Harian Suara NTB (5/12/2011) melansir berita utama mengenai minimnya kontribusi wakil NTB di pusat. Sebuah gugatan yang sudah lama dinanti, kritikan yang memang sudah sewajarnya diungkap. 

Mengapa berita tersebut menjadi penting ditilik, setidaknya dapat dilihat dari tiga kerangka pikiran. Pertama terkait fungsi perwakilan dalam hubungannya dengan kewenangan legislatif. Kedua, realitas minimnya pendapatan asli daerah (PAD), dan ketiga anomali harapan dana perimbangan. 

Fungsi Perwakilan

Berbicara demokrasi tentu saja tidak bisa dilepaskan dari fungsi perwakilan. Sebagai konsekuensi kompleksitas, setiap orang tidak bisa mewakili dirinya sendiri dalam proses pengambilan keputusan publik. Keserentakan kerumitan menyebabkan terjadinya delegasi aspirasi dari orang banyak kepada segelintir terpilih. Melalui proses politik, terjadi transfer kedaulatan dan sekaligus terbentuk legitimasi bertindak. Dalam deskripsi ini, logika kewenangan wakil rakyat menemukan basis teoritiknya.

Sebagai yang diberi delegasi, delegator kemudian dapat melakukan tindakan politik tertentu dengan lekatan kewenangan tertentu pula. Dalam hal anggota DPR dan DPD, mewakili aspirasi kedaerahannya masing-masing untuk kemudian memperjuangkan aspirasi tersebut menjadi kebijakan publik.

Setidaknya dalam perjuangan besaran anggaran daerah, menjadi salah satu tugas dan fungsi pokok mengapa anggota DPR dan DPD diperlukan. Selaku pemangku kepentingan, sudah merupakan kewajiban struktural untuk dapat mewakili konstituennya mendapatkan apa-apa saja yang perlu bagi pengembangan daerah.

Dalam konstitusi, fungsi perjuangan kedaerahan tersebut memiliki dasar berpijak (legalitas) yang cukup terang. Dalam pasal 20A ayat 1, tegas dibahasakan adanya fungsi anggaran, yang proses penggodokannya melibatkan setiap anggota DPR dalam hal pengajuan usul dan pendapat (pasal 20A ayat 3) mengenai aspirasi keuangan daerah. Pun dengan DPD, dapat mengajukan, ikut membahas, dan sekaligus dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang terkait otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, serta pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara (pasal 22D).

Pokok-pokok pengaturan konstitusional tersebut sebenarnya mengamanatkan kepada setiap anggota DPR dan DPD untuk secara optimal memerankan fungsinya sebagai aspirator rakyat, wakil daerah di pusat. Sebab logika dasar demokrasi adalah perwakilan, kinerja wakil rakyat harus dipertanggung jawabkan kepada rakyat pemilihnya di daerah. Dan karena demikian jua lah wakil rakyat tidak bisa bertindak dengan kehendaknya sendiri, tidak boleh tercerabut dari akar aspirasi konstituennya. Dan hak bertindak tersebut adalah manifestasi politik demokrasi dengan pembatasan-pembatasan tertentu oleh peraturan perundang-undangan.

Sejumlah Anomali

Sebagai salah satu provinsi yang sumber penganggaran daerahnya disubsidi cukup besar oleh “Jakarta”, sudah sepantasnya NTB berharap banyak dari anggaran pusat. Kalau melihat struktur RAPBD NTB 2012 (Suara NTB, 19/11/2011), APBD ditargetkan sebesar Rp. 1. 1748 triliun lebih, dengan jumlah PAD sebesar Rp. 691 miliar lebih.

Berbicara nominal, pendapatan asli daerah sedemikian tentunya membuat kita mengelus dada. Di tengah persoalan laten gizi buruk, anarkisme komunal, carut-marut sosial politik dalam pengelolaan kekayaan alam, logistik anggaran sebagai bahan baku implementasi kebijakan tidak serius diperjuangkan wakilnya di pusat. Sebuah keadaan yang semakin menyeret NTB dalam situasi keterjepitan kompleks. 

UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, pasal 16 menyebutkan bahwa APBD merupakan wujud pengelolaan keuangan daerah yang terdiri dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan, dan lain-lain pendapatan yang sah. Artinya, terdapat peluang “kreasi” anggaran yang dapat dilakoni oleh wakil rakyat di pusat. Adalah kemampuan “lobi politik” sebagai senjata pamungkas memperbesar jumlah anggaran tersebut.

Dengan konsep “rumah rakyat”, DPR dan DPD terdiri dari sekian jumlah wakil rakyat yang berkumpul dengan agenda kerakyatannya masing-masing. Amanat yang didapat dengan jalan terjal, melalui kompetisi terbuka yang hanya menerima segelintir, mestinya tidak disia-siakan dengan kemalasan berbuat. Apalagi dengan nasab politik mewakili NTB, keajegan prestatif menjadi niscaya untuk ditunjukkan. Dalam konteks perjuangan anggaran, sepantasnya berperan sebagai pahlawan advokasi.

Kalau berbicara ideal, sejatinya wakil rakyat termotivasi melakukan lobi-lobi dalam tujuan perbesaran anggaran. Sebab penentuan besaran dana perimbangan adalah domain legislatif, persis disinilah tambal sulam anggaran dapat dilakukan. Maka ketidakseriusan wakil rakyat memperjuangkan pengucuran anggaran pusat adalah sebentuk anomali yang menyurat sejumlah tanda tanya. 

Parsialitas kinerja tersebut setidaknya perlu diungkap dari tiga sudut pandang keheranan. Pertama, para wakil rakyat terpilih adalah tokoh-tokoh lama yang sudah makan asam garam dalam konstelasi politik lokal maupun nasional. Melihat potret anggota DPR dan DPD dari NTB bagai membuka kotak pandora kaum elit. Ada yang sebelumnya aktivis reformasi, mantan orang kuat di eksekutif daerah, orang penting di organisasi militer, dan sekian tokoh-tokoh penting lainnya. Dengan bahasa yang berbeda, wakil rakyat-wakil rakyat tersebut tidak perlu diragukan lagi reputasi organisasi dan pengalaman politiknya. Tidak seperti trend politik saat ini, rakyat NTB cukup cerdas untuk tidak memilih wakilnya yang berpolitik instan. Bahkan tidak ada satupun wakil rakyat yang rekam jejak masa lalunya berseberangan dengan profesi di bidang penyusunan kebijakan publik.

Kedua, setidaknya sampai saat ini para wakil rakyat tersebut tidak terindikasi terlibat praktek korupsi. Dalam situasi phobia keputusan seperti sekarang ini, “kebersihan” jejak rekam adalah modal politik teramat mahal yang dapat digunakan untuk aktualisasi tugas dan fungsi secara optimal. Tanpa beban moral takut diciduk aparat penegak hukum, semestinya lobi-lobi politik untuk memperjuangkan kepentingan daerah dapat dilakukan secara tuntas serius dan berdaya guna. 

Dan ketiga, hampir semua dari wakil rakyat adalah putera daerah yang tumbuh dan besar di NTB, atau setidaknya memiliki ikatan genealogis dan keluarga besar di daerah. Modal yang ketiga ini seharusnya menjadi tuntutan psikologis, bahwa setiap gerak-geriknya selaku politisi senayan pasti akan berimbas pada keluarganya. Dalam pendekatan politik behaviourial, analisis tentang tuntutan psikologis ini memiliki riwayat teoritik yang panjang dan berdimensi empirik.

Sebagai daerah yang sarat dengan nilai-nilai keagamaan (secara kasat dapat dilihat dari praktek ritual, infrastruktur religius dan muatan legalistis lokal), keheranan-keheranan tersebut menemukan keanehannya sendiri. Penulis masih percaya, religiusitas kultural dan (sekaligus) struktural adalah idealitas pembentuk tabiat dan perilaku manusia-manusianya, termasuk manusia politik sekalipun. Maka atas nama akal sehat, semantik kegusaran harus kembali diungkap. Apakah ketidakseriusan kinerja merupakan ekses logis dari praktek simalakama moral warga senayan? Ataukah ini adalah cermin sudah tercerabutnya wakil rakyat dari nalar keadaban publik (bonum commune)? Atau justru politik memang sudah sedemikian ternista dalam perangkap semiotik? Wallahu a’lam.

Arifuddin Hamid
Mahasiswa Tingkat Akhir Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Kelahiran NTB
UI, Depok, 5 Desember 2011, 
Pernah dimuat di Opini Harian Suara NTB, edisi Kamis, 8 Desember 2011