Judul: Eminus Dolere (Panduan Mempersiapkan Perpisahan)
Penulis: Arman Dhani
Penerbit: Buku Mojok
Cetakan: Kedua, September 2020
Tebal: vi + 236 hal
ISBN: 978-623-7284-40-6
Sebenarnya apa maumu? Datang dan pergi sesukanya. Tak tahukah kamu? Musim yang empat itupun masih bisa ditebak apa tabiatnya. Sedang kamu dan segala sikap sontoloyomu itu adalah misteri. Kenapa kemudian kamu harus datang untuk kemudian pergi lagi? (hal. 190).
Buku yang ditulis oleh Arman Dhani ini sangat relevan jika memaknai pola dan relasi asmara anak muda zaman kini. Ini adalah versi panjang dari tren musik belakangan yang kian melankolis dan dramatik. Penggambaran hubungan asmara yang tidak berkepastian, tentu dengan segala predikat yang melekat padanya. Tentang seseorang bertemu seseorang, namun tanpa meyakini akan kemana arah hubungannya. Hubungan tanpa status.
Eminus Dolere (Panduan Mempersiapkan Perpisahan) adalah sebuah buku yang menceritakan relasi rumit antara laki-laki dengan perempuan. Lebih dari sekadar teman, namun belum sampai menjadi sepasang kekasih. Buku ini memang tidak menyebutkan nama tokoh, hanya aku dan kamu. Aku adalah si laki-laki, sementara kamu adalah si perempuan. Segala uraian dalam buku ini berangkat dari sudut pandang si lelaki.
Laki-laki yang tidak diceritakan siapa namanya ini menuturkan betapa besar cintanya pada si perempuan. Setiap hari, setiap waktu, dirinya dipenuhi rasa cinta sedemikian besar. Dia berharap, menunggu, dan selalu melankolis setiap bertemu dengan pujaan hatinya. Dengan segala imaji dan pengharapannya, akankah hubungan ini berakhir pasti, lalu menikah, berkeluarga, dan seterusnya. Dan seterusnya.
Aku benar-benar menyukaimu. Menyukai keberadaanmu, perbincangan kita, mimpi tentang memiliki rumah dengan cahaya terang, cita-cita menyusuri Jawa dengan mobil berdua, belanja di pasar, makan enak, lantas bercumbu sepanjang subuh di bawah langit di tepi pantai (hal. 34). Beginilah si laki-laki mendeskripsikan perasaannya. Dia sangat berharap cintanya berbalas. Namun bagian paling menyedihkannya adalah cinta yang bertepuk sebelah tangan.
“Sepertinya aku mencintaimu,” kataku tiba-tiba. “Tapi sayangnya aku tidak, katamu.” Pada titik ini, semestinya semuanya menjadi berakhir. Ceritanya telah tamat. Namun, sebagaimana yang terjadi dalam kisah asmara yang nyata adanya, sebentuk penolakan tidak lantas menjadikan pertemuan itu selesai. Mungkin akan berjeda, namun pertemuan akan saling tersambung menuju ke pertemuan berikutnya.
Hubungan Tanpa Status
Mungkin kita akan merasa, hubungan laki-laki dan perempuan dalam buku ini relevan dengan yang kita alami. Kita barangkali pernah, setidaknya, menempuh sebuah episode dalam kehidupan, relasi kita dengan orang lain yang tidak berujung. Tidak sampai menikah. Apapun alasan terselip yang melatarinya. Bisa jadi buku ini adalah semacam curahan hati penulisnya. Artinya, kisah ini tervalidasi, setidaknya berangkat dari pengalaman seseorang.
Buku ini menjadi menarik karena berusaha keluar dari kekangan persepsi, ia tidak bias gender. Seringkali (konon) yang menjadi korban perasaan adalah perempuan, namun lantas jika korbannya adalah laki-laki, maka ternyata pola relasi asmara itu tidak monopolis. Tidak selalu laki-laki yang menjadi tertuduh. Laki-laki dan perempuan punya peluang dan ruang yang sama menjadi pemberi harapan palsu.
Mungkin kita pernah menjadikan seseorang itu prioritas, namun dia menjadikan kita sebagai pilihan. Relasi tanpa status ini punya banyak ragam. Ada yang tidak melibatkan perasaan, bermotif materi atau nafsu badaniah belaka. Ada pula yang berpola asimetris. Seorang mencintai, namun ternyata yang lain hanya mengisi kegabutannya saja. Meski kadang kita akan bertanya, mengapa lantas bersama kalau ternyata cintanya palsu? Kelihatan mencintai, padahal tidak. Persis ketika laki-laki dalam buku ini percaya dia tidak cinta sendiri, cintanya berbalas, lantas dihantam palu godam kenyataan. Ternyata si perempuan tidak punya rasa cinta.
Kita mungkin akan kembali bertanya, mengapa rentetan pertemuan tidak dapat membangkitkan cinta? Seperti kata pepatah, alah bisa karena biasa. Cinta bisa bertumbuh karena seringnya bersama. Atau dalam lirik lagu Dewa 19 “Pupus,” ia menyadari cintanya bertepuk sebelah tangan, namun berharap waktu akan mengilhami, akan datang keajaiban, ia juga akan balik dicintai.
Relasi rumit yang diceritakan dalam buku ini pada akhirnya perlu dianalisis lebih mendalam. Barangkali kelihatannya sepele: bertemu, menjalin kisah, mungkin bercumbu, lalu selesai. Menghilang. Namun dengan pelibatan rasa didalamnya, ada aspek psikososial yang harus dijawab. Ini bukanlah kisah satu dua orang, namun menjadi cerita kolektif banyak orang. Menjamurnya lagu-lagu galau menjadi bukti banyak orang mengalami kisah serupa.
Buku ini pantas menjadi teman refleksi kita semua, utamanya bagi anak-anak muda yang terjebak pada pola relasi rumit yang sama. Mungkin tidak memberikan solusi, namun layak menjadi bahan perenungan. Mau dibawa kemana hubungan kita? Seperti lirik lagu yang pernah hits pada masanya.
Tebet, 17 November 2024
Arifuddin Hamid