Judul: Industrialisasi dan Perubahan Fungsi Sosial Hak Milik Atas Tanah
Penulis: Yusriyadi
Penerbit: Genta Publishing
Cetakan: Pertama, November 2010
Tebal: xviii+262 hal; 15,5x24 cm
ISBN: 978-602-96598-6-3
Terdapat ”celah selisih” antara apa yang dihukumkan (das sollen) dengan apa yang senyatanya (das sein). Telah terjadi perubahan dari apa yang secara ideologik dikehendaki ke fungsi lain di luar ideologik yang tidak dikehendaki. Kira begitulah simpulan dari buku yang ditulis oleh Prof. Yusriyadi ini, Guru Besar Hukum Universitas Diponegoro.
Membuka halaman per halaman buku ini kita akan disuguh argumentasi apik terkait adanya perubahan (celah selisih) dari yang dihukumkan ke yang senyatanya terjadi. Untuk menguatkan pandangan tersebut, penulis banyak menyitir hasil-hasil penelitian terkait tema yang dibahas.
Menyambung celah selisih tadi, penulis mengajak sidang pembaca untuk bersama terjebak dialektika -sekaligus persoalan mendasar yang dibahas- mengenai apa dan bagaimana konsep fungsi sosial hak atas tanah dan relevansinya dengan teks dan konteks hari ini. Dengan bahasa cukup berani, penulis menyatakan ada transformasi praksis dalam memaknai rumusan teks fungsi sosial hak atas tanah. Walau normatifnya tidak mengalami perubahan, konteks dan paradigmanya berubah, semangat pemaknaannya bergeser.
Kompleksitas Semantik
Membaca rumusan UU No.5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), kita akan menyimpulkan rumusan terpenting dalam agenda politik pertanahan nasional, yakni semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial (pasal 6 UUPA). Dalam penjelasannya diuraikan mengenai apa itu fungsi sosial, bahwa tanah tidak boleh dipergunakan semata untuk kepentingan individu. Penggunaannya harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat daripada haknya hingga bermanfaat bagi dirinya sendiri, maupun bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Tentu saja memaknai bahasa undang-undang tersebut, akan tersimpul adanya keseimbangan antara apa yang baik bagi individu pribadi, adalah sejatinya (juga) baik bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Dalam terminologi hukum, diistilahkan asas monodualisme.
Konsepsi UUPA adalah non dikotomik, yang tidak menabrakkan antara kemutlakan hak individu dengan kepemilikan oleh negara. Bahwa yang memiliki tanah adalah bangsa Indonesia, yang mana negara sebatas sebagai penguasanya (pengelola, pengatur). Bahwa kepemilikan oleh bangsa Indonesia tidak lantas menegasi hak kepemilikan individu, melainkan menyeimbangkannya dengan irama sosial kepentingan segenap bangsa. Sehingga sebagai rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa (komunalistik religius), negara harus tampil sebagai pengelola/pengatur peruntukkan penggunaan hak atas tanah, bertujuan agar sesuai dengan semestinya, ideal dan bermanfaat bersama.
Sebagai produk hukum yang dilahirkan di era orde lama, UUPA tidak terlepas dari konteks ideologi dan politik zaman itu, ketika politik kebijakan Indonesia sangat bernuansa sosialistik. Bahkan dalam buku ini, penulis menggambarkan UUPA sebagai undang-undang yang beraroma populis, yang dalam klausulnya diterjemahkan dalam adagium sosialisme Indonesia (pasal 5 UUPA).
Namun demikian, semangat UUPA mengalami penciutan dalam ranah praktis. Apa yang populistik bergeser menjadi yang kapitalistik. Etos keseimbangan mengalami keterpatahan praksis, yang adalah pergeseran tersebut dilandasi kekaburan normatif yang bersifat entah. Entah disengaja atau tidak, UUPA sendiri tidak kuasa menjelaskan fenomena yang terjadi, malah tidak mampu merekonstruksi tafsir yang darinya sendiri berasal.
Dalam hal ini, penulis mengetengahkan fakta akan diskursifitas pemaknaan dalam penggunaan hak atas tanah. Seperti disinggung di muka bahwa hak atas tanah itu harus seimbang, kenyataannya terhegemoni pandangan mengapasajakan tanah haknya. Dalam konteks hak milik apalagi, hegemoni tersebut tercermin sedemikian rupa.
Menyangkut pembebasan tanah, bahkan hak milik atas tanah semata dimaknai sebagai hak perseorangan. Pemilik tanah bebas mengapasajakan tanah hak miliknya. Masuk dan ”dipaksakannya” industri pada dasawarsa rezim orde baru turut menjadi faktor penting mengapa pemaknaan tersebut bergeser. Negara yang idealnya berfungsi sebagai pengatur/pengelola justru bertindak jauh menjadi fasilitator dalam upaya perwujudan pembangunan nasional. Adanya jargon ekonomi sebagai panglima dengan menempatkan industri sebagai strategi pembangunan kemudian mengerus peruntukkan tanah yang semula difungsikan sebagai subsistem produksi. Pada akhirnya tanah beralih fungsi menjadi komoditas industri. Dalam konteks inilah pergeseran pemaknaan hak atas tanah terjadi.
Hak milik yang sejatinya determinan berubah mutlak, tanah mengalami desakralisasi, sebatas menjadi komoditas ekonomi. Maka praktek pembebasan tanah yang semenjak orde baru berkuasa (dan masih berlangsung sampai hari ini) tidak terlepas dari pengaruh ideologi kapitalisme yang sejatinya tidak pernah tergambar dalam benak zamannya.
Menyisir kembali historis pembentukannya, nuansa sosialistik yang tidak terlepas dari materi muatan UUPA tidak saja terseleweng disebab tiadanya ketunggalan tafsir, melainkan juga sisipan (imperatif ideologik) kapitalisme yang menjarah paradigma elit. Era globalisasi yang ditandai kemajuan teknologi menyulap dunia menjadi tiada sekat, mempersempit jarak dan waktu. Wilayah yang dulunya terasing, yang di masa awal modernisasi masih tampak adanya keberbedaan situasional dan dikotomi antara desa dengan kota, sekarang ini menjadi kian kabur. Kalaupun berbeda, perbedaannya tidak lagi dikotomik, melainkan berubah gradual.
Maka seperti ungkapan Yoshihara Kunio yang dikutip penulis (hal. 76), bahwa kolusi antara penguasa dengan pengusaha yang menjadikan industrialisasi di Indonesia adalah industrialisasi semu semakin menegaskan adanya campur tangan negara dalam menista semangat UUPA dan mengubah paradigma kepemilikan hak atas tanah. Industrialisasi yang dipaksakan berimplikasi pada penggunaan strategi dan taktik propaganda, intimidasi, bahkan paksaan dalam upaya pembebasan tanah. Kesengajaan ini kemudian diimbuhi ketentuan normatif sebagai payungnya, yang alhasil produk hukum kemudian tidak saja tumpang tindih dengan UUPA (timpang administratif), namun juga telah sama sekali meninggalkan semangat ideologi yang diharapkan (cacat ideologi). Apa yang secara ideologik dikehendaki berubah ke fungsi lain di luar ideologik yang dikehendaki.
Sebab demikian, kehadiran buku ini menjadi relevan dengan kekinian Indonesia, negeri yang sedang gundah menyoal hak atas tanah, yang penguasanya sibuk terbuai jargon, yang pengusahanya kalap menumpuk modal, dan yang rakyatnya terus mengiba asa. Ada persoalan besar di negeri ini, bahwa lakon politik agraria sedang tidak berjalan di lintasan lurus. Selamat membaca!
Arifuddin Hamid
Mahasiswa Tingkat Akhir FH Universitas Indonesia
Depok, 28 Februari 2012