Volatilitas kebijakan pengelolaan energi semakin mengarah pada langkah derivatif yang dilematis, yakni dikebutnya pembentukan superholding BUMN. Pemerintah rupanya sangat yakin kebijakan ini mampu meningkatkan produktivitas dan daya saing BUMN Migas. Secara etik, keyakinan tersebut patut disyukuri, sebab setidaknya negara sudah mulai mengarusutamakan karakter kompetitif dalam mengelola kekayaan alam. Namun demikian, isunya bukan justru pada kapitalisasi pasar (market share), melainkan efisiensinya bagi profitabilitas perusahaan dan beban keuangan negara. Pada pengelolaan energi lepas pantai (offshore) misalnya, eksplorasi atasnya membutuhkan kompetensi teknis dan pekerja yang handal, selain menelan biaya produksi sangat besar untuk mengangkut kandungan energi itu dari lokus eksplorasi. Biaya ini pun belum termasuk ongkos produksi lanjutannya untuk sampai pada produk siap konsumsi. Oleh karena itu, argumen pemerintah tersebut sangat pantas untuk dikaji, diperdebatkan, dan disikapi dengan sungguh-sungguh sebab potensinya untuk sengkarut fiskal sangat beralasan.

Sebagai industri yang berisiko tinggi dan berjangka panjang, kontrak migas rentan terhadap perubahan keadaan. Karenanya berbicara industri migas adalah membahas risiko. Dibutuhkan waktu cukup lama untuk mendapatkan kembali investasi dalam proyek-proyek migas, sehingga jangka waktu yang panjang ini sendiri merupakan suatu risiko. Selama jangka waktu ini, keekonomian proyek dapat berubah, demikian pula jumlah dan kualitas dari produk yang dihasilkan atau volatilitas harga yang sulit diprediksi (Madjedi Hasan, 2009: 283). Oleh karena itu, masalah pembiayaan dan keberlanjutan proyek menjadi krusial untuk diajukan. Di sisi APBN, kita masih menghadapi kerentanaan fiskal yang mendebarkan. Target penerimaan negara belum mampu mencapai titik optimum dan pendanaan ekspansif infrastruktur masih membutuhkan dana teramat besar. Jika kemudian realokasi APBN ditujukan untuk investasi eksplorasi migas, kita perlu sangat cermat merencanakan penggunaan uang negara yang terbatas jumlahnya ini.

BUMN sendiri masih mengalami dilema internal, yakni kendala utang dan rendahnya profitabilitas. Pertamina misalnya, pada awal 2016 lalu mengalami penurunan peringkat utang sehingga dampaknya terjadi kenaikan biaya pembayaran bunga utang. Dengan akumulasi utang sebanyak Rp120,75 triliun (Kata Data, 26/1), ruang gerak Pertamina untuk bermanuver bisnis otomatis terhambat. Profitabilitas Pertamina juga selalu lebih rendah ketimbang perusahaan minyak sejenis di berbagai negara. Dalam The Global 500 (Fortune, 2015), laba Pertamina sepanjang 2014 hanya $70,6 miliar, kalah jauh ketimbang Petrobras/Brazil ($143,6 miliar), Rosneft/Rusia ($113,6 miliar), atau  Petronas/Malaysia ($100,6 miliar). Bahkan yang jauh lebih memilukan, laba Pertamina masih kalah dari PTT/Thailand ($87,3 miliar), negara yang potensi migasnya jauh lebih kecil ketimbang Indonesia.

Dua Isu

Syarat produktivitas BUMN dalam mengelola kekayaan energi bermakna ganda, yakni produktivitas teknis dan institusional. Dengan demikian, produktivitas tidak cukup hanya pada penguasaan teknis pengolahan migas, namun yang juga penting adalah kualitas kelembagaan dan regulasi pengelolaannya. Secara teknis, BUMN akan dihadapkan pada kompleksitas industri migas yang menuntut kecakapan sumber daya pekerja, ketersediaan modal, dan penguasaan teknologi. Ke depan, lokus eksplorasi akan semakin terpusat di lautan (lepas pantai) terutama di kawasan timur Indonesia yang kaya akan potensi gas alam. Tantangan, atau lebih tepatnya hambatan geologis ini membutuhkan banyak prasyarat lanjutan terutama penyediaan infrastruktur pengolah dan pengangkut. Baik untuk lokus di laut (offshore) maupun darat (onshore), keduanya membutuhkan prasyarat yang sebanding. Di laut, kita perlu menggenjot kapasitas kapal pengangkut dan kilang terapung seandainya ke depan kita akan akan mengelola sendiri semua cadangan gas yang ada. Untuk lokasi kilang di darat, persyaratan teknis terpenting adalah kesiapan dan daya dukung pipanisasi gas.

Kita perlu menyadari bahwa kondisi alam di Indonesia bagian timur adalah berkepulauan tersebar (widespread archipelagos). Kondisi  geografis ini berimplikasi pada persilangan (trade-off) dampak keekonomian lokus eksplorasi terhadap, baik daya ungkit ekonomi masyarakat sekitar maupun kebutuhan pembiayaan proyeknya. Gustaff Olsson (2015) dalam bukunya bertajuk “Water and Energy: Threats and Opportunities,” menyatakan bahwa eksplorasi migas di laut dalam menghabiskan biaya sebesar $100-200 juta. Artinya, jika BUMN dipaksakan mengeksplorasi gas di lepas pantai, negara mesti mengalokasikan setidaknya Rp2,66 triliun, yang skala keberhasilannya hanya 25 persen saja.

Oleh karena itu, pilihan kebijakan harus berlandas pada biaya oportunitas yang terukur. Ini juga berarti argumen populis seperti efek berganda dan pembangunan kewilayahan perlu rasionalisasi dan dielaborasi lebih lanjut. Jangan sampai argumen ini menjadi celah terselip munculnya biaya terbenam (sunk cost) yang justru nilainya jauh lebih besar dan merugikan ekonomi nasional dan masyarakat daerah sendiri. Biaya-biaya tersebut nantinya tidak saja merugikan negara dan masyarakat sebagai pemilik sah kekayaan alam, namun juga BUMN sebagai kontraktor pengelola. Kewaspadaan ini patut disampaikan sebab kendala teknis berupa rendahnya kinerja BUMN diperburuk oleh sengkarut regulasi dan pembajakan kelembagaan bisnis negara.

Implikasi lain yang masih menjadi penyakit endemik kita adalah kualitas institusional BUMN beserta derivasi kebijakan lembaganya. Dalam hal kelembagaan, BUMN kita belum seutuhnya berparadigma korporatik. Lagi-lagi Pertamina misalnya, BUMN ini masih saja menjadi arena bancakan pengaruh dan korupsi struktur kuasa. Setiap kali ada prosesi pergantian direksi Pertamina, adu profesionalitas dan konsep pengembangan migas selalu mendapat porsi bahasan kecil dalam uji kepatutan dan kelayakan di DPR. Preseden ini menjelaskan bahwa kita tidak pernah serius meniatkan apalagi membuat BUMN menjadi pemain berskala global. Alhasil daya saing Pertamina selalu saja melorot ketimbang korporasi serupa di negara lain. Hal ini juga yang menjelaskan mengapa transfer teknologi dan kultur bisnis masih berjalan statis dari waktu ke waktu, dan kalaupun ada sedikit transformasi, lajunya tidak secepat di negara lain.

Dalam audit BPK (2015) terkait tata kelola hulu migas, ketidakpatuhan kontraktor kontrak kerjasama  (KKKS) terhadap ketentuan biaya pemulihan (cost recovery) masih saja menjadi preseden klasik. Klaim biaya sebesar Rp5,14 triliun yang semestinya tidak dibebankan ke dalam biaya pemulihan terus saja dipraktikkan. Karenanya kita patut khawatir, pemaksaan monopoli pengelolaan migas oleh BUMN potensial menjadi ladang korupsi baru. Sebab faktanya tata kelola administrasi perusahaan migas swasta internasional lebih rapi dan terukur. Hal ini adalah keniscayaan karena mau tidak mau modal integritas dan reputasi tersebutlah yang menjadikan mereka bercokol lama dalam industri beresiko tinggi ini. Oleh karena demikian, tanpa BUMN migas kita betul-betul siap dari sisi kompetensi dan kelembagaannya, penggabungan paksa BUMN hanya akan memaksa BUMN berlaku birokratik sehingga memicu inefisiensi. Pada ahkhirnya, lagi-lagi, kebijakan ini potensial menjadi bunuh diri fiskal.

Arifuddin Hamid
Mahasiswa Pascasarjana Ekonomi, Universitas Indonesia
Opini dimuat Koran Jakarta, 10 Juni 2016 [tanpa edit]  


Profil
Arifuddin Hamid menulis di berbagai media dan jurnal akademik, serta profesional di berbagai institusi sipil dan pemerintahan. Menyelesaikan pendidikan sarjana (S1) di Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan pendidikan magister (S2) di Program Studi Magister Perencanaan Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan (MPKP) Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia.

Publikasi

Publikasi Kolom