Walaupun terkadang bias dalam praktik, adagium “pers adalah pilar demokrasi” harus tetap diapresiasi. Pembajakan ruang publik demi hasrat pragmatis yang hari-hari ini menjarah etalase wacana adalah sebentuk deviasi filosofi. Pers, selain sebagai anjing penggonggong (watchdog), juga diharap menjadi advokator konstruktif. Oleh karenanya, perimbangan muatan beritanya harus selalu menjadi bahan introspeksi untuk membangun peradaban yang lebih sehat.
Beraras dari pemikiran demikian, penulis hendak menyorot sekaligus mencoba memberikan rekomendasi untuk lakon di waktu mendatang. Dalam hal ini Suara NTB, kiprah dan eksistensinya semoga selaksa oase di tengah dahaga konsep.
Sebagai harian yang berevolusi relatif cepat dibanding media cetak lainnya di NTB, peran advokasi yang terekam dalam kolom opini harus jua lebih diseriusi dan berdampak pada bahan mentah politik pemerintahan. Artinya, gugus pikir yang dihasilkan oleh para kontributor tidak saja sebatas penghias berita, kolom diskursus, ataupun curhat realitas, namun diharap menjadi pencerah perspektif bagi para pengambil kebijakan.
Dibanding media cetak lainnya, keunggulan Suara NTB terlihat dari konsistensinya memperbarui versi online setiap hari dan komitmennya menyaji versi electronic paper (epaper). Bagi penulis, layanan demikian adalah sebentuk apresiasi dan menjadi kegirangan pribadi atas kelelahan merangkai kata dan bahasa. Sehingga dengan sendirinya memantik minat menuangkan gagasan demi pembangunan daerah yang lebih baik.
Namun demikian, penulis juga memiliki opini tersendiri atas kolom opini. Bahwa dalam kehendak menggulirkan wacana dan menyaji konsep, kolom opini nampak kurang cukup menampung kegelisahan diri memandang kebijakan publik. Berangkat dari keyakinan kurangnya referensi bahan yang juga masih merupakan salah satu persoalan terbesar NTB hari ini, tercerabutnya kultur intelektual menjadi momok yang sulit dibayangkan.
Rendahnya angka indeks pembangunan manusia (IPM) barangkali bukanlah semata kekeliruan publik, namun berawal dari sedikitnya pilihan kebijakan guna peningkatan kualitas sumber daya manusia. Sehingga meningkatkan minat baca kaum berkuasa adalah keniscayaan sejarah yang harus diupayai bersama. Asumsi ini barangkali pula tidak bergaung di ruang kosong, sebab nyatanya kegagalan pembangunan selalu bersifat sistemik dalam semesta ruang dan waktu. Untuk hal ini, penulis berharap banyak pada Suara NTB, yakni berperan sebagai katalisator, distributor, dan dengan sendirinya produktor pilihan-pilihan kebijakan.
Pentingnya Kolom Resensi
Dengan keyakinan akan ketidakcukupan peran oleh kolom opini, penulis merasa redaksi Suara NTB harus sudah mulai melirik wacana kolom resensi. Sehingga peran sebagai advokator konstruktif dapat tercapai optimal. Kelesuan minat yang berakar dari kekurangan khazanah pengetahuan harus disuntik, dipantik, dan direproduksi selalu.
Pentingnya kolom resensi yang juga membedakannya dengan kolom opini berlandas pada dua sudut pijak. Pertama komparasi kebijakan. Banyak baca banyak informsi, buku adalah jendela dunia. Kebijakan publik tidaklah lahir dari kehampaan, namun produk olahan dari pengetahuan dan fakta. Pilihan kebijakan yang baik selalu bersandar dari kenyataan lapangan dan keyakinan teoritik. Sehingga dengan sendirinya, komparasi atas pilihan kebijakan merupakan bagian dari kebijakan itu sendiri.
Kebijakan bukanlah melulu soal perawatan kenyataan yang ada, namun juga ikhtiar perubahan. Apa yang terjadi di NTB hari ini memiliki kemiripan dengan yang terjadi di belahan lain Indonesia, bahkan di bagian lain benua. Dengan semakin banyak tersedianya pengetahuan, semakin banyak pula pilihan kebijakan. Pada akhirnya, modifikasi menjadi langkah lanjutan atas keluasan pengetahuan yang didapat. Buku-buku yang sulit didapat di NTB yang kebetulan ditemui di luar daerah dapat direkomendasikan sebagai objek komparasi sekaligus telaah wacana.
Komparasi kebijakan perlu dilakukan mengingat lambatnya pembangunan di NTB. Dalam teori, kegagalan kebijakan selalu mengarah pada dua faktor penyebab, yakni kesalahan perencanaan dan ketidakseriusan implementasi. Namun begitu, dua faktor tersebut belum cukup menjadi sandaran sebab berpotensi menuju stagnasi. Komparasi adalah tindakan membandingkan pilihan dengan realitas luar yang hendak dituju. Keberhasilan daerah lain harus dipelajari sebab-musababnya, baik dalam tataran konsep maupun aksi perwujuan. Menyusun resensi bukan lagi soal yang sulit sebab perkembangan zaman telah mampu mendokumentasi “realitas luar” dalam bentuk buku atau dokumen tertulis lainnya. Kesulitannya justru terletak pada tujuan pembuatan resensi tersebut, apakah pengambil kebijakan sudi melirik, kemudian membaca buku atau objek resensi yang dibaca peresensi.
Kedua, pemantik minat baca masyarakat. Kalau urgensi pertama lebih terkait dengan wacana kebijakan, resensi juga menjadi instrumen penarik hasrat membaca masyarakat. Resensi yang disampaikan peresensi berisi pandangan, kesan, maupun saran atas bacaan. Apakah kemudian bacaan tersebut menarik minat atau tidak bergantung pada kelihaian linguistik peresensi.
Dalam skema ideal, resensi akan menggugah rasa penasaran sidang pembaca untuk mendalami isi buku tersebut, apakah memang sejatinya seperti yang disampaikan oleh peresensi atau tidak. Dalam hal ini, peresensi telah berhasil menjalankan perannya, yakni pembaca resensi kemudian membaca bacaan yang diresensi. Di tengah kurangnya referensi, apalagi lembaga penerbit begitu minim, penyediaan kolom resensi menjadi sangat mendesak.
Walau harus diakui realisasi hal ini tidak mudah, apalagi berposisi di daerah dengan beragam kendala kultural, teknis, dan keuangan, penyobaan oleh Suara NTB perlu dilakukan. Bagaimana nanti hasilnya, terserah pada kenyataan yang berbicara. Menyambung harapan, strategi atasnya dapat dikemas dalam penyediaan hari khusus. Mungkin di akhir pekan adalah pilihan paling logis. Kolom opini adalah watchdog, kolom resensi adalah advokator konstruktif. Kira begitulah rekomendasi dari seberang.
Arifuddin Hamid
Peminat Studi Kebijakan Publik, Kuliah di UI
Kolom opini Suara NTB (5/4/12)