Mendalami tulisan Kepala Bappeda NTB di Harian Suara NTB (6/12/2011) niscaya menyurat sekian tanda tanya. Dalam tulisan tersebut, pemerintah rupanya sedang membuat tanggapan klarifikatif atas rendahnya angka indeks pembangunan manusia (IPM) NTB. Klarifikasi serupa tercermin pula dari kegerahan wakil gubernur terhadap data rilisan kementerian kesehatan mengenai posisi NTB sebagai provinsi dengan kasus kekurangan gizi terbanyak di Indonesia (Lombok Post, 5/12/2011). 

Mengutip kepala bappeda, persoalan NTB bukanlah pada apa yang sebenarnya terjadi, melainkan pada kesalahan pendekatan statistika. Rendahnya angka IPM adalah ekses dari ketidakadilan titik berangkat, maka menjadi tidak penting mempersoalkan angka. Sebuah pembelaan yang menarik untuk ditanggapi.

Bila DR. Manggaukang Raba (Harian Suara NTB, 9/12/2011) menilik dari sudut kebijakan, dengan mengkritik perencanaan kebijakan (RPJMD NTB 2009-2013), yang tidak saja mengalami otupia target, melainkan juga cacat konsep sebab kurang memperhatikan aspek komparatif dengan provinsi-provinsi lain, penulis jauh lebih tertarik mendalaminya dari sudut etika politik pemerintah.

Dennis F. Thompson (Etika Politik Pejabat Negara, 1999: 77), bahwa beberapa teori tanggung jawab memang mendukung tesis pembelaan untuk para pejabat bertanggung jawab hanya atas apa yang mereka lakukan, sama sekali (atau sekurang-kurangnya tidak semua) atas apa yang dilakukan seseorang lain sebagai akibat dari keputusan mereka. Dalam hal ini, akan sepakat kesalahan tidak saja ditimpakan hanya pada rezim yang sekarang, sebab kenyataannya permasalahan ini adalah turunan dari rezim-rezim yang lalu.

Namun menjadi soal ketika pemerintah tidak mengakui kesalahannya, apalagi dengan tergesa mengecam data. Seperti ungkapan Hakim Cardozo (dalam Dennis F. Thompson, 1999: 119-120), banyak bentuk tingkah laku yang diizinkan bagi warga negara secara lebih leluasa, namun tidak bagi yang diberi kepercayaan. Tidak saja diandaikan memegang sesuatu yang lebih teguh dibanding moral pasar (baca: umum), kejujuran menjadi sebentuk kehormatan yang merupakan standar perilaku.

Apologi

Penulis bukan dalam posisi mengajukan data rilisan, melainkan perlu melihatnya pada tataran yang lebih kompherensif. Sebab berbicara angka berarti membincang rumus. Dan rumus adalah wujud langsung dari realitas yang dikuantifisir.

Sebagai konsekuensi nalar akademik, setiap kalkulasi numerik tentu saja berangkat dari keilmiahan. Akan merupakan suatu kejahatan intelektual jikalau data disajikan tanpa pijakan teoritik. Apalagi data tersebut adalah manifestasi sekaligus evaluasi kebijakan mengenai persoalan publik.

Oleh karenanya, argumen kepala bappeda memiliki banyak keterpatahan ontologis. Selain cacat secara struktural, juga menyirat kesombongan kultural komunikatif. Secara struktural, menjadi suatu keniscayaan bagi pemerintah pusat merilis kenyataan evaluatif dan hasil komparasi pelaksanaan program kepemerintahan. Dalam hal ini instansi statistik, baik badan pusat statistika (BPS) maupun kementerian kesehatan (kemenkes) adalah domain kelembagaannya memberi penilaian. Terlebih (dan penulis percaya) kedua instansi perilis tidak memiliki tendensi apa-apa terkait hasil yang ada. 

Kalaulah mau berangkat dari pendekatan kebijakan publik, angka adalah hasil akhir dari sebuah evaluasi kinerja. Sebab evaluasi bertolak dari pendekatan akademik, teoritisi manapun pasti mengiyakan pentingnya metodologi. Karena dengan sendirinya mempunyai standar, aturan, dan prosedur untuk menciptakan, menilai secara kritis, dan mengkomunikasikan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan (William N. Dunn, 2000: 2). Sehingga dalam kejadiannya, evaluasi bukanlah opini atau selera, tetapi persoalan fakta dan logika, dan itu lebih penting dari yang paling penting (Michael Scriven dalam William M. Dunn, 2000: 607).

Demikian berarti, pembelaan pemerintah provinsi praktis menjadi preseden. Apakah ini merupakan bentuk ketidaksiapan dievaluasi atau manifestasi egoisme sektoral? Karena dipandang dari segi apapun, pembelaan tersebut tidak memiliki dasar kukuh untuk dapat dipertahankan.

Sementara bertalian dengan perspektif struktural itu, pembelaan juga menyisakan tanya terkait niat pemerintah menerima masukan dan kritik dari masyarakat. Di alam demokrasi yang mengedepankan transparansi, akuntabilitas, dan pertanggung jawaban publik, bukankah sikap demikian adalah wujud nyata penistaan semangat reformasi?

Penulis juga bukan dalam kerangka stigmatisasi. Bahwa semantik berjalan dalam skema kecurigaan, merupakan keniscayaan historis yang perlu direproduksi. Bukankah -meminjam Lord Acton- power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely (kekuasaan cenderung korup, kekuasaan mutlak mengorupsi semuanya)? Dan bukankah kemutlakan informasi adalah bentuk lain dari korupsi kekuasaan? Segurat refleksi yang menjadikan uraian penulis menemukan conditio in argumentum.

Sebagai bahasa manusia, angka-angka adalah runutan fakta aktual yang teruji empirik. Dan karena itulah tidak berangkat dari kehampaan. Data yang baik juga memiliki pedoman mutu, pijakan teoritik yang teruji ilmiah. Maka mengapa harus berlindung dibalik apologi?

Efektivitas Kebijakan

Masih dalam tulisan kepala bappeda, besaran IPM terus mengalami peningkatan. Legitimasi yang juga menyisakan ruang kesangsian. Walau tidak perlu terjebak dalam pendekatan ilmu logika, argumen tersebut jelas bernada paradoksial. Bagaimana mungkin mengkritik metode, sementara pada saat bersamaan mengapresiasi sebahagian hasilnya? Pun bagaimana ketika dihadapkan dengan realitas daya saing dan efektivitas?

Suatu angka keluar dari rahim evaluasi. Dan mengurai IPM berarti mempertanyakan pelaksanaan kebijakan. Sehingga perbesaran angka harus diukur dari variabel lain yang berdimensi sama. Katakan disini angka IPM NTB mengalami kenaikan, sementara peringkatnya tidak berubah, berarti ada kelambanan kinerja. Kalau sepakat rumus merupakan disiplin matematika, bukankah ilmu banding belum dihapus dari kamus? Lantas apa yang perlu dibanggakan dari kenaikan angka tersebut?

Dalam perspektif yuridis, kebijakan adalah konsep pikiran yang telah mengalami pengesahan prosedural. Dan pemerintah sudah merancang program pengentasan kemiskinan, perbaikan kesehatan, peningkatan mutu pendidikan, dan pembangunan infrastruktur. Namun pertanyaannya, sejauh mana target tercapai? Apakah kebijakan hanya berupa kalimat manis dalam sekian surat keputusan dan peraturan legal?

Tidak penting berbicara angka dalam ungkapan kepala bappeda akan menjadi sama derajatnya dengan tidak penting tanpa peningkatan peringkat. Sebab berhasil tidaknya program tentu saja akan tetap berujung pada argumen kuantitatif. Bukan kefanatikan penulis percaya angka, namun angka dalam konteks ini adalah sebentuk fakta materiil (kinerja kebijakan) dan prosedural (bermetode ilmiah).

Maka kalau boleh memberi saran, akan jauh lebih elok sekiranya pemerintah NTB menerima hasil penilaian sembari bertekad membenahi kebolongan-kebolongan kebijakan (konsep dan implementasi). Sehingga ke depan, selain angka IPM yang merangkak naik, harapan kepala bappeda (perbaikan pendidikan, kesehatan, dan ekonomi) dapat terealisasi. Semoga!

Arifuddin Hamid
Mahasiswa Tingkat Akhir Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Kelahiran NTB
(Tanpa suntingan), pernah dimuat di Opini Harian Suara NTB, 20/12/2011