Alih-alih bertindak mengurai sengkarut anggaran yang terjadi di daerah dan menjadi yang terdepan dalam meraih kepercayaan rakyat, DPRD Provinsi NTB (DPRD) justru berjuang di ruang senyap. Kalau tidak sarkastik disebut malas. Kemalasan ini terlihat dari menutup dirinya lembaga ini dari riuh informasi publik. Alih-alih menjadi yang terdepan dalam mengawasi kinerja kepemerintahan, bahkan, untuk menampilkan dirinya apa adanya, gamang dan tidak konfidensial.
Keliru Posisi
Keliru posisi kerap terlihat dari lelaku pikir DPRD kita, persis deskripsi dalam berita utama harian ini (2/8) mengenai kegamangan pembentukan Panitia Khusus (Pansus). DPRD tampaknya pesimis dengan lekatan kewenangan yang dimilikinya. Padahal, dalam sengkarut anggaran yang terjadi hari ini, bahkan argumen moral pun telah cukup menjadi justifikasi bersikap, apalagi sedikit berpeluh mencari klausula hukum. Namun tampaknya, DPRD seperti hendak berjuang sendiri, tanpa perlu publik tahu dan memahami bagaimana institusi ini bekerja. Bagi penulis, perkara potensial anggaran tersebut sama gentingnya dengan kemalasan DPRD menampilkan dirinya, terutama terkait beberapa hal penting yang merupakan imperatif peraturan perundang-undangan.
Tulisan ini memang belum berhasrat mengurai sengkarut anggaran, mengingat DPRD sendiri malas mengajak publik berpartisipasi membangun keadaban hukum yang lebih berkepastian. Padahal, pembentukan Pansus adalah suatu imperatif yang mesti ditindaklanjuti oleh DPRD. Ketentuan Pasal 46 ayat (1) huruf f UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) jo Pasal 302 ayat (1) huruf g UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) sebenarnya telah secara implisit menegaskan adanya proseduralistik pembentukan suatu panitia yang bersifat khusus, yakni meminjam terminologi kewenangan legislatif DPR sebagaimana ketentuan UU MD3, adalah dibentuk untuk melaksanakan fungsi legislasi dan/atau fungsi pengawasan, termasuk menangani masalah/urusan yang bersifat mendesak atau memerlukan penanganan segera (penjelasan Pasal 81 ayat 1 huruf j).
Klausula yang disitir penulis memang menjadi pintu penjelas awal urgensi pembentukan Pansus. Namun tentu saja, hukum tidak pernah menyimpul dalam parsialitas dan keburaman normatif, apalagi untuk perkara teknis seperti itu. Mengartikan definistik legislatif DPR tersebut adalah sepadan-searti dengan definisi Pansus dalam Tata Tertib DPRD sebagaimana tertuang dalam Peraturan DPRD NTB No. 2/2010 menjadi bentuk ketergesaan yang tidak perlu. Maka tidak aneh untuk mengatakan, DPRD NTB adalah salah satu institusi misterius, yang bahkan mengenai dirinya tidak dapat diakses sama sekali dalam peradaban ruang digital-maya. Ironi kemalasan di balik gempita informasi pascapengesahan undang-undang keterbukaan informasi publik tahun 2008 silam.
Pesimisme DPRD yang berakar dari pengalaman empiris tampaknya menegaskan multitafsir kedudukan DPRD, sekaligus menunjukkan DPRD tidak serius keluar dari jebakan legalitas. Perdebatan akademis seputar hal ini sebenarnya telah berakhir, minimal telah mengkristal menjadi doktrin mayoritas. Meskipun institusionalitas DPRD kerap mengundang salah paham banyak pihak, dalam ranah teori telah selesai. Atau apabila kita masih berdebat perkara praktis soal kedudukan ini, penulis mengajukan dua pengandaian. Bahwa DPRD memahami diskursus legal institusionalitas ini, persis relevan untuk pengandaian yang lain, bahwa DPRD tidak berlindung di balik jubah strukturalistik kelembagaan eksekutif.
Mengapa pengandaian ini penting? Dengan paham posisi dan kedudukan, pesimisme tersebut bukan sebentuk apologi, sehingga tidak memperlihatkan kedangkalan dan menegaskan ketidakmampuan DPRD berhadapan dengan gubernur. Pun (misalnya) DPRD sedang berapologi, ketidakpahaman tidak kemudian menihilkan tanggung jawab DPRD pada publik. Selain pada aras doktrinal, apologia adalah semata diskursus semantika.
Membaca cermat klausula dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang ada, posisional DPRD yang berada dalam lajur kelembagaan eksekutif tidak menegasi substansinya sebagai aspirator rakyat. Sebab DPRD juga memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan (Pasal 41 UU Pemda), yang dijalankan dalam kerangka representasi rakyat (Pasal 292 ayat 2 UU MD3). Frase “representasi rakyat” mengartikan kejelasan sumber kuasa DPRD, sekaligus menerangkan hakikat kelembagaannya. Bahwa lajur kelembagaan DPRD yang berada dalam domain kekuasaan eksekutif adalah semata dalam prosuduralisme penyampaian mekanisme pelaksanaan fungsi dan kewenangannya, bukan pada pokok pangkal darimana mestinya DPRD bertindak.
DPRD adalah eksekutif dan legislatif sekaligus! Peran ganda ini menegaskan satu hal penting: tidak ada kekosongan hukum bagi justifikasi tindaklanjut lelaku pengawasan DPRD. Terlebih mengenai sengkarut anggaran yang dipersoalkan, ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf c UU. No. 12/2008 jo Pasal 42 ayat (1) huruf c UU Pemda dengan tegas menyatakan: DPRD bertugas dan berwenang melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan APBD dan kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah. Bahkan DPRD juga mengusulkan pemberhentian kepala daerah/wakil kepala daerah (huruf d).
Fungsi pengawasan oleh DPRD juga laiknya lekatan kewenangan yang dinisbatkan pada suatu institusi legislatif, yakni dengan diberikannya hak interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat (Pasal 43 ayat 1 UU Pemda jo Pasal 298 ayat 1 UU MD3). Dari ketiga hak tersebut, krusialitas dan muara kronologik pelaksanaannya yang berdimensi politis terletak pada penggunaan hak menyatakan pendapat, yakni menyikapi kebijakan kepala daerah atau kejadian luar biasa di daerah, atau tindaklanjut hak interpelasi dan angket.
Lantas dimana urgensi Pansus? Apabila meminjam konstruksi normatif dalam UU MD3 perihal kelembagaan DPR, Pansus adalah institusi pelaksana hak menyatakan pendapat, yang apabila laporannya menjelma sikap kelembagaan, dampaknya tinggal selangkah menyengat jantung kekuasaan eksekutif (Pasal 187 ayat 2). Namun kolom ini tidak berani berargumen terlalu jauh. Kecuali frase “berpedoman pada peraturan perundang-undangan” dalam mekanisme pengaturan lanjut alat perlengkapan DPRD (Pasal 46 ayat 2 UU Pemda) bebas dimaknai sebagai berpedoman pada peraturan perundang-undangan perihal kelembagaan DPR, barangkali persoalannya akan lebih sederhana dibahas. Meskipun hal itu juga belum mampu menjawab sengkarut yang ada, sebab Pansus dalam kerangka kelembagaan DPRD tidak tertuang dalam UU, baik UU Pemda maupun UU MD3, melainkan diatur lanjut dalam Tata Tertib DPRD. Dan sangat mungkin DPRD terlalu kreatif dalam mendedah kata, sehingga definistik berikut substansi beristilah “Pansus” tidak bermakna sama dengan alat kelengkapan DPR.
Kegelapan klausula ini pada akhirnya bukan belaka soal subjektif penulis, namun menyangkut kredibilitas lembaga. Soal tata tertib ini, dapat saja penulis cari dan telusuri, namun apabila penulis melakukan itu, sama saja membiarkan kemalasan terus terjadi. Dan bukankah membiarkan kemalasan adalah menghambat aspirasi rakyat, termasuk penulis di dalamnya?
Kecuali DPRD sudah menjadi institusi maha tahu dan tidak mau melibatkan publik di dalamnya, biarlah DPRD bekerja dengan jalan senyapnya. Atau barangkali DPRD memang gagal paham dengan kewenangannya sendiri? Kalau begini letak perkaranya, salah penulis terlalu optimistik.
Arifuddin Hamid
Ketua Dewan Pakar Indonesian Transparency Publik (INTRALIC), Alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Dimuat Suara NTB, 12 Agustus 2013