Tatkala sudah ada yang meregang nyawa, barulah pemerintah mengutuk kebiadaban negara lain, tanpa sama sekali melakukan kontemplasi menyeluruh terhadap nalar dan orientasi kebijakannya. Mengutuk seadanya, pun tanpa mampu mengambil inisiatif progresif, apalagi didahului telaah internal atas sumber petaka mengapa hal demikian terjadi berulang. Maka ketika kesekian kalinya rakyat menjadi “tumbal devisa”, kita semua patut heran sekaligus maklum. 

Kebijakan Paradoks  

Menyoal TKI adalah menyingkap paradoks. Keserentakan kebobrokan menyatu dalam keantahan konsepsi. Dan tepat menyaji potret keserampangan pembangunan. Sehingga berita meninggalnya tiga TKI asal NTB sebagaimana laporan utama harian ini (Suara NTB, 25-30/4/12) menyaji tiga preseden; filosofis, implementatif, maupun evaluatif.  

Pertanyaan sederhana perlu diajukan, mengapa orang ingin menjadi TKI? Hernando De Soto (1991: 11) melalui penelitiannya terkait sektor informal di Peru menyimpulkan bahwa migrasi bukanlah tindakan tidak rasional yang dilakukan karena mengikuti kata hati semata atau mengikuti naluri kelompok, tetapi hasil keputusan berdasar penilaian rasional mengenai peluang terbuka untuk mereka. Oleh Michael P. Todaro (1983: 353), sebagaimana juga pandangan meluas di antara ahli ekonomi dan nonekonomi, penilaian rasional tersebut dibahasakan dengan faktor-faktor ekonomi.  

Mereaktualkan hasil penelitian dua pakar tersebut dengan realitas globalisasi, yakni -meminjam Thomas L. Friedman- bumi telah menjadi begitu datar (the world is flat), tak lagi dibatasi oleh sekat-sekat kaku geografis dan sistem lokal nasional, migrasi dari desa ke kota telah sama halnya dengan perpindahan dari satu negara ke negara lain, dari negara kurang harapan ke negara sejuta harapan.  

Secara filosofis, kebijakan pengiriman TKI ke luar negeri bertumpu pada dua asumsi. Pertama pertumbuhan angkatan kerja terdidik dan terlatih harus memiliki pekerjaan yang laik dan sesuai dengan kompetensinya. Dalam alur asumsi ini, transfer pekerja ke luar negeri tidaklah semata karena inisiatif pengibaan. Justru negara lain yang berkepentingan terhadap jasa tenaga ahli asal Indonesia. Sehingga karenanya, jaminan keamanan dan kenyamanan TKI tidak perlu dirisaukan. Berseberangan dengan asumsi pertama, secara empirik juga terkait pemaknaan isitilah “TKI” itu sendiri, pengiriman pekerja ke luar negeri adalah ekses kegagalan pembangunan. Dalam hal ini, Indonesia adalah negara yang berkepentingan mengirim tenaga kerjanya.  

Mengenai dua asumsi di atas, penulis memang berkecenderungan pada yang kedua. Bahwa motif ekonomi TKI ke luar negeri adalah indikator tiadanya pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan di dalam negeri. Di NTB misalnya, minimnya industri yang mampu menyerap tenaga kerja secara masif menjadi latar sederhana mengapa manusianya merantau.  

Sebagai homo economicus, tindakan merantau tidaklah sepenuhnya tidak dibenarkan. Walaupun masih menyisa tanya terkait keseriusan pemerintah membangun ruang hidup bagi warganya, motif ekonomi kaum migran berkelindan dengan kepentingan negara atas devisa. Dan inilah paradoksnya, negara yang sejatinya menjadi tumpuan justru bertumpu pada devisa para migran. Ikhtiar merantau penuh resiko menyumbang anggaran cukup besar bagi pembangunan yang akan kembali dan selalu gagal.  

Tidak saja dari sudut filosofis anggaran, implementasi kebijakan TKI juga menuai paradoks. Pengiriman TKI yang tidak disertai perangkat perlindungan yang semestinya oleh negara membuat posisi TKI selalu menjadi korban. Jangankan peningkatan kompetensi dan hak-hak standar kaum pekerja, jaminan keselamatan pun bagai barang teramat mewah.  

Bermaksud meraup devisa dengan kerap mengorbankan hak-hak dasar kaum migran, adalah berarti melakukan dehumanisasi total kemanusiaan Indonesia. Paradigma semata ekonomi dengan pengiriman tenaga ahli sekalipun sudah merupakan dehumanisasi, apalagi dengan trademark pekerja kasar. Tanpa adanya jaminan keselamatan nyawa sebagai hal dasar kemanusiaan, sama artinya pemerintah mengirim rakyatnya ke lembah keterasingan berujung kematian. Faktanya, keberulangan sejarah terus berlangsung dalam episode linear. Kemarin ternista, sekarang meninggal, dan entah besok berapa lagi yang menjadi tumbal.  

Disini pula yang menyaji ironi. Di satu sisi, kerjasama antara Indonesia dengan negara tujuan seringkali melupakan hak-hak dasar TKI. Apa yang terjadi dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir menjelaskan ketiadaan perlindungan negara terhadap rakyatnya di luar negeri. Sementara di sisi satunya, maraknya TKI tanpa izin (walaupun juga ikut menggerakkan ekonomi) menanda tiadanya komitmen pemerintah menginisiasi kerjasama strategis bagi penyediaan lapangan pekerjaan warganya.  

Kalau pemerintah sadar dengan tingkat pengangguran yang tinggi, dan meyakini pengiriman TKI sebagai salah satu solusi, semestinya serius menyiapkan perangkat-perangkat pendukung. Izin misalnya, kemudahan administrasi harusnya menjadi pilihan kebijakan. Soal TKI tanpa izin adalah akibat langsung dari kesulitan mendapat izin. Sehingga para rente leluasa mengambil peran, mengumbar janji manis yang berbuah ketidakpastian nasib. Soal pengawasan, hemat penulis adalah semata mau atau tidak, bukan mampu atau tidak.  

Dan kalau masih mau serius dengan kebijakan TKI, melakukan sosialisasi, pembinaan, dan pelatihan keterampilan di setiap wilayah bukanlah kebijakan yang aneh. Ini semua hanyalah perkara konsistensi. Kecuali pemerintah memang sedang bermain-main, kurang peduli, atau justru tidak mau tahu dengan nasib warganya, dan lalu tinggal menghitung berapa rupiah yang dikirim TKI setiap waktunya, marilah kembali merenungi arti kemerdekaan.  

Penulis termasuk yang percaya, selama pemerintah tidak secara radikal mengubah nalar dan orientasi, atau minimal implementasi praktis kebijakan pengiriman TKI, tragedi sebagaimana yang sudah lima hari dijadikan berita utama oleh harian ini, bukanlah kejadian yang terakhir. Evaluasi kebijakan dengan hanya mengutuk, itu pun setelah korban meninggal, adalah peristiwa antara yang tidak akan pernah berhenti dan hanya menyisa paradoks lanjutan. Dan selama itu pula keheranan dan permakluman menjadi kesan kewajaran atas bagaimana pemerintah memandang warganya.  

Dus, tragedi kematian tiga TKI asal NTB adalah cerminan paradoks itu. Dan sudah korban yang kesekian. Miris memang. 

Arifuddin Hamid 
Pegiat Kebijakan Publik, Kuliah di FHUI 
Kolom opini Harian Suara NTB (1/5/12) 


Profil
Arifuddin Hamid menulis di berbagai media dan jurnal akademik, serta profesional di berbagai institusi sipil dan pemerintahan. Menyelesaikan pendidikan sarjana (S1) di Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan pendidikan magister (S2) di Program Studi Magister Perencanaan Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan (MPKP) Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia.

Publikasi

Publikasi Kolom