya kebijakan yang tanggap dan penegakan hukum, pelaku usaha mesti meningkatkan daya saing produknya, dan rakyat selaku konsumen cermat dalam memilah dan memilih. Jika berbagai upaya ini dapat dilakukan, sektor konsumsi akan menjadi penyelamat ekonomi, setidaknya dalam jangka pendek. Semoga. 

Arifuddin Hamid
Direktur Eksekutif Prolog Initiatives. Alumnus Magister Perencanaan Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan, FEB UI.

Dimuat Katadata, 26 April 2025.


Profil
Arifuddin Hamid menulis di berbagai media dan jurnal akademik, serta profesional di berbagai institusi sipil dan pemerintahan. Menyelesaikan pendidikan sarjana (S1) di Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan pendidikan magister (S2) di Program Studi Magister Perencanaan Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan (MPKP) Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia.

Publikasi

Publikasi Kolom