Alkisah, tersebutlah adagium politik oleh Otto von Bismarck, salah seorang pemimpin terbesar dalam sejarah militer dan perpolitikan Jerman, “politik adalah seni kemungkinan”, adalah memungkinkan apa yang kasat tidak mungkin. Pemungkinan tersebut kemudian menjadi semacam manifesto dalam praktis politik hari kini. Sehingga karena demikian, banyak terjadi praktik yang sebenarnya tidak selayaknya dilakukan. Termasuk dalam ranah yang transenden adanya, dijadikan instrumen politik dalam rangka pemenangan syahwat dan posisi. Tak jarang, kerap ditemui praktik pembajakan “beratas nama” guna meraih simpati publik.  

Pemilu Kada sebagai mekanisme penyeleksian pemimpin daerah, yang sekarang sepenuhnya ditentukan oleh massa rakyat secara langsung, memang menyaji kompetisi secara bebas di antara para kandidat. Demi memenangkan pertarungan, tak jarang cara-cara tidak elok dipertontonkan. Sebutlah misalnya politik uang, politisasi birokrasi, pembunuhan karakter lawan, sampai “pembajakan” ruang publik yang bersifat transenden. Polah para kandidat tidak ubahnya seperti avonturis, berpetualang memanfaatkan segala sarana untuk satu tujuan. Kemenangan! 

Membedakan Ruang  

Tulisan ini tidak berhasrat mengurai fakta yang mungkin saja telah terjadi. Namun berkehendak menjadi pengingat atas ancaman pembajakan ruang publik oleh lakon politik yang semakin “serba mungkin”. Walaupun penulis termasuk yang percaya ketidakpisahan antara politik dengan reliji, antara negara dengan agama, tetapi tidak berarti mutlak tidak ada celah kategoris di antara keduanya. Menyederhanakan, atau malah memutlakan hubungan justru mendistorsi, di satu sisi keagungan reliji, dan di sisi lain nalar deviasi politik. Oleh karenanya, tanpa sama sekali berpikir dan berperilaku bijak dalam hubungan keduanya, adalah sama artinya memaksa sama dua variabel yang berbeda dan tidak bisa disandingkan.  

Politik ruang adalah mobilisasi semua ruang publik demi tujuan praktis dalam suatu kompetisi politik. Dalam hal Pemilu Kada, adalah politisasi ruang beragama dalam rangka kepentingan kelompok-kelompok politik. Sehingga sejatinya ruang beragama yang nirpolitis (tidak memihak kepentingan politik, menyuarakan dakwah kebenaran, melawan penindasan dan ketidakadilan) menjadi corong bagi upaya pemenangan politik satu dan atau beberapa kandidat kepala daerah.  

Pemilu Kada NTB yang telah ditetapkan pada tanggal 13 Mei 2013 (Suara NTB, 4/5/12) memang masih lama. Setidaknya dilihat dari empirik politik di beberapa provinsi lain, pemutusan kandidat terjadi bahkan dalam hitungan jam. Namun demikian, upaya pemasaran bakal kandidat, entah sebagai pemantik suasana (taste the water) atau curi langkah, kerap terjadi jauh sebelum hari pencoblosan berlangsung.  

Walaupun gerak politik para bakal kandidat belum terlihat, tidak harus berarti abai terhadap segala tingkah pembajakan ruang publik. Artinya, pembedaan antara ruang politik dengan ruang beragama harus tegas dikualifisir. Permisifisme atau apatisme terhadap hal yang demikian adalah berarti mendekonstruksi domain ideal yang semestinya bebas politik.  

Berbicara politik adalah membincang kekuasaan. Dan di alam demokrasi, bukanlah pada soal benar atau salah, tepat atau tidak, namun pada banyak atau sedikit, menang atau kalah. Oleh karenanya, mencampurkan ruang politik dengan ruang beragama adalah sebentuk kekeliruan berpikir. 

Politik Kategoris  

Politik perlu dibedakan menjadi dua spektrum. Pertama dalam artian filosofis-terminologis. Kedua dalam artian praktis. Kalau yang pertama pengertian politik tidak deterministik, untuk yang kedua terdapat kategori-kategori tertentu dalam membedah ruang masuk bagi praktis politik. Pengertian secara praktis ini perlu juga dibedakan berdasar tujuannya, antara politik dalam konteks kebijakan dan politik dalam hal kompetisi kekuasaan.  

Dalam hemat penulis, tahapan Pemilu Kada sebagai praktis politik haruslah bersifat sekuler, dalam pengertian terdapat pemisahan antara profanitas politik dengan kekekalan reliji. Sehingga kemudian keduanya menjadi variabel beda yang tidak bisa disatukan, dicampur-aduk, dan dikonsolidasi dalam ruang publik. Dalam bahasa lain, segala bentuk aktivitas dalam rangka pemenangan kandidat tertentu tidak boleh menggunakan ruang beragama.  

Politik praktis adalah melulu berbicara kuasa dan jabatan. Dan hanya sebatas itu. Sementara logika kekuasaan kerap meminggirkan etika dan akal sehat. Semanis apapun janji yang terucap, sebagus apapun konsep yang tertawar, atau sebaik apapun kandidat yang tertatap, semuanya superfisial menuju kekuasaan, demi pencapaian hasrat pribadi dan kelompoknya. Apakah nanti setelah terpilih menjadi pemimpin yang amanah atau tidak, itu persoalan pada dimensi yang lain.  

Dalam suatu proses seleksi politik, apapun yang disampaikan atau ditampilkan adalah semata instrumen, alat menggapai kemenangan. Dan laiknya instrumen, segala yang kiranya dapat mengoptimalkan langkah politik akan dipergunakan sedemikian rupa. Apalagi pada masyarakat yang memiliki kebudayaan politik relatif homogen, instrumen yang dirasa paling cocok akan dijadikan senjata peraih suara.  

Di NTB yang berbudaya politik politik relijius (populasi, sarana ibadah, dan suprastruktur kebudayaan), semua kandidat akan berlomba menjadi pengejawantah. Secara alamiah, adaptasi sebagai taktik tidaklah diharamkan dalam demokrasi. Namun akan menjadi soal ketika pengejawantahan tersebut mewujud dalam imanensi ruang transendental. Secara subjektif ditafsirkan sesuka pikiran, sembari mencari legitimasi semu, bahwa apa yang dilakukan adalah demi kebaikan publik. Padahal tidak sadar sedang memperkosa idealistik reliji.  

Perlu pembedahan sekaligus pembedaan tekstual dan kontekstual dalam memandang bagaimana keterkaitan dan lingkup hubungan antara politik dengan reliji, antara agama dengan negara. Ketidakpisahan di antara keduanya, laik yang diyakini penulis di alinea sebelumnya, harus dilihat secara arif. Bahwa politik, baik dalam pengertiannya yang nondeterministik maupun dalam artian kebijakan, salah satunya berkait dan bersumber dari nilai-nilai agama, berakar dari keyakinan transenden. Namun politik praktis, seperti dalam tahapan Pemilu Kada adalah proses keberjadian yang sedang menuju, dan dalam proses tersebut segala pemungkinan akan dilakoni, semua instrumen akan dipergunakan untuk menggapai kemenangan politik. Persis dalam hal inilah kewaspadaan perlu dipantik, bahwa proses yang sedang menuju tersebut tidak sedang berbicara kebaikan, keadilan, dan kebermanfaatan, melainkan celoteh tentang kekuasaan belaka. 

Arifuddin Hamid 
Analis Politik, Kuliah di FHUI  
Kolom opini Harian Suara NTB (11/5/12)  


Profil
Arifuddin Hamid menulis di berbagai media dan jurnal akademik, serta profesional di berbagai institusi sipil dan pemerintahan. Menyelesaikan pendidikan sarjana (S1) di Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan pendidikan magister (S2) di Program Studi Magister Perencanaan Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan (MPKP) Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia.

Publikasi

Publikasi Kolom