Hukum Kontrak Karya: Pola Kerjasama Pengusahaan Pertambangan Indonesia

Judul: Hukum Kontrak Karya: Pola Kerjasama Pengusahaan Pertambangan Indonesia

Penulis: Nanik Trihastuti

Penerbit: SetaraPress

Cetakan: Pertama, Juni 2013

Tebal: 298 hlm; 14 x 21 cm

ISBN: 978-602-17934-5-9

Buku ini mengupas tema penting dalam politik sumber daya alam Indonesia akhir-akhir ini: bagaimana kedaulatan negara atas sumber daya alam? Nanik Trihastuti, meskipun nama ini relatif baru dikenal dalam jagad diskursus kontrak pertambangan di Indonesia, wacana yang coba diselipkannya mengambil momentum tepat dalam sengkarut yang berlarut-larut. Menyoal kontrak tambang sepelik mengurai berbagai resistansi yang muncul sehubungan dengan terbitnya berbagai peraturan hukum yang bertendendi nasionalistik.

Sebagai buku yang mengupas kontrak, tidak aneh apabila pada bab-bab awal buku ini menghadirkan doktrin-doktrin normatif dan teoritik mengenai kontrak. Secara normatif, penulis menguraikan tentang perkembangan kontrak karya yang telah mengalami evolusi, dari kontrak karya generasi I sampai generasi VII, termasuk juga bagaimana kedudukan kontrak tersebut dalam perspektif hukum internasional dan nasional. Secara teoritis, kontrak karya dihadapkan dengan sistem konsesi, yang kemudian dilekati dengan berbagai pendapat pakar sehubungan dengan kedua jenis sistem pengelolaan pertambangan tersebut.

Bahwa lazimnya sebagai pilihan kebijakan, lebih tepatnya kesepakatan, sistem kontrak karya mestilah dibandingkan dengan sistem serupa di bidang pertambangan selain mineral. Di bidang usaha minyak dan gas bumi, dikenal skema kontrak bagi hasil, sementara untuk pertambangan batubara dikenal dengan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B), dan skema khusus yang dikenal dengan kuasa pertambangan. Berbagai skema tersebut memiliki landasan, aturan, dan keluaran yang berbeda, termasuk dalam hal ini implikasinya terhadap pendapatan negara.

Kontrak karya yang dalam pelaksanaan menimbulkan sengketa memiliki skema penyelesaian, yakni dengan cara konsiliasi atau arbitrase (h.64-dst). Dalam kenyataannya, sengketa antara pemerintah dan pelaku usaha pertambangan telah pernah terjadi dan beberapa penyelesaiannya dilakukan di lembaga arbitrase internasional yang disepakati oleh para pihak. Terhadap sengketa yang diajukan ke mahkamah arbitrase internasional, pemerintah tidak selamanya menang. Bahkan yang sering menjadi isu publik adalah rentetan berbagai kekalahan pemerintah, misalnya dalam sengketa antara PT. Pertamina dengan PT. Karaha Bodas Company dan juga melawan Churchill Mining. Pada sengketa terkait PT. NNT, pemerintah menjadi pihak yang dimenangkan.

Fakta ini sangat menarik, sebab pemerintah selaku kuasa negara berkedudukan dan bertindak sebagai badan hukum perdata, yang semata-mata tunduk pada hukum perdata internasional. Bahwa juga keputusan lembaga arbitrase bersifat final and binding(mempunyai kekuatan hukum mengikat), menjadikan ranah usaha pertambangan layak untuk dikaji secara serius dan tentu saja membutuhkan gagasan baru dan segar dalam perkembangannya ke depan.

Sebagai hal utama yang mendapat porsi bahasan cukup penting adalah kaitan usaha pertambangan dengan lingkungan hidup dan sosial masyarakat sekitar. Wacana ini adalah langkah progresif dalam berbagai diskursus kajian pertambangan yang kerap hanya berhenti pada soal untung rugi dan semata strukturalistik. Buku ini setidaknya mulai mencoba menghadirkan paparan kultural mengenai diskursus pertambangan, yang ternyata menimbulkan akibat lain diluar pelaku tambang. Fakta-fakta yang dihadirkan menjadi masukan krusial bagi pemangku kebijakan dalam menyusun agenda-agenda yang berkeadaban publik.

Dalam perkembangannya, pertambangan ternyata menyulut kontroversi pada tataran operasi produksi. Bahwa apa yang menurut tim penilai independen baik ternyata tidak demikian dengan lembaga swadaya masyarakat menilainya. Dalam hal pengelolaan lingkungan hidup misalnya, beberapa LSM seperti Walhi dan Jatam mengeluhkan kerugian masyarakat di sekitar wilayah tambang yang merasakan dampak buruk atas kehadiran Newmont (h.155). Dalam hal pelanggaran HAM, juga timbul protes sehubungan dengan pembongkaran hutan keramat Suku Amungme di Lembah Tsinga untuk diubah menjadi kawasan pertambangan oleh PT. Freeport Indonesia. Hal tersebut juga terjadi oleh PT. Kelian Equatorial Mining di Kalimantan Timur, PT. Inco di Soroako Sulawesi selatan, serta PT. NNT di NTB, khususnya dalam hal pembebasan dan ganti rugi tanah serta pemindahan penduduk (h. 175-176).

Perkembangan kontrak di bidang pertambangan mengalami evolusi seriring waktu. Bahwa UU 1/1967 yang bersubstansi kontrak karya kemudian digantikan dengan pola ijin usaha pertambangan (IUP) sebagaimana diatur dalam UU 4/2009. Perubahan format kontrak ini berimplikasi pada kesamaan kedudukan pelaku tambang lokal dengan asing, yang sama-sama tunduk pada pola IUP. Namun demikian, UU 4/2009 juga masih sulit dalam implementasinya, terutama sehubungan dengan kedudukan kontrak karya yang memiliki sifat “lex specialis,” yakni tidak dipengaruhi oleh perubahan peraturan hukum.

Beberapa Catatan

Sebagai sebuah buku, penulis tampaknya terlalu terpaku pada argumentasi normatif serta pemaparan yang melulu deskriptif. Padahal pokok soal pertambangan di republik ini berlandas pada substansi kontrak yang tertuang dalam berbagai klausula kontrak karya yang ada. Sayangnya buku ini sangat minim menghadirkan diskursus hukum yang lebih menyeluruh terkait bagaimana kontrak karya sebagai suatu dokumen hukum dapat ditemukan celah yuridisnya guna advokasi kepentingan nasional. Dalam simpulan buku ini, penulis hanya berhenti dengan memaparkan bahwa kontrak harus dihormati.

Seandainya paparan juga diarahkan pada realitas implikatif dari implementasi dan realisasi kontrak karya terhadap sendi-sendi keuangan dan pembangunan negara, buku ini akan menjadi sumber literasi penting dalam pengambilan keputusan politik oleh aktor-aktor politik yang ada. Bahwa kontrak karya memiliki impunitas hukum tentunya perlu disandingkan dengan fakta yuridis empiris di berbagai belahan negara dan perjalanan sejarah. Apalagi persoalan tambang bukan sekadar (dan seharusnya tidak melulu dilihat sebagai) kontrak perdata antar kedua belah pihak, namun wujud kompleksitas sistemik wacana  ketatanegaraan, politik, dan ekonomi yang kompleks antar berbagai pemangku kepentingan dan kebijakan.

Buku ini juga kurang mendalami politik motif pengusahaan tambang di Indonesia. Bahwa terhadap berbagai klausula kontrak karya yang ada, apakah sejatinya pihak Indonesia berada pada kedudukan yang sama dan sejajar dengan pihak asing; dan apakah klausula tersebut tidak berangkat dari realitas nonhukum? Hal ini penting mengingat doktrin universal hukum perdata yang menegaskan sifat kontrak yang independen, apabila ternyata telah tidak berkesamaan kedudukan pada pihak sedari awal, berimplikasi sangat serius terhadap akibat pelaksanaan kontrak tersebut.

Terhadap hal-hal yang masih perlu untuk dilakukan kajian lanjut dan mendalam, buku ini telah cukup runut dan lengkap membahas pokok-pokok soal kontrak karya beserta hubungan dan implikasinya dengan lingkungan. Dalam konteks itu, buku ini pantas dibaca, guna mengadvokasi kepentingan rakyat secara benar dan adil, serta tidak terjebak pada retorika propagandis.   

Arifuddin Hamid
Alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Salemba, 12 Mei 2014