Apa dan bagaimana amanat yang terkandung dalam UU No. 12/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP)? Pertanyaan ini akan membimbing kita menentukan skala prioritas pengawasan kinerja kepemerintahan. 

Secara doktrinal, peraturan perundang-undangan dibangun di atas tiga altar perspektif: filosofis, sosiologis, dan yuridis. Filosofi tentang keajegan apa saja yang mengilhami terbentuknya produk hukum. Bagaimana kondisi sosiologi masyarakat yang melatari keterbentukannya. Dan pijakan legal apa yang mendasarinya. 

Ketiga perspektif tersebut terkandung dalam konsiderans suatu undang-undang. Jimly Asshiddiqie (2010) menyatakan bahwa dasar filosofis dan sosiologis termuat dalam konsiderans menimbang. Sementara dasar yuridis terkandung dalam konsiderans mengingat. 

Membaca UU KIP, sesungguhnya lebih banyak menyoal anggaran. Hal ini terlihat dari ketentuan huruf c konsiderans menimbangnya: bahwa keterbukaan informasi publik merupakan sarana dalam mengoptimalkan pengawasan publik terhadap penyelenggaraan negara dan badan publik lainnya dan segala sesuatu yang berakibat pada kepentingan publik. 

Simpulan tafsir ini berangkat dari klausula Pasal 2 UU No. 17/2003 jo Pasal 2 UU No. 15/2004 jo Pasal 2 UU No. 15/2006. Bahwa penerimaan dan pengeluaran daerah yang termasuk dalam ruang lingkup keuangan negara, pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawabnya dilakukan oleh badan pemeriksa keuangan (BPK). 

Sehingga implementasi keterbukaan informasi publik dalam konteks pemerintah daerah adalah transparansi publikasi dan sosialisasi  anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Apakah angka-angka alokasi anggaran tersebut berbasis fungsi, ataukah belaka himpunan nominal bagi perbesaran rente kaum elite? 

Membaca Perda APBD 

Sesungguhnya APBD merupakan kebijakan teknis terperinci dari nalar kebijakan suatu negara. Hal ini tidak aneh mengingat APBD merupakan penjabaran keuangan terakhir dari akhiran kebijakan pembangunan. Rencana jangka panjang diturunkan menjadi rencana jangka menengah, yang kemudian dijabarkan lanjut menjadi rencana kerja tahunan. Karena begitu sentralnya anggaran bagi kehidupan suatu negara, rencana kerja tahunan tersebut dibingkai dalam kerangka legal, UU APBN dalam lokus nasional, Perda APBD dalam lokus daerah. 

Dan dalam konteks sebagai negara kesatuan, perencanaan pembangunan nasional dan daerah harus berkelindan dan diferensiatif. Diferensiasi tersebut terlihat dari adanya pengaturan kesesuaian rencana pembangunan daerah dan nasional sebagaimana tertuang dalam ketentuan Pasal 150 UU No. 32/2004. 

Secara yuridis, UU APBN atau Perda APBD adalah konstruksi khusus (lex specialis) dari lazimnya peraturan perundang-undangan. Untuk UU APBN, kekhususan tersebut terbaca dari ketentuan Pasal 23 ayat (2) dan (3) UUD 1945. Sementara terkait Perda APBD, mekanismenya tertuang dalam ketentuan Pasal 25 huruf d jo Pasal 42 ayat (1) huruf b UU No. 32/2004 jo Pasal 293 ayat (1) huruf b UU No. 27/2009. Artinya, pembentukan anggaran negara/daerah tidak saja berdomain legislasi, namun lebih merupakan praksis fungsi anggaran. Dan rancangan peraturan (RUU/raperda)-nya adalah hak inisiatif eksekutif sepenuhnya. 

Karena merupakan hak penuh eksekutif, legislatif (baca: DPRD) hanya dapat membahas dan menilai raperda yang diajukan. Apakah akan menyetujui atau menolak. Penolakan semisalnya, merupakan manifestasi pengawasan (preventif) legislatif dengan menggunakan instrumen hak budget yang dimilikinya. Sementara pelibatan BPK berupa audit keuangan, tidak lebih sebagai instrumen pengawasan (represif) legislatif. 

Raperda APBD berisi rencana keuangan pemerintah daerah (pemda) dalam masa satu tahun anggaran. Raperda berupa angka-angka penerimaan dan alokasi fungsi teknis pemerintahan sesuai hitungan untuk operasionalisasinya dalam masa satu tahun tersebut. Karenanya, substansi Perda APBD sesungguhnya terletak pada besaran angka yang tertuang. Dalam bangunan suatu Perda APBD, rincian angka-angka ini termaktub dalam lampiran. 

Oleh karenanya, persetujuan DPRD atas Raperda APBD yang diajukan tidak berarti proses pembentukan peraturan perundang-undangan selesai. Masih ada langkah lanjutan yang perlu dilakukan, yakni penyebarluasan perda. Tentang perda provinsi, menurut ketentuan Pasal 94 UU No. 12/2011, penyebarluasan perda (termasuk Perda APBD) dilakukan bersama oleh DPRD dan pemerintah provinsi. Dan penyebarluasan tersebut adalah bermaksud untuk menjamin terbukanya informasi bagi publik (Pasal 92 ayat 2). 

Disinformasi 

Karena berbentuk angka, penyimpangan atas APBD adalah bentuk daripada kerugian keuangan negara. Ketimpangan antara input dan output anggaran dengan sendirinya mencirikan adanya potensi kerugian keuangan. Dan kerugian ini terkategori tindak pidana. Dalam konteks inilah validasi data dalam Perda APBD merupakan indikator baiknya suatu pemerintah daerah (good governance).  

Selain itu, karena informasi atasnya merupakan hak publik sebagaimana maksud dan tujuan daripada penyebarluasan Perda, penafsiran yuridik atas klausula-klausula UU KIP tidak kemudian membatasi kejelasan dan terangnya informasi anggaran dalam Perda APBD. Sebagaimana klausul pembentukan peraturan perundang-undangan yang disitir penulis di alinea sebelumnya, ketesebarluasan informasi APBD tidak mengenal kekecualian-kekecualian hukum. Hal ini karena Perda APBD tidak lagi memiliki kekhususan ketika sudah berbentuk peraturan daerah sebagaimana yang dimuat dalam lembaran daerah. Perda APBD memiliki posisi yang sama sejajar dengan perda-perda lainnya. Selaku objek hukum, pengaturan atasnya tunduk pada peraturan perundang-undangan yang mengatur perihal keperdaan. 

Penyebarluasan tersebut juga sebagai wujud komitmen penyelenggara pemerintahan dalam melaporkan kepada rakyat tentang penerimaan dan rencana pengeluaran anggaran. Sebab hakikatnya anggaran adalah dari, demi, dan untuk kesejahteraan rakyat. Terlebih sebagai urat nadi kehidupan bernegara (Arifin P. Soeria Atmadja, 2010), akses anggaran oleh publik sama pentingnya dengan penggunaan anggaran itu sendiri. 

Setidaknya terdapat dua alasan yang melatari hak publik tersebut. Pertama, mengetahui komitmen politik anggaran pemerintah. Apa yang menjadi program kepemerintahan prioritas dan bagaimana postur anggaran berikut alokasinya bagi kelembagaan teknis terkait. Hal ini penting untuk mencegah adanya infesiensi anggaran yang kemudian berdampak pada kegagalan pembangunan.  

Kedua, sebagai bentuk partisipasi publik dalam mengawal kinerja keuangan pemerintah daerah. Pengawalan ini akan berimbas pada sikap tanggung jawab pemerintah dalam menggunakan anggaran sebagaimana mestinya. Pada akhirnya kebocoran anggaran dapat dicegah. 

Persis disinilah urgensi daripada publikasi lampiran Perda APBD menemukan titik pijaknya. Bahwa predikat Provinsi NTB sebagai badan publik terbaik keenam nasional sebagaimana lansiran websitenya (29/9/12) tidak berarti apa-apa apabila postur anggaran daerah yang dimuat di laman digital yang sama tidak sepenuhnya dapat diakses oleh publik. 

Kalau tidak, predikat tersebut hanyalah klaim otoritas yang sulit ditemui fakta empiriknya (argumentum auctoritatis). Hal ini sekaligus menjadi tantangan besar bagi NTB di APBD tahun anggaran 2013 nanti. 

Arifuddin Hamid 
Alumnus FH UI, menulis skripsi bertajuk “Politik Hukum APBN dalam Kerangka Perimbangan Keuangan” 
Pernah dimuat Suara NTB, 3/11/2012