Sengkarut tata niaga LPG bersubsidi 3 kg yang berdampak pada kelangkaan dan antrian warga adalah masalah laten dalam skema distribusi subsidi energi. Ini telah terjadi dalam jangka waktu yang lama dan masih belum juga dicapai solusi yang tepat. Hal ini tidak saja berdampak pada terkendalanya pemenuhan energi murah bagi warga miskin, namun menjadi beban laten keuangan negara. Badan Pemeriksa Keuangan mencatat terjadi lonjakan subsidi LPG setiap tahun. Pada 2008, realisasi subsidi LPG tercatat Rp3,89 triliun, naik menjadi Rp7,9 triliun pada 2009. Satu dasawarsa berselang, pada tahun 2019, lonjakan subsidi LPG mencapai Rp54,15 triliun. Kenaikan tertinggi terjadi pada 2022 yang menembus Rp100,39 triliun, kemudian turun menjadi Rp74,3 triliun pada 2023. Hal ini menunjukkan bahwa subsidi LPG 3 kg menjadi salah satu kontributor terbesar dalam jenis subsidi pemerintah. 

Masalahnya menjadi kian rumit karena pemerintah masih menetapkan harga jual eceran LPG 3 kg sampai titik serah agen sebesar Rp12,75 ribu sejak 2008 (Pasal 1 ayat 1 Permen ESDM 28/2008), padahal harga keekonomian dunia terus berfluktuasi. Pemerintah daerah kemudian menetapkan harga eceran tertinggi (HET) yang bervariasi berdasarkan kondisi daerah (Pasal 24A ayat 1 Permen ESDM 28/2021). Oleh karenanya, harga beli LPG 3 kg tidak sama antardaerah. Di Jakarta, misalnya, pemerintah menetapkan HET sebesar Rp16 ribu/tabung; Surabaya sebesar Rp18 ribu/tabung; atau Medan Rp17 ribu/kg. Ini adalah harga resmi yang ditetapkan oleh pemerintah, harga yang tentu tidak sama dengan yang dijual kepada konsumen akhir. 

Berdasarkan Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia, harga di titik penjualan LPG 3 kg dari 2007-2023 tetap sama, yakni Rp499 ribu/barel, atau Rp3,67 ribu/kg. Bandingkan dengan harga jual LPG 12 kg pada 2023 yang mencapai Rp2,36 juta/barel (Rp17,36 ribu/kg), atau LPG 50 kg yang mencapai Rp2,26 juta/barel (Rp16,63 ribu/kg). Jika merujuk pada tahun 2007, ketika pertama kali terjadi konversi penggunaan energi dari minyak tanah ke LPG, harga LPG bersubsidi dengan yang tidak berselisih tipis. Harga LPG 12 kg sama dengan LPG 3 kg, atau harga LPG 50 kg sebesar Rp845 ribu/barel (Rp6,21 ribu/kg). Fakta ini menggambarkan terjadi fluktuasi harga dan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. 

Selain itu, ketergantungan Indonesia pada impor LPG sangat tinggi. Pada tahun 2013, Indonesia mengimpor 3,29 juta ton LPG, terus meningkat hingga menembus 6,95 juta ton pada 2023. Ini artinya terjadi kenaikan impor sebesar 110 persen selama dasawarsa terakhir. Melonjaknya impor tentu tidak terlepas dari kebutuhan terhadap LPG yang semakin tinggi, hingga mencapai 8,71 juta ton pada 2023. Persoalannya kian kompleks mengingat sebagian besar LPG yang beredar adalah LPG bersubsidi. Pada 2022, LPG 3 kg berkisar 91,18 persen dari semua LPG yang ada. Pada 2023, proporsinya bahkan meningkat menjadi 92,38 persen. 

Tantangan 

Sengkarut LPG bersubsidi ini membawa dua tantangan sekaligus, yakni beban fiskal dan distorsi keadilan. Dengan selisih harga yang berjarak signifikan antara LPG bersubsidi dengan tidak bersubsidi, ada beban fiskal yang mesti ditanggung negara. Pada 2023, selisih harga antara LPG 3 kg dengan LPG 12 kg adalah Rp13,69 ribu/kg dan dengan LPG 50 kg mencapai Rp12,96 ribu/kg. Ini tentu harus menjadi catatan, sekaligus refleksi kolektif, apakah beban subsidi yang kian membengkak ini sudah tepat dalam pengelolaan kebijakan bernegara? Dalam Pembukaan UUD 1945, sudah menjadi tugas pemerintah untuk menjamin terwujudnya keadilan sosial. Namun apakah tepat disebut keadilan sosial jika itu mengancam keberlanjutan fiskal? 

Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 menegaskan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Konstitusi jelas mengamanatkan kebijakan negara harus mempertimbangkan aspek harmoni dan bersifat holistik. Kebersamaan sejalan dengan efisiensi berkeadilan dan keberlanjutan. Menjamin kemakmuran rakyat, terutama kalangan ekonomi terbawah, seirama dengan efisiensi kebijakan perekonomian. 

Di sisi lain, terjadi penyimpangan moral (moral hazard) dalam distribusi LPG bersubsidi yang menimbulkan distorsi keadilan. Subsidi yang tidak terarah dan mekanisme kontrol harga tidak efisien dalam distribusi pendapatan. Kebijakan ini menjadi tidak adil ketika masyarakat ekonomi mampu dengan kemampuan konsumsinya yang lebih besar ikut menikmati komoditas yang disubsidi, sehingga masyarakat ekonomi terbawah hanya mendapatkan sedikit manfaat (Guenette, 2020). Subsidi juga memicu aktivitas ilegal, termasuk pemalsuan bahan bakar melalui pencampuran ilegal bahan bakar murah ke dalam bahan bakar dengan kualitas lebih tinggi, serta penyelundupan di dalam dan antar negara (Savatic, 2016). 

Langkah Berani 

Pemerintah dihadapkan pada tantangan yang kompleks dan rumit dalam membenahi energi bersubsidi, sebab menyangkut kebutuhan mendasar rakyat. Membengkaknya beban subsidi dan ketergantungan pada impor terus menguras cadangan devisa negara. Dalam jangka panjang berdampak pada terancamnya stabilitas perekonomian nasional. Ujungnya kemakmuran rakyat juga dipertaruhkan. Ini bagaikan dua sisi mata uang, punya relasi kausalitas. Pemerintah telah berupaya membenahi tata niaga LPG bersubsidi dengan menerbitkan Keputusan Menteri ESDM 37.K/MG.01/MEM.M/2023, yang menyebutkan pendistribusian LPG bersubsidi hanya dapat dilakukan oleh sub-penyalur. Ini adalah bentuk legalisasi pengecer yang seringkali tidak berbadan hukum menjadi entitas yang berbadan hukum. 

Shinozaki (2022) dalam kajiannya mengenai UMKM informal di Indonesia berdasarkan data survei sepanjang Maret 2020 hingga Mei 2021 mencatat ada beberapa kendala dalam digitalisasi dan formalisasi UMKM. Pertama, adanya biaya dan kompleksitas regulasi. Banyak UMKM yang tidak punya kecukupan modal, serta rumitnya proses birokrasi. Kedua, ketakutan akan beban pajak jika terjadi transformasi menjadi usaha formal. Ketiga, keterbatasan akses pada lembaga keuangan formal. Keempat, kurangnya insentif untuk melakukan formalisasi usaha karena anggapan tidak adanya manfaat langsung yang diperoleh. Kelima, hambatan digitalisasi, berupa keterbatasan literasi dan infrastruktur digital. Dan keenam, aspek sosial dan kebudayaan yang berbasis pada usaha kekeluargaan dan tradisional. 

Oleh karenanya, langkah paling utama dalam mengawasi kebijakan HET adalah memastikan digitalisasi dan formalisasi UMKM informal. Langkah ini memang tidak mudah. Pemerintah menghadapi beragam keterbatasan struktural dan kultural. Atau sebagai opsi kebijakan, pelibatan rukun warga sebagai sub-penyalur/ sub-pangkalan LPG bersubsidi patut dipertimbangkan. Ini akan menjadikan kontrol dan mitigasi kebijakan lebih terarah dan cepat. Dengan persoalan distribusi yang telah endemik, langkah berani dan transformatif menjadi raison d'etre atau alasan pembenarnya.***

Arifuddin Hamid
Peneliti Prolog Initiatives. Alumnus Magister Perencanaan Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan, FEB UI.

[Versi tanpa edit], dimuat Harian Kontan, 27 Februari 2025.


Profil
Arifuddin Hamid menulis di berbagai media dan jurnal akademik, serta profesional di berbagai institusi sipil dan pemerintahan. Menyelesaikan pendidikan sarjana (S1) di Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan pendidikan magister (S2) di Program Studi Magister Perencanaan Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan (MPKP) Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia.

Publikasi

Publikasi Kolom