Pembahasan revisi UU 15/2003 (UU Terorisme) memasuki babak baru. Setelah muncul penolakan terhadap sebagian draf revisi oleh kalangan organisasi kemasyarakatan dan kelompok masyarakat sipil, kali ini perdebatannya mulai mengarah pada silang sengketa kelembagaan negara. Silang pendapat ini muncul selepas adanya ucapan Kapolri yang cenderung menegasi pemahaman konseptual TNI tentang perlindungan HAM, selain kemampuan teknis penyidikan TNI yang dianggapnya masih belum mencukupi. Pernyataan yang dituding tendensius ini melahirkan pernyataan reaksional serupa dari institusi TNI, yang menyatakan bahwa TNI paham HAM! Balas-membalas atau barangkali dapat disebut dengan perang pernyataan ini semakin menambah bobot kontroversi revisi UU Terorisme yang memang sudah kontroversial sedari awal. Maka mungkin pertanyaan paling relevan adalah apa yang menjadi dasar pelibatan TNI dalam agenda besar pemberantasan terorisme ini? Apakah semata-mata didasarkan pada teoritik penegakan hukum (criminal justice system) ataukah implikasi terorisme pada aspek kehidupan kenegaraan dalam arti yang luas?
Dua Isu
Perkara terorisme bukan isu hukum belaka. Sebagai bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) atau dalam bahasa RUU menyatakan “kejahatan luar biasa terhadap kemanusiaan,” terorisme telah menimbulkan dampak tersebar yang sistemik terhadap lanskap kehidupan nasional, regional, maupun global. Terorisme telah menjadi isu sentral lintasnegara dan menjadi musuh terbesar umat manusia yang beradab dewasa ini. Bahkan disiplin kajiannya bukan lagi monopoli keilmuan hukum dan keamanan, namun telah menjadi isu penting dalam kajian ekonomi dan pertahanan.
Sebagai isu ekonomi, terorisme telah menimbulkan sentimen dan ekspektasi irasional di kalangan pelaku usaha, terutama dalam hal investasi asing. Sebagai negara yang masih terkategori berkembang, Indonesia membutuhkan kecukupan modal untuk mampu membangun ekonominya. Proses alih teknologi dan kecakapan sumber daya yang tersendat masih menjadi kendala terbesar bagi Indonesia, dan kedua hal tersebut dapat terealisasi dengan prasyarat laten yakni kondusifitas iklim usaha. Pemerintah harus mampu menjamin bahwa Indonesia memang tempat yang layak untuk berinvestasi. Bagi Pemerintahan Jokowi, kondusifitas iklim usaha ini adalah faktorial mutlak bagi keberhasilan rencana pembangunan yang berbasis pada investasi jangka panjang. Komitmen ambisius pemerintah yang konon menargetkan dana pembangunan sebesar Rp5000 triliun selama kurun 2015-2019 hanya akan berhenti sebagai etalase belaka jika prasyarat bagi pelibatan pihak swasta dalam pembangunan tidak mendapatkan jaminan keamanan.
Modus operandi aksi teror yang semakin canggih dan irasional ini menjadi tantangan sangat nyata bagi segenap pemangku kebijakan. Telah banyak kajian yang meneliti relasi resiprokal antara terorisme dan ekonomi. Abadie dan Gardeazabal (2008), misalnya, menyatakan bahwa terorisme telah menimbulkan biaya sosial dan ekonomi yang tidak hanya meruntuhkan nalar kepemilikan, namun juga telah mengurangi aktivitas berinvestasi. Secara umum, terorisme yang berderetan dengan instabilitas politik berdampak signifikan pada perlambatan pertumbuhan ekonomi (Gupta, dkk, 2004; Sandler dan Enders, 2008). Bahkan, Frey, Luechinger, dan Stutzer (2004) dalam kajian bertajuk “Calculating Tragedy: Assessing the Costs of Terrorism,” yang mencoba mengalkulasi biaya terorisme, menyimpulkan bahwa ongkos terorisme tidak hanya berdimensi ekonomistik semata, namun telah mengoyak tingkat kepuasan hidup manusia.
Terorisme juga berkaitan dengan kedaulatan negara. Genetika teror telah mengalami transformasi signifikan dengan motif yang bertendensi struktural. Kalau dulu teror dilakukan sebagai ekspresi ketidakpuasan yang berlokus nasionalistik, hari ini kita saksikan terorisme telah bertujuan membentuk suatu negara berdaulat. Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS) jelas-jelas berkehendak membentuk sebuah negara. Begitu juga dengan berbagai organisasi teroris lainnya di berbagai belahan dunia. Atau sebelumnya Gerakan Taliban yang berhasil menguasai politik dan pemerintahan di Afganistan, jelas-jelas fenomena ini memaparkan preferensi struktural organisasi teroris. Maka itu, menyempitkan lokus bahasan teroris sebagai isu hukum dan keamanan belaka adalah bentuk kekeliruan yang nyata.
Kedaulatan negara berkaitan dengan sistem pertahanan untuk mencegah adanya potensi dan ancaman, baik yang nyata maupun potensial terhadap eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Empat pilar kebangsaan telah diancam dengan sangat faktual oleh ideologi teror sehingga sudah sepatutnya mekanisme pertahanan negara diperluas yurisdiksinya. Yang kita hadapi bukan lagi sebatas ancaman tradisional berupa serangan dari negara lain, namun juga organisasi teroris yang telah berkembang biak menjadi suatu institusi lintasbatas yang menyeramkan. Teror yang terjadi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari kejadian serupa yang terjadi di negara lain. Kausalitas teror ini telah menjadi preseden global yang perlu disikapi secara serius oleh semua negara.
Pada 2015 lalu, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyampaikan fakta mendebarkan bahwa ada aliran dana terorisme dari negara asing untuk teroris di Indonesia. Hal ini menjelaskan bahwa ritus pendanaan terorisme telah terjadi dengan sedemikian masif dan tidak terkendali. Sepanjang 2015 saja, ada sedikitnya Rp2,83 miliar dana teror dari kelompok teroris di Australia yang berhasil diblokir. Coba kita bayangkan, dengan uang sejumlah itu saja, aksi teror dapat dilakukan dengan begitu marak. Bagaimana jika seandainya modus teror ini tidak saja dilakukan berlandas pada kepentingan ideologis, namun juga kapitalistik dan politik? Apakah ini bukan isu pertahanan dan kedaulatan negara?
Jika terorisme terus dilokalisasi menjadi isu keamanan semata, maka perjuangan melawan teror ini memang bagai melesatkan peluru kosong. Terorisme akan bereproduksi dengan modus operandi dan instrumen teror yang semakin canggih. Kalau hal ini yang terjadi, maka otoritas tidak akan mampu menjangkau setiap sudut teror yang sudah begitu kompleks. Karena itu, sebelum terorisme ini mengembang biak dan meruntuhkan segala sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, upaya penindakan dalam kerangka pencegahan imporisasi terorisme adalah keniscayaan.
Peran TNI
Sebagai penjaga kedaulatan negara, maka sudah sepatutnya TNI diberikan peran yang proporsional dalam agenda bersama memberantas terorisme. Peran ini perlu dilegalisasi melalui pengikatan dan penguatan kewenangannya dalam RUU Terorisme yang tengah dibahas. Melekatkan klausula peran TNI dalam batang tubuh RUU Terorisme adalah bentuk komitmen sekaligus penjaminan bahwa TNI memang diberikan peran yang wajar dan semestinya.
Karena itu, klausula Pasal 43B RUU Terorisme yang hanya menempatkan TNI sebagai unsur pembantu sekaligus terkoordinasi adalah rumusan yang cukup proporsional. TNI bukanlah institusi tunggal dan utama yang melaksanakan tugas pemberantasan terorisme, melainkan aktor pendamping yang keberadaannya determinan pada dua hal. Pertama, fakta-fakta objektif yang memungkinkan keterlibatan TNI. Kedua, adanya permintaan oleh institusi kepolisian. Dengan demikian, surplus peran TNI yang ditakutkan bertindak eksesif hanyalah delusi belaka. Mungkin yang kurang dari draf ini hanyalah rumusannya yang terlalu dangkal, sumir, dan tidak berkepastian. Perlu adanya pengaturan yang lebih tajam dan terperinci menyangkut mekanisme koordinasi dan tugas perbantuan oleh TNI. Maka itu pula, lokus perdebatannya perlu diluruskan yakni pada mekanisasi tugas TNI, bukan alas pijak keterlibatannya.
Arifuddin Hamid
Direktur Partnership for Strategic Initiatives (poin), Alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Dimuat Koran Jakarta, 29 Agustus 2016