Mengapa kasus kekurangan gizi selalu menarik untuk dibahas, selain karena reproduksi kenyataan yang tidak pernah berakhir, juga menyulut polemik pemaknaan terhadap data yang dirilis. Selalu ada saja pihak yang menyangsikan akurasi data, sembari menyampaikan sanggahan dan pembelaan paradigmatik.  

Identitas harian Suara NTB (29/02) mengangkat persoalan serangan hama padi di beberapa wilayah NTB. Begitu paradoksial, sebab selain menampilkan yang terjadi, juga menginfokan target 2,3 juta ton produksi padi NTB 2014. Memahami kolom ini, niscaya akan dihadapkan pada keanehan faktual, sekaligus memorial. 

Keanehan serupa pernah juga disampaikan menteri kesehatan 2005 silam, ketika kasus busung lapar luar biasa terjadi di NTB. Sebagai daerah subur dan selalu surplus produksi padi, NTB justru terlilit kasus busung lapar tertinggi di Indonesia (Tempo, 28/05/05). Bahkan dalam data terakhir yang dirilis kementerian kesehatan, angka kekurangan gizi buruk pada anak usia bawah lima tahun mencapai 30,5%, tertinggi di Indonesia. Sementara angka rata-rata nasional hanya 17,9% (Suara NTB, 02/12/11). Di sisi lain, di harian yang sama (19/01/12), pemerintah provinsi mengklaim adanya perbaikan pembangunan kesehatan NTB secara umum. 

Data, fakta, kultur, kebijakan, adalah basis lekatan yang darinya kekinian NTB dibahas. Rendahnya angka IPM, akutnya persoalan gizi, surplus produksi padi, kultur masyarakat, dan paradigma elit adalah faktor-faktor yang memiliki keterkaitan satu sama lain. Persoalan yang satu berdampak pada yang lain, apa yang terjadi berakar dari yang ada sebelumnya. 

Diskursus  

Kebijakan dan manajemen pemerintahan hari ini menampilkan sejumlah ironi. Persis yang disinggung dalam identitas harian ini, pemerintah provinsi (pemprov) rupanya masih begitu getol menggenjot produksi padi. Besaran 2,3 juta ton adalah ironi itu. Serangan hama padi yang dikhawatirkan menggagalkan target tersebut adalah serpihan persoalan di tengah parsialitas kebijakan. Ada hal lain yang sebenarnya perlu dicermati bersama, yakni sejauh mana surplus produksi padi (kebijakan pangan) mampu mengangkat harkat, martabat, dan indikator riil pembangunan masyarakat NTB. 

Tema seputar pembangunan masyarakat adalah perkara besar yang perlu melibatkan sekian entitas, berupa paradigma, gagasan, aktor, kebijakan, dan realitas. Aktor (pemerintah) mengambil sikap (kebijakan) berdasar wacana (gagasan) yang berakar dari keyakinannya akan sesuatu (paradigma). Maka darimana paradigma (aktor) berasal? Meminjam konsep hukum dalam konteks pembuatan peraturan perundang-undangan, dikenal kodifikasi dan modifikasi. Kodifikasi adalah pelembagaan nilai, norma, kaidah menjadi hukum (positif), sementara modifikasi adalah suatu pandangan ke depan yang justru berniat mengubah realitas yang apa adanya terjadi hari ini.  

Sebagai pihak yang diberi mandat, pemerintah adalah pengatur, pengelola, sekaligus kreator peradaban. Yang apa adanya terjadi di lingkungan sekitarnya, baik politik, ekonomi, sosial budaya, keamanan, dan lain sebagainya, adalah bahan baku kebijakan yang perlu dirumusnya, disistematisir, dijalankan melalui instrumen positif yang legal dan berlegitimasi. Realitas adalah apa yang sudah dan sedang terjadi, yang proses berlangsungnya determinan terhadap ruang dan waktu. Masa depan bukanlah realitas, sebab masih sesuatu yang akan.  

Pertanyaannya, bagaimana pemerintah harusnya memosisikan diri terhadap dan dalam menuju yang akan tersebut? Apakah yang akan adalah kelanjutan linear dari yang sudah dan sekarang berlangsung? Ataukah masa depan adalah yang berbeda dan jauh lebih baik dipandang dari kalkulasi statistika? 

Perlu Rekayasa  

Laiknya daerah lain di Indonesia, beras adalah konsumsi utama masyarakat NTB. Sebagai kebutuhan primer, pasokan atasnya akan turut mempengaruhi kualitas kesehatan dan tingkat daya saing. Tingginya kasus kekurangan gizi adalah fenomena yang terhadapnya perlu diajukan beberapa preposisi kritis, apakah gizi kurang adalah semata disebabkan ketimpangan kebijakan (miskonsepsi), macetnya distribusi pangan (mismanajemen), kurangnya kesadaran masyarakat, ataukah gabungan dari ketiganya? 

Terdapat fakta menarik yang diulas harian kompas (13/02/2012), bahwa berdasar hasil penelitian Tim Penggerak Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Provinsi Jawa Timur, sebanyak 38% kasus gizi buruk di Jawa Timur terjadi antara lain karena faktor budaya, tetapi yang terpenting adalah karena absennya pendidikan menjadi orang tua dalam proses tumbuh kembang anak. 

Dikaitkan dengan kondisi masyarakat di NTB, dalam riset Dinas Kesehatan NTB (2011), tercatat pada tahun 2010 sebanyak 41,6% pasangan di NTB menikah pada usia dini, yakni umur 15 hingga 19 tahun. Dan dari data rilisan Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana NTB (2011), tingkat perceraian di beberapa wilayah cukup tinggi, bahkan ada yang sampai 8,18% (laporan SKPD NTB, dikutip dari laman resmi Pemprov NTB). 

Menyoal kebijakan pangan NTB, surplus produksi padi bukanlah jaminan terbentuknya generasi sehat dan cerdas, atau sesuai dengan standar yang digambarkan dalam indikator IPM. Maka seperti yang penulis singgung di alinea sebelumnya, target 2,3 juta ton adalah superfisial dan ilusif semata, adalah ironi di lumbung padi. Ditetapkannya NTB sebagai daerah penyangga pangan nasional semestinya tidak membuat pemerintah melupakan realitas yang lain, bahwa ada faktor budaya yang menjadi kerikil tajam dan menghambat terciptanya generasi berkualitas. 

Gizi buruk adalah deskripsi sederhana dari peradaban yang sakit, yang lahir dan dilestarikan oleh sempitnya paradigma. Sementara akal sehat telah bersabda, kultur dan pandangan hidup bukanlah sesuatu yang given, namun konstruksi dan reproduksi lampau yang bersifat relatif dan determinan. 

Membangun masyarakat NTB tidak cukup dengan parsialitas ikhtiar, sembari permisif pada kultur yang harusnya sudah rayap dimakan zaman. Dan sebagai kreator, pemerintah sejatinya tidak hanya berhenti untuk memahami realitas. Dalam bahasa Mansour Fakih (2001:5) tugas teori sosial pada dasarnya tidak sekadar memberi makna terhadap suatu realitas sosial, tetapi juga bertugas untuk mengubah realitas sosial yang bermasalah. Hukum positif (ius constitutum) yang mengenal pendekatan modifikasi semestinya melakukan rekayasa sosial (law as a tool of social engineering). 

Oleh karenanya, agenda terbesar sekaligus terberat Pemprov NTB bukanlah sekadar menggenjot produksi padi, namun melakukan rekayasa sosio kultural. Menyitir pepatah latin kuno, tempus mutantur, et nos mutamur in illid, waktu berubah, dan kita (ikut) berubah juga di dalamnya. Kecuali pemerintah terjebak realitas, keberhasilan pembangunan masyarakat NTB tidak lagi sebatas ilusi. Wallahu a’lam. 

Arifuddin Hamid 
Mahasiswa Tingkat Akhir Fakultas Hukum Universitas Indonesia 
Suara NTB, 1 Maret 2012 


Profil
Arifuddin Hamid menulis di berbagai media dan jurnal akademik, serta profesional di berbagai institusi sipil dan pemerintahan. Menyelesaikan pendidikan sarjana (S1) di Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan pendidikan magister (S2) di Program Studi Magister Perencanaan Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan (MPKP) Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia.

Publikasi

Publikasi Kolom