Kembalinya nomenklatur Kementerian Transmigrasi dalam Kabinet Merah Putih seperti memutar roda waktu. Setelah paska reformasi kementerian ini diturunkan statusnya selevel direktorat jenderal, kini Presiden Prabowo kembali mendudukkannya menjadi kementerian (Perpres 172/2024). Tentu ini memantik tanya: apakah transmigrasi masih relevan? Perpindahan penduduk secara sukarela untuk meningkatkan kesejahteraan dan menetap di kawasan yang diselenggarakan oleh pemerintah (Pasal 1 angka 1 UU 29/2009), masih menjadi diskursus publik. Meski program transmigrasi tidak dihapus dan punya sejarah sejak prakemerdekaan, namun citra kebijakan ini terlanjur melekat dengan orde baru. 

Prof. Subroto, Menteri Transmigrasi dan Koperasi pada 1972 dalam pidato bertajuk “Strategi Transmigrasi dan Koperasi di Dalam Rangka Strategi Nasional,” menyatakan bahwa misi pokok dari transmigrasi adalah menghilangkan kemiskinan dengan cara meningkatkan pendapatan rakyat. Program transmigrasi ini juga bersifat pelopor dan bentuk rekayasa sosial dari pemerintah, sebelum akhirnya terjadi perpindahan penduduk secara mandiri dan spontan. Hal ini ditegaskan dalam ketentuan UU 3/1972 bahwa biaya penyelenggaraan transmigrasi berasal dari APBN, dan transmigran berhak mendapatkan tanah pekarangan dan/atau tanah pertanian. 

Jika merujuk kondisi historis waktu itu, kondisi perekonomian negara memang sedang sulit. Hiperinflasi yang diwariskan orde lama membuat negara nyaris bangkrut. Pemerintah mencari beragam upaya mengatasi persoalan ini, salah satunya menggalakkan perpindahan penduduk dari Jawa ke luar Jawa. Pada 1971, jumlah penduduk Indonesia mencapai 119,2 juta jiwa, dengan konsentrasi terbesar ada di Jawa Timur (25,5 juta), Jawa Tengah (21,8 juta), dan Jawa Barat (21,6 juta). Penduduk di tiga provinsi ini mencapai 57,8 persen dari total populasi. Di sisi lain, penduduk miskin menembus 50,6 persen atau 60 juta jiwa (Fox, 2002, Poverty Reduction in Indonesia, 1965 to 1997). 

Tjiptoherijanto (1995) menyatakan relasi program transmigrasi dengan perpindahan penduduk tidaklah signifikan. Selama periode 1930-1990, persentase penduduk yang yang tinggal di Pulau Jawa hanya turun 8,7 persen. Pemerintah terlalu hiperbolik. Misalnya, pada tahun 1947 rencana memindahkan penduduk sebanyak 31 juta jiwa selama kurun waktu 15 tahun, atau pada 1951 akan memindahkan 48,6 juta jiwa dalam 35 tahun. Faktanya, pada tahun 1953, hanya 40 ribu orang yang berhasil dipindahkan (Levang dan Sevin, 1990). Hingga saat ini, tercatat ada 9,2 juta penduduk yang telah bertransmigrasi (Kemendes PDTT, 2023). 

Secara faktual, transmigrasi berimplikasi pada kehidupan ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Program ini menyerap 30 – 40 persen dari total anggaran pembangunan bagi pulau-pulau luar, meningkatkan utang negara, dan menjadi bencana ekonomi (Adhiati dan Bobsien, 2001). Transmigrasi juga memicu ketegangan sosial antara masyarakat adat dan transmigran disebabkan perebutan sumber daya pertanian (Karsadi, dkk, 2020). Bahkan, kebijakan ini dipandang menghilangkan keberagaman dan keberlanjutan budaya lokal (Fearnside, 1997). 

Peta Jalan 

Tantangan transmigrasi era orde baru dengan sekarang tentu tidaklah sama. Latar historis dan lanskap sosial ekonomi sangatlah berbeda. Dari sisi demografis, penduduk Indonesia telah menembus 282,4 juta jiwa. Luasan lahan juga telah banyak terkonversi menjadi area perumahan, industri, dan pertambangan. Tingkat kemiskinan juga telah menyusut drastis menjadi 9,03 persen atau 25,22 juta jiwa. Oleh karenanya, perlu ada kebaruan paradigmatik terkait transmigrasi. Transmigrasi jangan lagi dipandang sebagai sarana mobilisasi penduduk, namun punya tujuan yang terarah dan berdampak nyata bagi pembangunan. 

Pilihannya menjadi rumit. Di satu sisi, Indonesia mengalami lonjakan usia produktif, namun tidak kompetitif. Pekerja Indonesia termasuk yang tidak produktif di Asia Tenggara, hanya menempati peringkat ke-5, berada di bawah Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Thailand (ILO, 2024). Di sisi lain, lapangan pekerjaan juga terbatas. Terjadi deindustrialisasi dan pelemahan sektor padat karya. Jika tujuan pemerintah adalah mengisi kekosongan tenaga kerja di berbagai wilayah luar Jawa, argumen ini dilematis. Faktanya, mayoritas tenaga kerja (57,95 persen) atau 88,14 juta jiwa bekerja di sektor informal, serta sebanyak 35,8 persen hanya berpendidikan SD ke bawah (Hanri dan Sholihah, 2024). 

Ada tantangan besar dalam meningkatkan keterampilan dan daya saing pekerja. Jargon transmigran patriot yang dicanangkan pemerintah jangan hanya simbolik, namun juga dibekali keterampilan yang memadai. Kecakapan teknis ini diperlukan agar transmigran tidak menjadi beban sosial, ekonomi, dan kebudayaan seperti ekses dari kebijakan transmigrasi masa lampau. Mobilitas penduduk ugal-ugalan yang bertujuan migrasional belaka hanya menyisakan kecemburuan sosial dan konflik. Paradigma mobilitas penduduk harus didekonstruksi secara radikal, tidak berdimensi kewilayahan. Tidak hanya berasal dari wilayah tertentu saja. 

Keberhasilan program transmigrasi tidak lagi diukur dari berapa banyak penduduk yang dipindahkan, namun apa dampak nyatanya bagi pembangunan kawasan. Transmigrasi dan program pemerintah harus seiring sejalan. Transmigran inilah yang nantinya akan menjadi pekerja di berbagai proyek tersebut. Oleh karena itu, pemerintah harus menajamkan sasarannya, akan kemana fokus program transmigrasi ini. Jika disebut transmigrasi tematik, kekhususan seperti apa yang diharapkan? Apa jenis proyek yang akan atau tengah dilaksanakan? Lalu seperti apa kesebandingan insentif bagi transmigran terampil itu? 

Setiap pilihan kebijakan tentu punya risiko (trade-off). Jika mengharapkan pekerja terampil, maka harus siap dengan besarnya biaya. Kementerian Transmigrasi harus menjadi fasilitator, sekaligus penanggung jawab dari kebutuhan transmigran, hulu ke hilir. Dari menjadi pencari bakat (skill hunter) sampai penyedia insentif dan fasilitas lainnya. Ini konsekuensi logis dari merekrut lulusan berpendidikan tinggi untuk ditempatkan di daerah terpencil. Perlunya relasi multipartit, sinergi dengan perguruan tinggi, swasta, masyarakat lokal, dan dunia internasional. 

Sebagai lembaga pemerintah yang mati suri cukup lama, pilihan bagi kementerian transmigrasi memang tidak mudah, juga tidak banyak. Lembaga ini kadung bercitra “kolonialistik.” Jika kementerian ini diharapkan menjadi penyangga target besar pemerintah: swasembada pangan dan energi, maka peta jalan instrumental harus segera dirilis. Transformasi transmigrasi harus berdampak nyata, tidak saja bagi proyek-proyek ambisius pemerintah, namun pemerataan dan kemakmuran rakyat. Kita menunggu kiprah kementerian ini.

Arifuddin Hamid
Peneliti Prolog Initiatives. Alumnus Magister Perencanaan Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan, FEB UI.

[Versi tidak diedit), dimuat Koran Tempo, 30 Januari 2025.

Profil
Arifuddin Hamid menulis di berbagai media dan jurnal akademik, serta profesional di berbagai institusi sipil dan pemerintahan. Menyelesaikan pendidikan sarjana (S1) di Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan pendidikan magister (S2) di Program Studi Magister Perencanaan Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan (MPKP) Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia.

Publikasi

Publikasi Kolom