Nusa Tenggara Barat, selain dikenal dengan rendahnya kualitas indeks pembangunan manusia (IPM), juga menjadi salah satu penyuplai terbesar tenaga kerja ke luar negeri. Realitas yang memiris hati, semiris daya tawar wilayah ini dalam konstelasi geostrategis dan geopolitik nasional. Sebuah ironi yang tak kuasa ditolak.
Menggugat Kebijakan
Wilayah yang termasuk dalam gugus kepulauan sunda kecil ini sebenarnya memiliki saham cukup besar dalam masa-masa awal pembentukan negara. Sebagai satu-kesatuan dengan Bali dan Nusa Tenggara Timur (sekarang), bersama wakil-wakil dari kawasan Indonesia Timur menegaskan integrasinya dalam bingkai NKRI. Komitmen yang ketika itu harganya tidak ternilai bagi bayi republik.
Faktor historis ini ternyata berbalik dengan realitas kebijakan nasional. Pembangunan, bahkan untuk sektor-sektor strategis berjalan lambat. Infrastruktur utama seperti jalan, jembatan, dan pelabuhan yang semestinya menjadi prioritas justru terbengkalai. Kalau dilihat hari ini, kondisinya sangat tidak layak bagi keberlangsungan aktivitas perekonomian masyarakat. Sesuatu yang sulit dijelaskan dengan akal sehat.
Secara geografis, NTB terdiri dari dua pulau besar, dengan kondisi alam yang tidak rata, berbukit-bukit, dan perairan yang terbentang seluas 29,16 ribu km 2 (Economic Review Journal, No. 199, Maret 2005, hal. 11). Dengan kondisi alam demikian, kebijakan propembangunan fisik tentu saja perlu digenjot.
Selain pembangunan fisik, suprastruktur (pandangan hidup, nilai budaya) tidak mengalami kemajuan berarti. Nilai-nilai tradisonal yang sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman tetap saja dipertahankan. Dengan berlindung di balik mitos budaya, aspek-aspek positif globalisasi seperti kerja keras, kreativitas, rasionalitas malah dipandang asing yang harus dihindari. Jebakan kultural yang tidak ditempatkan dalam konteks kekinian. Di beberapa daerah, angka putus sekolah sangat tinggi, kematian ibu dan bayi juga begitu, termasuk praktek pernikahan dini yang massif terjadi.
Ketimpangan fokus pembangunan tidak saja dikreasi pemerintah pusat, namun turut dilakoni oleh pemerintah di daerah. Contoh nyata terlihat dari konsep dan prioritas pembangunan pemerintah NTB yang cenderung mengedepankan peningkatan nilai-nilai transenden-dogmatik. Pembangunan Islamic Center misalnya, suatu kemubaziran di tengah himpitan ekonomi.
Sektor pariwisata sebagai sampel lain, juga mengalami perlambatan pemberdayaan. Potensi ombak dan pantai yang sejatinya dapat menarik nominal, baik bagi pendapatan daerah maupun swasta individu, kadung digarap optimal. Padahal kalau dibanding –katakanlah Bali sebagai icon pariwisata nasional- daya tarik wisata laut NTB tidak kalah, kalau tidak dikatakan lebih baik.
Tanpa perlu terperangkap preseden, kebijakan pembangunan nyatanya memang jauh asap dari api, apa yang prior justru dianaktirikan. Tidak aneh ketika kemudian kualitas kesejahteraan masyarakat di bawah standar yang selayaknya.
Di tataran pemerintah kabupaten/ kota, realitas yang ada tidak jauh berbeda, bahkan lebih memilukan. Sebut saja beberapa, misalnya persoalan pertambangan di Bima. Kebijakan pemerintah menuai kontroversi tiada akhir, menguras energi publik teramat besar. Tidak saja di kalangan aktivis, hampir semua elemen masyarakat menjadikan persoalan ini sebagai fokus utama (common interest). Belum juga rekonsiliatif, dan para pihak tetap dengan kukuh dengan pendapatnya masing-masing. Malah yeng terkesan, pemerintah sebagai musuh rakyat, kondisi yang sebenarnya tidak perlu ada. Pola manajemen konflik yang tidak tertata ini berakibat pada runtuhnya kepercayaan (moral distrust).
Lain lagi dengan pembangunan Bandara Internasional Lombok (BIL) di Lombok Tengah. Sebelum dan pasca peresmian selalu saja terlilit masalah. Pembebasan tanah yang terkatung menjadi preseden ketidaksigapan pemerintah menata basis sosio-ekonominya. Peristiwa antrean panjang warga saat peresmian bandara adalah ekses buruk dari ketidaksigapan tersebut. Termasuk lokasi bandara, masih menyisakan pertanyaan panjang sampai sekarang. Sejatinya kebijakan yang baik bersifat integratif, mudah dijangkau massa transportasi, serta dekat dengan pusat-pusat perekonomian. Bayangkan saja dengan infratruktur pendukung yang kurang memadai, nasib bandara internasional tersebut sulit dilogiskan secara teoritik.
Dan pula sekarang kisruh NNT yang juga belum menampakkan tanda-tanda mau berakhir, semakin menegaskan kelemahan pemerintah. Aspirasi primordial yang sekarang meledak, dapat menjadi bola liar yang merusak segala tatanan. Konflik antar warga, antar kampung, atau antara warga dengan pemerintah adalah akibat logis yang tidak perlu diherankan kemudian.
Dalam pandangan penulis, sebagian dari banyak persoalan lain yang diurai menunjukkan gejala-gejala tidak arifnya pemerintah menempatkan posisi dan kedudukannya, terutama dalam ranah struktural.
Strategi Budaya
Kebijakan berangkat dari peraturan perundang-undangan. Sebagai konsekuensi negara hukum, terjadi atribusi kewenangan dari konstitusi atau undang-undang kepada pejabat terkait (pemerintah). Secara teoritis, kebijakan adalah manifestasi struktural, berakar dari tatanan legal-positivistik.
Namun demikian, memahami persoalan NTB hari ini harus dengan pemahaman yang bijak. Walau kebijakan identik dengan peraturan (perundang-undangan), substansi dan pilihan harus dapat dikreasi dengan tepat. Selain tidak cukup, pijakan yuridis harus juga dipahami dalam konteks efektivitas, dinamika masyarakat, dan realitas faktual. Maka demikian, penulis menyajikan beberapa argumentasi pokok berikut. Pertama, konsolidasi kewenangan antar tingkatan pemerintahan. Hemat penulis, masalah utama yang dihadapi pemerintah di daerah, khususnya di NTB adalah ketidakpahaman akan batasan kewenangan. Memang, UU tidak begitu jelas menguraikan batasan kewenangan tersebut, baik tataran konseptual maupun praktis. Imbasnya, terjadi tumpang tindih antara mana yang merupakan domain provinsi, mana domain kabupaten/ kota. Bahkan seringkali terlihat tubrukan antara pusat, provinsi, dan kabupaten/ kota. Mengenai perbaikan jalan misalnya, kerap terjadi perdebatan panjang pihak mana yang berwenang.
Asas desentralisasi dimaknai parsial, oleh kabupaten/ kota dijadikan tameng kedaulatan. Tugas pembantuan dan adagium kepanjangan tangan pusat menyandera kreativitas provinsi. Dan pada akhirnya menimbulkan kemacetan pembangunan, persis seperti apa yang sekarang terjadi.
Oleh karenanya, konsolidasi kewenangan menjadi kunci agar krisis posisi tidak akut. Budaya berbagi masalah, musyawarah kelembagaan, dan pertemuan komunikatif harus dijadikan strategi mengakali jebakan struktural. Kontinuitas pertemuan perlu dipahami sebagai langkah bersama menuju terciptanya tatanan yang properbaikan dan berorientasi pembangunan.
Dan kedua, politik komunikasi kultural. Pemerintah harus menempatkan posisinya sebagai mitra masyarakat, menjalankan komunikasi kultural lintas segmen. Egoisme struktural, pandangan tidak mau tahu dan selalu memaksakan kehendak perlu dikikis, sebab hanya akan menimbulkan resistensi publik. Lagipula konstruk budaya masyarakat kita adalah permisif, ingin dihargai, dan diperlakukan sebagai masyarakat seutuhnya. Perangkat-perangkat kultural di daerah mesti diposisikan sebagai agen pembangunan. Sehingga yakin penulis, anarkisme sosial dapat dihindari.
Arifuddin Hamid
Mahasiswa Tingkat Akhir Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Kelahiran NTB
Dimuat Lombok Post, 30 November 2011.