Penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2014 berada pada situasi mengkhawatirkan. Ketua KPU RI, Husni Kamil Malik (11/2) menuturkan bahwa anggaran KPU yang belum dicairkan oleh kementerian keuangan masih sebesar Rp1.7 triliun. Potongan fakta ini seolah mengurai ancaman besar dalam kehidupan demokrasi dan ketatanegaraan kita, yakni terganggunya pelaksanaan Pemilu, sehingga memunculkan suatu krisis kepemimpinan politik dalam periodisasi kekuasaan republik. Sementara Pemilu 2014 kurang dari beberapa bulan, ancaman tersebut sangat potensial, kalau tidak lebih tepat disebut aktual.   

Terancam 

Mengapa sendatan anggaran ini mesti disikapi secara kritis? Perlu dicatat, mekanisme penyelenggaraan pemilu memiliki logika yang berbeda dengan organisasi pemerintahan pada umumnya. Pemilu adalah perangkai kekuasaan pemerintahan segala lini, yang darinya segala cabang kekuasaan penyelenggaraan negara terisi secara sah dan berlegitimasi. Dalam sistem bernegara yang kita anut, pengisian kekuasaan yang ada membutuhkan campur tangan parlemen dan presiden, baik itu di tataran lembaga tinggi negara, maupun untuk lembaga negara bantu. Oleh karenanya, kegusaran Ketua KPU perlu dibaca dengan logika kausalitas. Bahwa keterhambatan pelaksanaan Pemilu legislatif (Pileg) yang berimplikasi pada Pemilu presiden (Pilpres), praktis menyisakan skenario runyam dalam perhelatan demokrasi ini. 

Apabila melihat jadual penyelenggaraan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD tahun 2014 sebagaimana diubah terakhir pada perubahan keenam (PKPU 21/2013), tahapan krusial yang genting adalah pada persiapan menjelang pemungutan suara. Sementara tahapan ini membutuhkan intensitas kerja dari panitia ad hoc yang bekerja tidak berdasarkan direktif kelembagaan, faktor anggaran menjadi pemicu paling penting. Dapat dikatakan bahwa simulasi elektronisasi (1-28/2), monitoring persiapan (5-31/3), dan penyiapan TPS/TPSLN (8/4) bertumpu pada kualitas kinerja sumber daya pelaksana Pemilu. Keterlambatan pencairan anggaran pada akhirnya berimplikasi negatif terhadap kualitas hasil Pileg itu sendiri. 

Bahwa kemudian celah legalistik peraturan hukum kita sebagaimana tertuang dalam klausula Pasal 112 UU Pilpres, yakni pemungutan suara Pilpres dilaksanakan paling lambat tiga bulan setelah pengumuman hasil Pileg (7-9/5) juga tidak dispensatif maksimal. Katakanlah dengan kekisruhan prosedural ini, Pilpres dijadwalkan beberapa hari sebelum 7-9 Agustus 2014 (bukan pada 9 Juli 2014), letak kerawanan justru tersangkut pada kesiapan KPU menyelenggarakan putaran kedua Pilpres. Fakta bahwa pelaksanaan Pileg dan Pilpres serentak belum memiliki landasan hukum, mempersingkat interval waktu demi menjaga tenggat waktu sampai ketertetapan kandidasi juga bukan pilihan yang mudah. Rigiditas tempus Pemilu inilah yang pada akhirnya memunculkan kekhawatiran terbesar, yakni terjadinya kekosongan kekuasaan (vacuum of powers). 

Krisis Konstitusi 

Apakah kemudian kekosongan pemerintahan akibat kegagalan Pemilu dapat dikualifisir menjadi “krisis konstitusi,” tentu saja perlu mendapaat telaah lanjutan. John Rawls menyatakan konstitusi berada dalam situasi krisis apabila struktur normanya tidak dapat diwujudkan dalam praktik atau sangat tidak memadai dalam mencapai tujuannya (Whittington, 2002). Dari definisi Rawls tersebut, Whittington melanjutkan bahwa norma konstitusi yang diharapkan tidak lagi sesuai dengan dan tidak mampu mengatur situasi politik. Definisi Rawls tersebut mengandung makna bahwa krisis itu terjadi pada lokus internal konstitusi sendiri, sementara meskipun krisis konstitusi menjadi gejala dan penyebab krisis politik, keduanya tidaklah kausal. Bahwa krisis politik belum tentu imbas dari krisis konstitusi. Begitupun sebaliknya, krisis konstitusi tidak selalu berimplikasi dramatik pada sistem politik dan kehidupan masyarakat luas. 

Levinson dan Balkin (2009) bahkan membedakan antara keadaan darurat (emergency) dengan kegentingan/krisis (crisis). Keadaan darurat dapat menimbulkan krisis konstitusi, meskipun bukan menjadi penyebab utama dan satu-satunya. Tanpa krisis konstitusi, keadaan darurat dapat saja terjadi. Keadaan darurat adalah persepsi atas suatu keadaan mendesak yang disebabkan oleh fakta sekitar atau pemahaman terhadap fakta tersebut. Kedaruratan tersebut dapat ditimbulkan oleh peristiwa alam, kebijakan pemerintah, ancaman asing, persoalan kependudukan, munculnya teknologi baru, atau gabungan dari hal-hal tersebut. Sebaliknya krisis konstitusi merupakan konflik perihal legitimasi penggunaan kekuasaan oleh orang atau institusi. Dalam hal otoritas konstitusional bertentangan, konteks itulah yang dapat disebut sebagai krisis konstitusi. Bukan karena adanya situasi darurat atau tindakan di luar batas, tetapi terdapat sengketa di antara aktor/organ konstitusi mengenai sifat kedaruratan tersebut dan langkah legitimatif untuk meresponnya. 

Dari kriteria sebagaimana disebutkan, secara kasat dapat disimpulkan bahwa ketiadaan calon terpilih sehingga terjadi kekosongan kekuasaan adalah suatu bentuk krisis konstitusi. Pertanyaannya: bagaimana peraturan hukum kita mengatur perihal ini? Sepanjang ketentuan hukum yang ada, solusi konstitusional hanya dapat dilakukan melalui pembentukan badan pembantu presiden yang diantaranya beranggotakan TNI dan Polri (diluar menteri kabinet) sebagaimana tertuang dalam ketentuan Pasal 3 ayat (2) UU 23 Prp 1959. Namun persoalannya, pembentukan badan tersebut bersifat dispensatif. Apalagi pernyataan bahaya dalam konteks ini diucapkan apabila setidaknya ada atau dikhawatirkan ada gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup negara (Pasal 1 ayat 1 angka 3), artinya kalau diandaikan, diucapkan sebelum 20 Oktober 2014.  

Secara doktriner, pilihan konstitusional (constitutional choice) yang barangkali patut ditengok adalah referendum. Dalam Konstitusi Republik Kelima Perancis misalnya, kedaulatan nasional adalah milik rakyat, yang pelaksanaan atas kedaulatan itu melalui keterwakilan dan dengan cara referendum (Pasal 3). Referendum di Perancis ini malah berfungsi teknis, yakni dalam hal pembentukan regulasi legislatif (Pasal 11), revisi konstitusi (Pasal 89), dan peraturan lokal (Pasal 71 angka 1). Konstitusi Venezuela bahkan menyatakan hakim dan pejabat yang pengisiannya melalui pemilihan dapat dibatalkan. Bahwa sekurang-kurangnya dua puluh persen pemilih terdaftar dapat mengajukan petisi meminta referendum bagi pencabutan kekuasaan, dengan catatan setelah setengah masa kekuasaan berlangsung (Pasal 72). Secara praktikal, referendum pembatalan presiden’presidential recall referendum—meminjam Delfino dan Salas, 2005—pernah dilakukan pada tahun 2004, untuk menentukan apakah kekuasan Presiden Hugo Chavez berlanjut sampai tahun 2007 atau terpaksa meninggalkan jabatannya di pertengahan periode (McCoy, 2006). Dapat disimpulkan, referendum di sini bukanlah suatu repetisi elektoral, melainkan mekanisme pertanggung jawaban, terlepas dari kualitas pelaksanaan Pemilu. Oleh karenanya, menyimak berbagai fakta tersebut, opsi referendum tentunya sulit untuk diterima. 

Dalam norma ketatanegaraan kita, perihal referendum ini pernah diatur melalui TAP MPR Nomor IV/MPR/1983, yang kemudian diatur lebih lanjut dalam UU 5/1985 tentang Referendum. Namun legal policy tersebut bukanlah instrumen pengisi kekosongan kekuasaan, melainkan syarat legitimatif bagi pengubahan konstitusi, apalagi pelaksanaannya mesti dilakukan oleh presiden dalam kapasitasnya sebagai mandataris MPR. Kecuali kita sepakat bahwa “pengisian kekuasaan” tersebut adalah kekuasaan bagi presiden dan legislatif untuk melangkahi tenggat waktu jabatan sebagaimana waktunya, persoalannya akan menjadi lain. Terlebih perkara referendum ini sudah dinyatakan tidak konstitusional melalui Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/1998 jo UU 6/1999. 

Apakah tersedia opsi konstitusional yang mungkin dan realistik? Pemilu tidak boleh gagal masih menjadi jawaban terbijak. 

Arifuddin Hamid 
Anggota Dewan Pakar Indonesian Transparency Public (Intralic), Alumnus FHUI 
Pernah dimuat Harian Suara NTB, 17/2/2014