Realisasi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) menyajikan realitas utama: surplus produksi. Surplus barang dan jasa yang menjadi konsekuensi logis dari perdagangan lintas negara ini menjelaskan peningkatan sisi penawaran dalam lokus Asean. Bagi Indonesia, surplus penawaran ini melahirkan ancaman ekonomi tertentu yang langsung berdampak pada masa depan industri nasional. Persis dalam konteks inilah realisasi MEA melahirkan fenomena ekonomi deterministik, yakni terkait daya saing produsen dan kesadaran konsumen domestik. Kedua sisi pelaku ekonomi ini seharusnya saling mendukung, yang berarti peningkatan kualitas produksi sejalan dengan preferensi konsumen atas produk tersebut. Namun dalam hal ini jugalah kita menghadapi keterbatasan eksistensial, yakni rendahnya daya saing produk. Pada akhirnya, kita tidak bisa berharap banyak dari sisi penawaran domestik, namun yang jauh lebih krusial adalah pengondisian sistemik sisi permintaan. Dengan kata lain, ketahanan ekonomi nasional sangat bergantung pada preferensi konsumen Indonesia memaknai MEA.  

Dalam setiap skema perdagangan bebas, postulatnya selalu sama: menurunnya harga. Inilah jantung utama liberalisasi perdagangan sebagaimana tercermin dalam kesepakatan MEA tersebut. Bagi konsumen, hal ini adalah perkembangan yang baik sebab kapasitas dan daya belinya meningkat. Barang yang susah didapatkan di pasar domestik, atau yang harganya sangat mahal, kini sangat mudah didapatkan. Oleh karena tidak adanya lagi hambatan perdagangan (tarif dan kuota impor), harga barang dari pasar luar negeri menjadi jauh lebih murah. Pada akhirnya kesejahteraan konsumen meningkat dan ekonomi bergerak lebih dinamis. Namun ekonomi selalu menyelip faktorial kunci: biaya peluang (opportunity cost). Tetapi rupanya terminologi biaya peluang ini lebih tepat dimaknai biaya pengorbanan sebab pertaruhan ekonomi kita terlalu besar ketimbang potensi manfaat yang diperoleh, setidaknya dalam jangka pendek. Karena itu, tanpa adanya penyiasatan afirmatif yang terarah dan sistemik, pelaksanaan MEA hanya menjadikan Indonesia sebagai arena bancakan ekonomi regional. 

Paradoks 

Indonesia selalu saja mengidap paradoks endemik dalam menata kebijakan ekonominya. Bahkan lebih dari itu, pelaksanaan MEA menjelaskan paradoks berganda ekonomi kita. Di satu sisi, kerapuhan pelaku industri domestik yang sejatinya prasyarat objektif dalam keputusan strategis ekonomi tidak pernah secara serius dijadikan landasan penyusunan kebijakan. Faktanya memang demikian, sebab produktifitas sektor produksi kita sangat rendah ketimbang beberapa negara kompetitor utama di kawasan.  

Studi oleh McKinsey Productivity Sciences Center (2014), misalnya, indeks daya saing produk yang terindikasi pada kategori biaya dan kualitas masih memberikan skor rendah bagi Indonesia. Studi yang membandingkan daya saing produk industri terhadap total investasi asing langsung selama kurun 2009-2013 ini menempatkan Indonesia pada posisi ke-2 untuk daya saing industri kendaraan bermotor dan suku cadangnya (41 persen). Untuk jenis industri ini, kita masih kalah dari Thailand (44 persen). Untuk industri kimia, skor kita hanya mencapai 15 persen, jauh lebih rendah dibandingkan Singapura (38 persen) dan Vietnam (31 persen). Kita hanya unggul pada industri makanan, minuman, dan rokok (30 persen), lebih unggul ketimbang Vietnam (28 persen), atau Filipina (10 persen). Dari studi ini kita dapat menyimpulkan bahwa daya saing industri kita masih sangat bertumpu pada sektor primer, yang berciri kurang produktif dan inefisien.     

Terkait implikasi MEA pada sektor ketenagakerjaan, kajian skenario yang dilakukan International Labour Organization (2014) bertajuk “Mengkaji Dampak Integrasi Ekonomi Asean terhadap Pasar Ketenagakerjaan” menyimpulkan bahwa integrasi ekonomi ini potensial menimbulkan perubahan struktural yang berimplikasi pada meningkatnya pekerja informal. Untuk Indonesia, penambahan jumlah pekerja informal akan meningkat sebesar 75 persen dari pertumbuhan pekerja pada skenario integrasi ekonomi regional terpadu (RCEP). Karena RCEP ini adalah implikasi logis dari pelaksanaan MEA dan telah disepakati pada tahun 2012 oleh 16 negara peserta, maka dengan sendirinya angkatan kerja Indonesia akan terkena dampak langsung dari realisasi MEA. 

Berbagai studi akademis tersebut sebenarnya menyatakan bahwa fundamental ekonomi kita masih rapuh, terutama dari sisi mikro. Tren pertumbuhan ekonomi yang kerap dipuji sebenarnya belum menunjukkan kondisi ekonomi yang sebenarnya. Ekonomi kita lebih banyak ditopang oleh sisi permintaan, atau dengan kata lain, ekonomi kita adalah ekonomi yang konsumtif, bukan ekonomi produktif. Fakta ekonomi inilah yang perlu disikapi dengan matang, yang sekaligus menempatkan konsumen Indonesia sebagai penjaga terakhir ketahanan ekonomi nasional. Meskipun dalam jangka panjang tren ekonomi konsumtif ini jauh dari kategori baik, absennya kebijakan mitigasi hanya akan menjerumuskan kita pada keadaaan yang lebih buruk dan memilukan. Hal ini sangat penting karena faktanya ekonomi konsumtif ini ternyata juga menghadapi paradoks internal, yakni rendahnya mutu produk asing yang masuk ke pasar domestik. 

Dua Upaya 

Terhadap fakta rendahnya daya saing produksi dan sengkarut pelaksanaan impor, ada dua upaya yang perlu dilakukan. Pertama, peningkatan kesadaran konsumen. Dalam jangka pendek, ternyata kita tidak dapat berharap banyak dari perkembangan sektor industri domestik. Maka langkah rasional yang perlu dilakukan adalah melakukan sosialisasi secara utuh, konsisten, dan berkelanjutan standardisasi produk guna meningkatkan pemahaman konsumen. Dengan upaya ini diharapkan konsumen Indonesia lebih cerdas dan cermat dalam menyikapi serbuan produk impor. 

Kedua, perubahan struktural secara masif, sistemik, dan berkesinambungan. Temuan produk impor bermutu rendah dan palsu meniscayakan reformulasi dan perbaikan kelembagaan secara menyeluruh. Pemerintah perlu menyiapkan sistem proteksi konsumen melalui pembentukan regulasi yang lebih tanggap terhadap kualitas barang impor. Secara regulatif, peraturan hukum kita masih menempatkan barang palsu sebagai delik aduan, yang berarti penindakannya hanya dapat terjadi jika ada aduan dari pemilik merek atau pemegang lisensi (Pasal 76 dan 77 UU 15/2001). Dalam konteks inilah reformulasi atau revisi peraturan menjadi sangat penting untuk dilakukan.  

Selain revisi regulasi, langkah lain yang perlu dilakukan adalah peningkatan pengawasan dan penegakan aturan hukum atas penyelundupan produk impor. Penyelundupan selalu bermodus sama, masuk melalui jalur pelabuhan yang sepi, tidak terpantau, dan birokrasi yang lemah. Maka itu, reformasi kelembagaan dan revolusi mental birokrasi sangat dibutuhkan untuk mencegah dan mengakhiri praktik penyelundupan yang berdampak sangat merusak terhadap stabilitas pasar domestik. Pada ujungnya dan dalam jangka panjang, transformasi struktural ekonomi yang sekarang mulai digalakkan pemerintah akan jauh lebih mengakar dan berkelanjutan karena ditopang oleh birokrasi yang bersih dan berwibawa.*** 

Arifuddin Hamid
Tenaga Ahli di Komisi I DPR RI, Mahasiswa Pascasarjana Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia 
Koran Jakarta, 17 Februari 2017 


Profil
Arifuddin Hamid menulis di berbagai media dan jurnal akademik, serta profesional di berbagai institusi sipil dan pemerintahan. Menyelesaikan pendidikan sarjana (S1) di Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan pendidikan magister (S2) di Program Studi Magister Perencanaan Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan (MPKP) Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia.

Publikasi

Publikasi Kolom