Kerap terlupa dari jagad wacana perencanaan daerah adalah pelibatan masyarakat dalam merumuskan arah pembangunan. Padahal peran serta masyarakat, selain merupakan paradigma pembangunan yang semakin universil, adalah imperatif yuridik sebagaimana tertuang dalam UU. No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan peraturan pelaksananya dalam PP. No. 40 Tahun 2006.  

Provinsi Lima Tahun 

Sebelum beranjak menyusun rencana pembangunan, perlu terlebih dahulu mengetahui hakikat kelembagaan daripada institusi penanggung jawab. Dalam konteks ini adalah pemerintah provinsi, kadar tanggung jawabnya mengacu pada jenjang kewenangan pemerintahan sebagaimana tertuang dalam berbagai paket peraturan hukum. Berdasarkan klausula undang-undang di bidang pemerintahan daerah, pemerintah provinsi adalah unsur pemerintahan pelaksana pemerintah pusat di provinsi. Lekatan kewenangannya yang terbatas sebagai unsur pelaksana pemerintah pusat mengondisikan keberkaitan statuta antara pusat dan provinsi. Demikian berarti, klausula berpijak dalam paket perundang-undangan di bidang perencanaan pembangunan adalah sama dan sebanding. Perencanaan provinsi adalah berkecenderungan diferensiatif terhadap nalar perencanaan di tingkat nasional. Dengan mengetahui hal ini, maka akar legalitas hakikat perencanaan dapat diketahui dengan terang dan dapat dipertanggung jawabkan. 

Perencanaan provinsi menjadi penting ketika disharmonisasi konseptual terjadi antartingkat pemerintahan, terutama paradoksial antara pusat dengan kabupaten/kota. Rezim otonomi daerah yang kita anut bukanlah diskursus pada tingkat kedaulatan, melainkan sekadar aras instrumentasi belaka. Bahwa kabupaten/kota bukanlah entitas pemerintahan yang merdeka dalam pembentukan sumber hukumnya, tetapi atributif dari peraturan hukum yang dibentuk oleh institusi pemerintahan lebih tinggi―hal ini yang terpositiviskan dalam klausula UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Oleh karenanya, meskipun perencanaan pembangunan merupakan urusan wajib pemerintahan provinsi (Pasal 13 ayat 1 UU No. 32/2004), tidak ada kejelasan mengenai pola organisasi masukan konseptual yang kemudian menjadi materi substansial kebijakan pembangunan. Konteks normatif inilah yang memberi ruang bagi urgensitas perencanaan provinsi melalui pembentukan kebijakan berskala lima tahunan. 

Mengapa masyarakat perlu mencermati rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD)? Setidaknya terdapat dua alasan untuk itu. Pertama, RPJMD adalah manifestasi praktis dari visi, misi, dan program prioritas gubernur terpilih (perencanaan politis). Dalam upaya menyusun perencanaan yang holistik dan realistik,  perencanaan politis tersebut perlu mempertimbangkan model perencanaan yang mengedepankan nilai objektivitas dan keilmiahan (perencanaan teknokratik). Perencanaan teknokratik ini, yang meliputi kerangka ekonomi makro dan rencana pembangunan sektoral dan kewilayahan, dihimpun salah satunya adalah dari aspirasi masyarakat. 

Aspirasi masyarakat yang dimaksud adalah keinginan masyarakat agar pemerintah memenuhi kebutuhan barang publik, layanan publik, dan regulasi yang disampaikan dalam media cetak, dan forum resmi, serta yang diperoleh melalui mekanisme penjaringan aspirasi yang akuntabel. Dus, inilah dasar pijak hulu perencanaan yang kerap terlupa. Bahwa perencanaan teknokratik bukan sekadar daya guna aparat internal pemerintahan, melainkan pelibatan masyarakat berkompetensi dalam nalar kerangka teknokratik-kalkulatif. Menurut penulis, amanat yang terkandung dalam UU No. 25/2004 adalah surplus pelibatan publik, yang sayangnya melulu terlewatkan dalam proseduralistik perencanaan di republik ini. 

Kedua, kemenangan petahana berpotensi bagi keberlanjutan pembangunan. Berdasarkan hasil evaluasi RPJMD Provinsi NTB 2009-2013, masih terdapat beberapa program pembangunan yang belum mencapai target, yang dilematisnya justru program-program utama dalam upaya mewujudkan kehidupan yang berkesejahteraan. Meskipun pemerintah mengklaim 56 dari 65 dari indikator pembangunan mencapai target (Suara NTB,16/1/12),  9 target tak tercapai adalah indikator pembangunan krusial yang meliputi bidang sosial, ekonomi, dan hukum.  Target-target tersebut adalah sorotan publik yang memang menjadi inti persoalan yang membelit NTB selama ini. Oleh karenanya, ketidakcapaian indikator kinerja adalah wujud dari kurang signifikannya pelaksanaan pembangunan di daerah. 

Pretensi terkait kebijakan pembangunan kadarnya memang asumtif, namun demikian, sejauh apa yang menjadi epos pembangunan di NTB yang berkisar di seputar kemiskinan, pendidikan, kesehatan, dan daya saing ekonomi tidak kunjung membaik signifikan, pelanjutan kebijakan oleh pemerintahan yang baru tentunya perlu mengambil pendekatan yang baru pula. Tidak saja pembaruan instrumentasi teknis pelaksanaan pembangunan, melainkan juga pembaruan yang bersifat konseptual. Penulis khawatir, gubenur terpilih berpotensi terjebak pada kerangka pikir yang sama, sehingga apa yang sejatinya diprioritaskan, justru dijadikan sebagai persoalan sampingan. Faktanya, visi dan misi TGB-Amin tidak menunjukkan adanya perubahan gagasan dan pendekatan pembangunan mendasar dari yang sebelumnya (TGB-Badrul Munir). Disinilah tantangannya!  

Partisipasi Rasionalitas 

Pelaku pembangunan sekarang tidak lagi semata berepisentrum negara, namun melibatkan masyarakat di dalamnya, termasuk pasar. Trilogi pelaku pembangunan ini adalah paradigma baru pembangunan dengan maksud pemasyarakatan pembangunan, bahwa masyarakat bukan sekadar objek, namun subjek (pelaku) pembangunan. Apalagi didasarkan pada visi pembangunan republik, paradigma tersebut adalah sejalan dengan amanat pancasila dan konstitusi 1945. Pasalnya, masyarakat dan pasar adalah entitas yang keberadaannya tidak saja diakui, bahkan eksistensi dan keterlibatannya menjadi niscaya dalam proses pembangunan. 

Kondisi NTB hari ini, dengan sekian persoalan yang menderanya, adalah mesti melibatkan masyarakat (dan pasar). Terlebih kegamangan kolektif kita sebagai warga NTB adalah rendahnya investasi karena pembangunan infrastruktur yang masih jauh panggang daripada api, selain kualitas kemanusiaan NTB yang masih memiris hati. Ini faktanya, yang apabila wacana pembangunan semata berkehendak pemerintah (government driven), persoalan-persoalan tersebut akan menjadi bom waktu, yang siap tidak saja memorak-porandakkan tatanan sosial-ekonomi masyarakat, namun tatanan kehidupan di NTB secara luas.    

Menurut penulis, kontekstualisasi pelibatan pelaku pembangunan tersebut dalam aras penyusunan RPJMD adalah untuk mendorong terjadi pertukaran gagasan (knowledge sharing) yang berakar dari kompetensi akademis dan pengalaman praktik. Aspirasi dalam kerangka teknokratik memang merupakan aspirasi yang dibatasi, namun sebagaimana dijelaskan penulis di alinea sebelumnya, proseduralistik pembangunan yang surplus publik adalah selain di sektor hulu (teknokratik) dalam penyiapan rancangan awal RPJMD, juga terjadi sektor hilir (partisipatif) melalui forum musyawarah perencanaan pembangunan daerah (Musrenbangda).  

Oleh karenanya, tafsir paling mungkin atas imperatif yuridik tertuang dalam UU No. 25/2004 tersebut adalah dalam rangka penolakan preseden yang berpotensi menjebak kendali pembangunan belaka bernalar administratif. Semata menyerahkan nasab pembangunan pada administratur pemerintah adalah bentuk peneguhan eksistensi status quo, yang eksesnya dapat saja berimplikasi buruk. Penulis bukan menyangsikan kompetensi aparatur, namun potensi nalar administratif tersebut sangat besar adanya. Pelibatan masyarakat adalah untuk terjadinya susun konsep yang lebih baik dan berdimensi multi. 

Apabila partisipasi masyarakat ini dapat direalisasikan, hemat penulis, akan muncul banyak wacana pembangunan konstruktif sebagai resep penawar ketertinggalan daerah di berbagai bidang. Model perencanaan ini akan menjadi preseden positif bagi tradisi intelektual di daerah, selain merupakan aras baru bagi alternatif rezim perencanaan selama ini, yang kerap meminggirkan keperansertaan masyarakat. Keapabilaan yang tidak berhenti menjadi tawaran rencana belaka seandainya pemerintah provinsi sudi mendengar suara keperansertaan diluar dirinya. Dengan asumsi bahwa penyusunan perencanaan teknokratik tersebut berjalan konsisten sebagaimana jangka waktu yang diperintahkan peraturan perundang-undangan, setidaknya kita masih punya waktu sampai Desember menjelang, sampai tiga bulan berikutnya pascapelantikan TGB-Amin September nanti. 

Apakah pemerintah provinsi NTB berani menerobos sejarah? 

Arifuddin Hamid 
Warga NTB, Alumnus Fakultas Hukum UI 
Pernah dimuat Suara NTB, 20/8/2013 


Profil
Arifuddin Hamid menulis di berbagai media dan jurnal akademik, serta profesional di berbagai institusi sipil dan pemerintahan. Menyelesaikan pendidikan sarjana (S1) di Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan pendidikan magister (S2) di Program Studi Magister Perencanaan Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan (MPKP) Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia.

Publikasi

Publikasi Kolom