Kolom identitas harian ini (24/04) kembali membangun optimisme pembangunan ekonomi daerah melalui pendayagunaan Bandara Internasional Lombok (BIL) sebagai pintu masuk investasi. Penulis, walaupun mengapresiasi optimisme yang disuarakan Suara NTB, masih skeptis melihat nalar kebijakan yang dibangun pemerintah selama ini. Seakan investor akan berbondong dengan rayuan politik mercusuar belaka, padahal nyatanya tidak. Investasi butuh prasyarat, selain faktor keamanan dan pembangunan infrastruktur prioritas, juga kesiapan mental dan perilaku aparat pemerintah dan masyarakat.
Disparitas Kebijakan
Beberapa dasawarsa lalu, Michael P. Todaro dalam bukunya Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga (1983: 124-125) pernah menyampaikan definisi cukup bijak mengenai pembangunan, yakni suatu proses multidimensional yang melibatkan perubahan-perubahan besar dalam struktur sosial, sikap-sikap mental yang sudah terbiasa dan lembaga-lembaga nasional termasuk pola percepatan/ akselerasi pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketimpangan, dan pemberantasan kemiskinan. Buku yang sudah menjadi klasik ini ternyata masih memiliki relevansi dengan kondisi kekinian NTB.
Relevansi tersebut, yang secara menyayat diungkap dengan judul “negara dunia ketiga”, adalah ditandai tingkat kehidupan yang rendah, tingkat produktivitas yang rendah, tingkat pertumbuhan populasi dan beban tanggungan yang tinggi, tingginya perkembangan pengangguran dan pengangguran semu, dan ketergantungan terhadap produksi dan produk ekspor, tepat menggambarkan NTB hari ini. Maka berkali-kali pula penulis perlu menyampaikan rasa heran atas pengelakan data BPS oleh Pemerintah NTB, termasuk terakhir oleh Bupati Lombok Utara (Suara NTB, 23/04).
Kalaupun hendak bersepakat dengan M. Firmansyah dalam opininya yang berjudul “Logika Pembangunan Manusia NTB” (10/04), bahwa pertumbuhan ekonomi NTB bagus namun tidak berkualitas, secara empirik dalam diskursus kebijakan global, teori pertumbuhan ekonomi telah banyak mendapat bantahan. Jauh-jauh hari Mahbub Ul Haq misalnya. Dalam bukunya Tirai Kemiskinan: Tantangan-tantangan untuk Dunia Ketiga (1995), mantan Kepala Komisi Perencana Pembangunan Ekonomi Pakistan dan pejabat teras Bank Dunia ini menyanggah tesis keampuhan pertumbuhan dalam mewujudkan kehidupan kemanusiaan yang lebih baik. Itupun kalau bersepakat dengan kemungkinan kedua yang dipilih M. Firmansyah, bukan yang pertama bahwa perekonomian NTB yang dianggap bagus hanyalah mitos, kebohongan belaka.
Jika menggunakan indikator standar pertumbuhan ekonomi yang berupa akumulasi modal (investasi dalam bentuk tanah, peralatan fisik, dan sumber daya manusia), perkembangan populasi (pertumbuhan dalam angkatan kerja), dan kemajuan teknologi, entah bagaimana merasionalkan terjadinya pertumbuhan ekonomi NTB. Sehingga hemat penulis, pejabat NTB hari ini nampaknya salah menyanggah data, atau barangkali maksudnya pembangunan berjalan di tempat, kalau tidak dikatakan mundur.
Dalam logika ekonomi, seorang investor yang akan menanamkan modalnya di suatu daerah niscaya mempertimbangkan faktor-faktor penunjang guna kelancaran usahanya. Salah satu soal penting adalah keamanan. Hanya investor yang mau rugi saja jikalau tetap nekad melanjutkan usaha di daerah yang kurang aman. Apa yang terwartakan hari-hari ini, tentang kerusuhan sosial dan potensi teror semestinya disikapi dengan kebijakan penanggulangan dan kemudian berupaya melakukan pencegahan, tidak parsial yang kemudian menyisakan kesangsian. Sementara faktanya, ketakutan terus direproduksi oleh pembiaran tanpa penyelesaian.
Infrastruktur prioritas seperti jalan, jembatan, pelabuhan, dan sekian fasilitas utama lainnya kurang dioptimalkan fungsi, kegunaan, dan daya jangkaunya. Apakah modernisasi telah dilakukan? Berangkat dari pengalaman sebagai warga NTB, kondisi jalan di sepanjang Pulau Sumbawa misalnya, amatlah miris dan menyesakkan dada. Padahal dengan potensi geologi yang dipunyainya, jalan mempunyai peran teramat vital dalam menunjang pembangunan NTB. Mengaitkan dengan struktur keuangan daerah, investasi dalam sektor pengelolaan sumber daya alam adalah sumber utama pemasukan pendapatan daerah. Dan kalaulah pemerintah serius mengoptimalkannya, citra NTB sebagai daerah tidak mandiri karena selalu ditalangi dalam jumlah cukup besar oleh dana pusat dapat dihilangkan.
Bagaimana pula dengan kesiapan mental dan perilaku pejabatnya? Sejenak perlu mengapresiasi kebijaksanaan yang diambil gubernur dalam melakukan mutasi, namun penulis masih merasa kurang yakin langkah tersebut dapat menunjang keberhasilan program-program kepemerintahan. Perhelatan Pemilu Kada 2013 hanya tinggal menghitung bulan, sementara kenyataannya pasca kepala daerah terpilih, mutasi akan kembali terjadi. Kecuali Gubernur Zainul Majdi sudah yakin menang lagi, pejabat-pejabat hasil mutasi akan tetap melanjutkan kebijakannya pasca 2013 nanti.
Sejatinya evaluasi adalah rumus baku pengawas kinerja. Kepala daerah dalam kapasitasnya sebagai pemimpin politik harus memiliki agenda evaluasi yang jelas dan sistematis, bukan justru sekenanya mengambil langkah tanpa determinasi ruang dan waktu. Pejabat pemerintahan dalam tingkatan jabatan yang paling rendah sekalipun memiliki perencanaan kebijakan, baik selaku pengambil kebijakan (pimpinan) maupun sebagai pelaksana (administratur belaka). Sehingga mutasi yang terlalu dekat dengan perhelatan Pemilu Kada ini mengumbar aroma politik yang begitu tajam.
Pun dengan kesiapan mental dan perilaku masyarakat. Dengan harus kembali meminjam data BPS, angka statistik yang kurang begitu menggembirakan dari segi kualitas sumber daya manusia, dengan rendahnya tingkat melek huruf, tingginya kematian ibu dan bayi, dan rendahnya angka harapan hidup, keluaran pembangunan macam bagaimana yang diharapkan pemerintah? Padahal kualitas sumber daya manusia berkaitan erat dengan pembangunan ekonomi suatu daerah. Manusia menentukan pembangunan, sebaliknya pembangunan adalah demi perbaikan kualitas hidup.
Maka tidak aneh terjadi disparitas kebijakan, antara kebijakan yang satu dengan yang lain mengalami kesenjangan. Kebijakan perangsangan investasi melalui BIL tidak sejalan dengan agenda pembangunan infrastruktur vital yang lebih berdimesi publik dan menunjang kemajuan daerah. Sementara pembangunan manusia, baik berupa peningkatan produktivitas, pendidikan, dan kesehatan berjalan serampangan.
Arifuddin Hamid
Pegiat Kebijakan Publik, kuliah di Fakultas Hukum UI
Kolom opini harian Suara NTB (25/4/12)