Indonesia di masa depan kerap disebut sebagai salah satu negara jangkar. Jim O’Neill—pimpinan Goldman Sach Asset Management—bahkan sampai perlu membuat jargon baru, dari BRIC (Brazil, Rusia, India dan China) menjadi MIST (Meksiko, Indonesia, Korea Selatan, dan Turki). Dalam studinya prediktifnya yang kini menjadi klasik, Goldman Sachs meramalkan bahwa Indonesia pada tahun 2050 nanti akan menduduki posisi nomor tujuh dunia berdasarkan besaran pendapatan. Tahun 2006 lalu, Pricewaterhouse Coopers juga menyatakan hal yang sama, bahwa Indonesia akan menempati posisi penting dan strategis dalam kelompok ekonomi dunia. Baru-baru ini, McKinsey Global Institute (2012) bahkan dengan optimistik memprediksi Indonesia akan menapaki posisi ekonomi terbesar ketujuh pada tahun 2030. Menyikapi prediksi tersebut, satu pertanyaan perlu diajukan: apakah desain perencanaan kita menjawab masa depan?  

Pertanyaan tersebut semakin relevan di awal tahun 2016 ini, momentum tapak refleksi kemandekan pembangunan infrastruktur di berbagai daerah. Sementara dengan desain keserbamungkinan yang kita anut, rumusan cita kemerdekaan dapat saja berbaik arah, baik dalam lanskap jangka panjang (UU) maupun jangka menengah (Perpres). Penulis patut khawatir, segala perencanaan yang ada akan menjadi statuta belaka. 

Penetapan Strategik 

Dalam teori hukum, peraturan (legal policy) dibedakan atas tiga sifat: makro, messo, dan mikro. Bersifat makro apabila dirumuskan dalam norma dasar, yakni UUD 1945 sebagai dasar hukum tertinggi. Secara hierarkis, tujuan makro tersebut dijabarkan ke dalam peraturan yang bersifat messo, yakni berupa undang-undang yang pembentukannya dibebankan kepada DPR dan presiden. Selanjutnya legal policy yang mikro tercermin dalam peraturan lebih teknis yang merupakan jabaran lanjut dari undang-undang. Apabila menariknya secara legalistik-formal, teoritik tersebut sejatinya membagi kualifikasi kebijakan hukum ke dalam tiga jenis peraturan perundang-undangan: UUD 1945; UU/Perppu; dan peraturan teknis (PP, Perpres, dan Perda). 

Namun teoritik tersebut tidak sejalan dengan ketentuan dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam UU 12/2011 ini, terdapat celah selisih antara yang makro dengan yang messo, yakni dimasukkannya Ketetapan MPR/S (TAP MPR/S) ke dalam struktur peraturan perundang-undangan. Bagaimana kualifikasi TAP MPR/S ini, inilah yang belum banyak dijadikan diskursus kebijakan. Sementara TAP MPR/S sendiri mempunyai sifat mengikat ke dalam dan ke luar sekaligus, artinya mengikat bagi kelembagaan MPR dan pranata formal lainnya dalam kehidupan bernegara. 

Hemat penulis, fakta legislasi ini adalah penanda terjadinya polemik legalistik perencanaan pembangunan. Di satu sisi, terjadi dislokasi antara jenis muatan dengan materi muatannya, yakni yang tertuang dalam UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dan Perpres No. 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN). Di sisi lain, adanya diskompetensi kelembagaan dalam pembentukan perencanaan. Padahal suatu gagasan/ide (termasuk perencanaan) disebut konstitusionalistik apabila preferensif pada hierarkisitas peraturan hukum. 

Apakah kemudian TAP MPR merupakan wujud konstitusionalisme dan jalan keluar atas disorientasi perencanaan jangka panjang, terdapat dua lokus perspektif sebagai dasar rasionalitas. Pertama, lokus internal yakni menyangkut kapasitas kelembagaan MPR. Secara kelembagaan, MPR adalah himpunan anggota DPR dan DPD (Pasal 2 ayat 1 UUD 1945). Konstruk pasal ini dengan sendirinya menegasikan ketimpangan kelembagaan DPR dan DPD, yang berarti anggota MPR memiliki kedudukan yang sama dan sejajar, terlepas dari kelembagaan asalnya. Ini berarti, polemik posisional DPR dan DPD berakhir dan menjadi tidak relevan ketika para anggota tersebut merumuskan suatu peraturan dalam sidang MPR. 

Konstruk kelembagaan tersebut sejatinya menjadi alasan pembenar (raison d’etre) lahirnya klausula UU 12/2011 yang menempatkan TAP MPR berposisi lebih tinggi ketimbang UU. Perbedaan posisi ini meniscayakan adanya hierarki norma, bahwa segala pilihan kebijakan yang tertuang dalam UU tidak boleh bertentangan dengan TAP MPR. Secara historikal, MPR sendiri pernah membentuk peraturan (legal policy), yang memiliki sifat hukum abstrak dan umum. Meskipun UUD 1945 tidak menerangkan secara eksplisit kewenangan regulatif MPR ini, banyaknya ketetapan mengikat ke dalam dan ke luar (sekaligus), sepanjang sejarah perjalanan republik ini, sudah cukup didefinisikan sebagai “konvensi ketatanegaraan.” Lagipula, dari beragam TAP MPR/S yang ada, masih terdapat tiga TAP MPR/S yang berlaku mengikat: TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966, TAP MPR Nomor XVI/MPR/1998, dan TAP MPR Nomor I/MPR/2003. Dengan kata lain, kedudukan MPR untuk membentuk suatu dokumen perencanaan strategis jangka panjang adalah legal dan lumrah secara yuridis. 

Kedua, lokus eksternal, perkembangan hukum dan ketatanegaraan terkini yang bersifat normatif maupun aktual. Terkait substansinya, RPJPN bermaterikan perihal yang bersifat istimewa, sebab RPJPN adalah penjabaran dari tujuan dibentuknya pemerintahan Negara Indonesia yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 (Pasal 3 UU 17/2007). Sebagaimana kita ketahui, klausula “tujuan negara” tersebut adalah rumusan holistik tentang kemana negara ini akan dibawa. Apabila kita bandingkan dengan rumusan materil suatu undang-undang pada umumnya, apa yang terumuskan dalam UU 17/2007 tidaklah sama materi dan derajat muatannya. Sebaliknya, suatu undang-undang adalah derivasi norma satu dan/atau beberapa klausula dalam batang tubuh konstitusi.  

Selain itu, struktur peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak mengenal adanya UU utama dan UU organik. Semua UU justru bersifat organik. Logika legislasi ini menyebabkan tidak optimalnya penuangan RPJPN dalam bentuk UU. Sehingga implikasinya adalah materi muatan UU potensial tidak mencerminkan tujuan negara. Padahal sebagaimana amanat konstitusi, tujuan negara tersebut adalah kehendak imperatif yang mesti dicapai. Menghindari hal tersebut, sudah sewajarnya dibuat stratifikasi struktur, yakni melalui penempatan RPJPN dalam struktur norma lebih tinggi, dalam hal ini berbentuk TAP MPR. 

Yang juga penting untuk dibahas adalah terkait sistem elektoral kita yang hanya mengizinkan partai politik atau gabungan partai politik untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden. Secara langsung maupun tidak langsung, program presiden adalah program partai politik, begitu pun sebaliknya. Sementara RPJMN sendiri adalah penjabaran dari visi/misi dan program presiden terpilih yang berjangka waktu lima tahunan. Sistem politik ini dengan sendirinya menyebabkan terjadinya kegagapan antara cita negara dengan program presiden. Padahal sebagaimana diketahui, UU RPJPN yang dibahas dan disetujui bersama oleh DPR dan pemerintah dan berjangka waktu dua puluh tahun ini merupakan pedoman bagi pembentukan RPJMN selama masa kepemimpinan presiden. Konteks pembentukan inilah yang pada akhirnya berpolemik ganda. Di satu sisi, perencanaan jangka panjang yang tertuang dalam UU RPJPN dapat saja diubah oleh pemerintah berkuasa, sehingga sejalan dengan program dan visi-misinya. Sementara di sisi lain, RPJPN juga tidak secara kompherensif mengodifisir aspirasi daerah (DPD).   

Pada akhirnya, kita akan berkesimpulan bahwa revisi jenis muatan RPJPN dari UU menjadi TAP MPR bukan saja bentuk kepatuhan konstitusional, melainkan juga kemestian realistik, demi kesinambungan pembangunan dan masa depan Indonesia. 

Arifuddin Hamid 
Mahasiswa Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik FEB UI, Peneliti di Partnership for Strategic Initiatives 
Dimuat Harian Suara Karya, 25 Februari 2016 


Profil
Arifuddin Hamid menulis di berbagai media dan jurnal akademik, serta profesional di berbagai institusi sipil dan pemerintahan. Menyelesaikan pendidikan sarjana (S1) di Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan pendidikan magister (S2) di Program Studi Magister Perencanaan Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan (MPKP) Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia.

Publikasi

Publikasi Kolom