Dus, polemik penguasaan saham Newmont sebesar tujuh persen tutup buku. Sebagaimana dilansir halaman utama harian ini (1/8), dalam putusan bernomor 2/SKLN-X/2012, MK menolak permohonan pemerintah yang tidak ingin melibatkan DPR dalam divestasi yang terjadi. Memahami hal ini, dalam penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, putusan MK bersifat final, yakni langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Penjelasan UU revisi tersebut juga semakin menegaskan, tidak saja kekuatan hukum daripada putusan MK, namun juga efektivitas pelaksanaan putusan. Artinya secara normatif, diskursus kepentingan telah selesai, tinggal bagaimana implementasi putusan tersebut dalam alur wacana yang berkembang prapermohonan perkara. 

Akar Kontrak Karya 

Membincang penguasaan saham ini, relevan meniliknya dari perspektif politik manajemen perusahaan. Dengan badan hukum berbentuk perseroan terbatas sekaligus terdapat unsur kepenguasaan asing, PT. Newmont Nusa Tenggara (Newmont) tidak saja tunduk pada ketentuan hukum mengenai perseroan terbatas dan Pertambangan, namun juga dalam hal penanaman modal asing. Seperti diketahui, klausul divestasi sebesar 51 persen penguasaan saham oleh Pemerintah Republik Indonesia (pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan atau perusahaan nasional) telah diatur dalam Persetujuan Presiden RI bernomor B-43/Pres/11/1986 melalui Menteri Pertambangan dan Energi tertanggal 6 November 1986 perihal Persetujuan Kontrak Karya. Dalam ketentuan Pasal 24 ayat (3) dan (4) Kontrak Karya, mewajibkan divestasi saham kepada Pemerintah Republik Indonesia dilakukan secara bertahap (3 persen pada tahun 2006, 7 persen pada tahun 2007, dan 7 persen pada tahun 2008).  

Apabila memerhatikan waktu pemberian kuasa pertambangan (tempus delicti), kontrak karya tersebut tunduk pada UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan, yang diatur lebih lanjut dalam PP. No. 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan. Dalam ketentuan Pasal 12 ayat (2) UU. No. 11/1967, kuasa pertambangan dapat diberikan kepada badan hukum swasta yang didirikan sesuai dengan peraturan-peraturan Republik Indonesia bertempat kedudukan di Indonesia dan bertujuan berusaha dalam lapangan pertambangan dan pengurusnya mempunyai kewarganegaraan Indonesia dan bertempat tinggal di Indonesia, yang secara lebih jelas dalam klausul Pasal  2 ayat (4) PP. No. 32/2009, diberikan oleh menteri kepada perusahaan negara, perusahaan daerah, badan lain atau perorangan untuk melaksanakan usaha pertambangan. Pengaturan serupa juga terdapat dalam ketentuan Pasal 3 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. 

Lebih lanjut mengenai dasar adanya kontrak karya ini, penafsiran terbalik terkait ketentuan Pasal 6 ayat (1) dan (2) UU. No. 1/1967, pertambangan adalah bidang yang dapat ditanami modal asing. Hal ini kemudian dalam Pasal 8 ayat (1) dan (2) UU tersebut, penanaman modal asing di bidang pertambangan didasarkan pada suatu kerja sama dengan pemerintah atas dasar kontrak karya atau bentuk lain sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku (ayat 1). Dan sistim kerja sama dapat dilaksanakan dalam bidang-bidang usaha lain yang akan ditentukan oleh pemerintah (ayat 2). Ini berarti, klausul kontrak karya, termasuk kewajiban divestasi, merupakan produk hukum yang sah adanya. 

Landskap historis legalitas kontrak karya tersebut menjadi penting dan relevan ketika dikaitkan dengan urgensi penguasaan saham. Dalam ketentuan Pasal 52 ayat (1) UU. No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, pemegang saham berhak untuk: menghadiri dan mengeluarkan suara dalam rapat umum pemegang saham (RUPS); menerima pembayaran dividen dan sisa kekayaan hasil likuidasi; dan menjalankan hak lainnya berdasarkan undang-undang ini. Besaran penguasahaan saham ini akan menentukan seberapa besar kuasa suara yang dimiliki (Pasal 85 ayat 1), yang mekanisme pengambilan keputusannya dalam forum RUPS, apabila tidak dicapai musyawarah mufakat (Pasal 87 ayat (1), diambil dengan ketentuan suara mayoritas mutlak atau terbesar minimal (ayat 2). Dalam hal ini PT. Multi Daerah Bersaing (PT. MDB) sebagai pemegang saham, divestasi tujuh persen tersebut menemukan logika hukumnya. 

Meski demikian, keterselesaian polemik yang ditandai terbitnya putusan MK tidak berarti besaran tujuh persen otomatis dikuasai pemerintah daerah. Seakan membuka diskursus lama, keengganan kementerian keuangan merelakan saham tersebut kepada Pemda NTB, tidak saja berkaitan dengan keraguan akan kapabilitas, namun juga patgulipat praktik kotor korporasi.  

Ambivalensi Ganda  

Tak ayal polemik penguasaan saham ini menimbulkan ambivalensi. Setidaknya terdapat tiga kombinasi sudut pandang yang mengafirmasinya: potensial, faktual, dan hipotetis. 

Sebagai perusahaaan besar yang menguasai wilayah pertambangan (WP) seluas 87.450 hektar, Newmont yang salah satu pemegang sahamnya adalah PT. Daerah Maju Bersaing (PT. DMB), sampai 2011 telah membagikan dividen kepada pemegang saham senilai Rp292,749 miliar lebih, yakni senilai Rp35,85 miliar lebih untuk dividen tahun 2009 dan Rp256,89 miliar lebih untuk 2010. Rincian dividen bagi pemegang saham PT. DMB, yakni untuk dividen tahun 2009 Pemda NTB dan Pemkab Sumbawa Barat masing-masing sebesar Rp12,87 miliar lebih, sementara Pemkab Sumbawa senilai Rp6.43 miliar lebih. Sementara dividen tahun 2010, Pemda NTB dan Pemkab Sumbawa Barat masing-masing sebesar Rp92,48 miliar lebih, Pemkab Sumbawa Rp46,89 miliar lebih (Suara NTB, 16/5/12). 

Bagi Pemda NTB, penguasaan divestasi tujuh persen relevan ketika menilik struktur pendapatan daerah. Sejauh ini Newmont menjadi salah satu sumber utama, walaupun akhir-akhir ini mengalami trend kelesuan. Dalam laporan BPS NTB tiga tahun terakhir, besaran produk domestik regional bruto (PDRB) subsektor pertambangan dan penggalian mengalami fluktuasi. Besaran 36,30 persen (triwulan IV 2010), 29,94 (triwulan I 2011), 25,09 (triwulan II 2011), 28,11 (triwulan III 2011), 24,27 (triwulan IV 2011), dan 20,16 (triwulan I 2012), menyaji kontraksi relatif konstan, yang dari tahun ke tahun terjadi penciutan besaran.  

Terkait kuasa Pemda NTB, menurut ketentuan Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 4 Tahun 2010 tentang Perseroan Terbatas Daerah Maju Bersaing, Pasal 5 ayat (2) menyatakan bahwa perseroan dibentuk dengan maksud untuk melakukan kerjasama dengan pihak ketiga dalam hal pembelian saham divestasi PT. Newmont Nusa Tenggara, mendayagunakan aset daerah dalam rangka menciptakan lapangan usaha, lapangan kerja dan peningkatan pendapatan asli daerah. Pihak ketiga termaksud adalah PT. Multi Capital (Pasal 6 ayat 1 huruf a). Namun berdasarkan fakta hukum dalam putusan Pengadilan Negeri Sumbawa Besar bernomor 2/Pdt.G/2011/PN.SBB, sebagian besar saham PT. MDB yakni senilai 75 persen dikuasai oleh PT. Multi Capital. Artinya dalam kepenguasaan saham PT. NNT, PT. Multi Capital menguasai 18 persen saham dan PT. DMB senilai 6 persen. 

Syahdan, dari data dan fakta tertelusur, polemik Newmont ini menampilkan ambivalensi ganda. Penguasaan saham menyurat asa sekaligus kecemasan. Terkesan retorik, penguasaan 7 persen oleh pemerintah daerah barangkali akan dapat meningkatkan pendapatan daerah subsektor pertambangan dan penggalian. Sementara meski hipotetis, dengan penguasaan hanya 25 persen atau seperempat dari komposisi saham PT. MDB, semoga pemerintah daerah tidak sedang mengais di air keruh. 

Arifuddin Hamid 
Alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia 
Pernah dimuat Suara NTB, 3/08/2012