Identitas harian ini (23/07) menyitir potensi nirakurasi data penduduk potensial pemilih pemilu (DP4) yang bersumber dari pemerintah daerah. Persoalan klasik yang selalu mengaktualisasi dalam setiap momentum politik. Tepatnya di beberapa waktu mendatang, pesta politik lokal segera berhelat. Persoalan data selalu saja aksidental, terjadi berulang dalam demokrasi yang sedang mencari bentuk ideal.
Menaruh Curiga
Pemaknaan politik dalam perkembangannya yang mutakhir tidak lagi bersifat kualitatif. Politik bukan sekadar lelaku berdimensi artistik, namun mewujud legitimasi berbasis angka. Secara empirik, perkembangan kontemporer dengan menjamurnya lembaga survei mengindikasi benarnya asumsi demikian. Lagipula dalam rezim akademik, politik dimaknai lebih berbobot saintifik, yang berakar dari tradisi ilmu alam.
Saintifikasi politik berimplikasi pada semakin pentingnya penguasaan sumber daya politik, yakni sejauh mana massa pemilih yang terkuantifikasi dalam deretan angka-angka dikuasai dan dijadikan sumber legitimasi. Demokrasi partisipatoris dalam ruang pemilihan umum menjadikan angka sebagai alat kuasa. Persis dalam konteks ini, persoalan data bukan lagi sekadar dan sesederhana soal keliru kebijakan atau ketidaksengajaan teknis, namun bentuk politisasi sumber kuasa.
Selebihnya apa yang diungkap oleh identitas tersebut merupakan simulasi kenyataan. Bahwa deskripsi tidaklah lokalistik, namun gejala umum yang terjadi hampir di setiap lokus. Apa yang terjadi di Lombok Tengah (Loteng) tidaklah kasuistik, namun menggejala di seantero ruang. Walau ini juga asumtif, realitas kebelakang sulit dibantah. Menjelang Pileg, Pilpres, dan Pemilu Kada, sajian data selalu saja diragui kevalidannya.
Dalam konteks pascapemilu, adanya gugatan dari pihak yang kalah seringkali didasari persoalan data. Bahkan dengan jumlah yang tidak signifikan sekalipun, laporan gugatan mesti ditindaklanjuti oleh penegak hukum. Sebab pada dasarnya demokrasi tidak semata perkara hasil, lebih dari itu bersubstansi proses. Kesalahan (kesengajaan maupun kelalaian) data menegasi langgam politik dalam satu-kesatuan proses pemilihan umum.
Apalagi melihat demografi dan persebaran massa pemilih di Loteng, konflik pascapemilu rawan terjadi. Dengan pemilih sah terbanyak kedua (KPU NTB, 2010), kualitas data di Loteng akan menentukan rupa politik NTB. Sebagai contoh untuk pelaksanaan Pemilu Kada NTB, Kepala Daerah (Gubernur) terpilih mendapati celah hukum bagi gugatan dirinya di depan hukum. Apabila ini terjadi, turbulensi konflik akan meluas, bahkan berpeluang menjadi konflik horizontal.
Mengapa soal data dan akurasinya sedemikian penting dapat dilacak dari perkembangan teknis pemilihan itu sendiri. Reinkarnasi demokrasi klasik dengan metode pemilihan langsung menandakan urgensi dari transparansi dan sekaligus skeptisme. Dengan langsung memilih wakilnya (baca: eksekutif), rakyat dapat menjamin suaranya benar-benar tersalurkan sesuai nurani. Sementara skeptisme adalah respon atas praktik semiotik para politisi.
Sehingga menyoal akurasi adalah membincang demokrasi itu sendiri. Secara hipotetik, klaim atasnya dapat dilihat dari kalkulasi numerik dalam peraihan mandat rakyat. Rumusan normatif dalam setiap peraturan perundang-undangan dengan sekian revisinya selalu membahasakan kalkulasi tersebut dengan batasan minimal prosentase. Baik dalam pengaturan di UU Pemilu dengan prosentase klasifikatif satuan institusi politiknya, UU Pemerintahan Daerah yang mensyaratkan suara tiga puluh persen maupun dalam UU Daerah Khusus dengan syarat terendah lima puluh persen.
Dus, awalan ketidakberesan yang terwartakan harian ini patut dijadikan peringatan dini, bahwa ada yang tidak beres dalam bangunan demokrasi kita. Kisruh statistika menandai laku pedagogik para kuasa. Politisi, birokrat, pemodal, kelompok kepentingan, semua berselingkuh meracik strategi, mendesain taktik dalam pesta yang akan berselang. Syahdan, demokrasi biaya tinggi harus diawasi dengan mantra kecurigaan, mengharap semua berjalan sebagaimana adanya. Pakem dan aturan main harus dijunjung dan ditempatkan sebagai pandu politik.
Merawat Demokrasi
Penyimpangan data pemilih menjadi penanda demokrasi yang sedang sakit. Campur tangan kekuasaan dalam mekanisme birokrasi terus terjadi dalam setiap derap kompetisi. Maka tidak aneh ketika pemimpin yang dihasilkan laiknya sirkus pesolek yang menari di atas altar kepalsuan. Demokrasi partisipatif yang sejatinya deliberatif tersandera syahwat bawaan para penguasa. Persis yang disinggung identitas harian ini, ekses dari politisasi birokrasi maupun birokrasi yang berpolitik dengan membajak demokrasi melalui instrumen-instrumen kekuasaan, yang pertama dan utama adalah mobilisasi kepatuhan.
Cornelis Lay (2004) membahasakan polah birokrasi tersebut sebagai penindasan struktural yang pada gilirannya akan menemukan individu birokrasi sebagai korban berikutnya, yang kemudian menggunakan alasan represif di lingkungan birokrasi ini untuk membenarkan dan sekaligus menyebarkan secara horizontal represi politik ini ke lingkaran anggota-anggota keluarga sendiri.
Sementara tindakan pengaburan data, bahkan dalam beberapa literatur dikatakan sebagai bentuk korupsi. Sudijono Sastroatmodjo (1995) misalnya, mengartikan perekayasaan data sebagai korupsi ideologi (ideological corruption), yakni jenis korupsi yang dimaksudkan untuk mengejar tujuan-tujuan kelompok. Korupsi jenis ini barangkali hampir terjadi di setiap kegiatan-kegiatan politik, yang bertujuan untuk mendukung seseorang atau lain dalam memperoleh jabatan atau pengaruh yang lebih luas.
Pluralitas budaya politik dan preferensi pemilih dalam suatu daerah menjadi alasan terjadinya korupsi ideologi. Kalkulasi basis ideologi menjadi landasan okupasi politik kandidat atau kelompok tertentu. Bagi yang berkuasa, instrumen birokrasi diberdayakan untuk mobilisasi dan reproduksi ketaatan. Sementara di saat yang bersamaan data pemilih dimanipulasi dalam rangka pemenangan calon terestui.
Dalam kejadian-kejadian politik (political event), katalisasi hasrat senantiasa mengawali banalitas perilaku dalam setiap momentum dan perhelatan pesta rakyat. Demos yang semestinya berkuasa justru menjadi korban atas tingkah laku elit pembajak yang seakan-akan demokratis, padahal semu, artifisial belaka. Demokrasi semu (pseudodemokrasi) adalah tantangan sekaligus penyakit demokrasi.
Merawat demokrasi tidak saja sebatas kata-kata dan ceramah. Dalam simpulan kuliah umum yang disampaikan R. William Liddle, Guru Besar Emeritus, Departemen Ilmu Politik, Ohio State University sekaligus salah seorang Indonesianis terkemuka, sebagaimana juga diikuti oleh penulis di Universitas Paramadina, dengan sajian makalah berjudul: Marx atau Machiaveli, Menuju Demokrasi Bermutu di Indonesia dan Amerika (2011: 47), kegiatan intelektual saja tidak cukup. Selain itu, pemerataan sejati (sumber daya politik) memerlukan tindakan politik yang dilakukan oleh orang-orang yang mengidamkan demokrasi bermutu.
Maka mari serentak bermenung tentang kualitas demokrasi di NTB kita tercinta. Kemudian bertanya, tindakan apa yang mesti diperbuat untuk merawatnya? Selamat mencari!
Arifuddin Hamid
Alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Pernah dimuat Suara NTB, 26/07/2012