Pelajaran apa yang dapat dipetik dari Pemilu Kada DKI 2012? Barangkali kita akan menyepakati dua hal, pertama terjungkalnya logika politik konvensional, kedua ada ikhtiar mengakhiri kelatenan persoalan daerah. Maka kalau dihubungkan dengan realitas kentban saat ini, nampak ada relevansi antara apa yang sekarang terjadi di Jakarta, dengan bagaimana mestinya NTB mencoba di 2013 nanti.  

Memahami pemilu kada harus mengacu pada dua ekses dari reformasi 1998. Reformasi konstitusional yang mewujud dalam amandemen konstitusi mengamanatkan sistem seleksi yang terbuka, langsung, dan berdimensi publik. Sementara reformasi politik yang berbentuk desentralisasi pemerintahan menggaris otonomi yang lebih luas bagi politik pemandirin daerah. Dari kedua jenis reformasi tersebut, derasnya arus kelokalan menjadi akibat lanjutan yang kerap dijadikan alat politik. Praktek pemilu kada, selain menyaji wajah demokrasi, juga menjadi potret awal bagi cetak biru pembangunan daerah. 

Dalam landskap wacana post-reformasi, terjadi komodifikasi pandangan lama, yakni kultur berbasis perasaan berorientasi dan mengarah pada aksi politik yang bergantung pada faktor-faktor seperti tradisi, kenangan sejarah, perasaan, dan simbol (Dennis Kavanagh, 1982: 11-12), dan menjadi legitimasi dalam ruang demokrasi lokal. Arus balik kekuasaan dari pusat ke daerah (S.H. Sarundajang, 2000) berefek pada meningkatnya militansi primordial, yang kemudian secara dramatis menjarah ruang politik lokal. Tak ayal pemilu kada bagai kotak pandora berkeping dua, berhasrat untuk semua sekaligus berbatas etnisitas. Adalah demokrasi yang diskriminatif. 

Menyambung alinea di atas, Pemilu Kada DKI menjadi keunikan dan keberbedaan yang menarik untuk ditelisik lebih dalam. Ada preseden yang tercipta, ada kritik yang terlontar, ada harapan yang terbentang. Inilah fenomena di DKI 2012, serangkaian variabel melebur dalam kerunyaman sintesa. Dan pesannya, jargon-jargon sukuis yang selama ini menghegemoni cara berpikir daerah sebenarnya tidak lebih dari mistik yang kemudian menjadi praksis superfisial dalam belantara ketidaksadaran.  

Lantas apakah munculnya “para figur” akan mendekonstruksi tuntas praktek bergantung dalam setiap pemilu kada di Indonesia? Tentu terlalu ceroboh penulis mengatakan iya. Membalikkan praktek berdemokrasi bukanlah pekerjaan sehari dua hari, tidak mungkin juga disulap lewat satu peristiwa. Lalu dimana keterkaitannya? 

Jakarta punya kemampuan membius. Jakarta punya mode. Jakarta menjadi pusat. Jakarta adalah daerah yang mempunyai segudang kekhususan. Jakarta adalah ibukota negara, pusat pemerintahan, sentra perdagangan, locus gagasan, sekaligus wilayah penuh ironi. Di Jakarta, anda bisa berada di dua dunia, yang satu gemilau gedung bertingkat, di sisi lain berderet gubuk-gubuk tak layak huni. Di Jakarta anda bisa melihat eksekutif necis berjalan tergesa, sembari menengok para peminta yang terseok mengharap belas kasih.  

Persoalan Jakarta belum selesai. Kemacetan yang rekornya tidak terkalahkan, banjir yang sudah menjadi ritual tahunan, sampah dan limbah yang selalu banyak, para pendatang nekad yang tidak pernah mengalami penurunan jumlah, adalah sebagian dari sekian masalah di ibukota. Sederhananya, Jakarta punya seabrek permasalahan. 

Sehingga kasat tersimpul, bahwa tampilnya kandidat “dari luar” menemukan pijakan empiriknya. Jakarta yang khusus perlu diterapi dengan cara yang khusus, persoalan yang ekstra mesti diurus oleh pemimpin yang ekstra. Dalam pustaka keilmuan, adagium semacam itu ternyata memiliki rumus baku pula. Aksi pasti dibalas reaksi, kesepadanan niscaya bertemu kesepadanan. 

Tanpa perlu dukung mendukung, perkembangan opini menjadi pertanda bangkitnya profesionalisme di kekinian politik dan pemerintahan Indonesia. Pemilihan figur berdasar “prestasi” menjadi puncak dari frustrasi panjang warga ibukota. Walau yang diopinikan sebatas imaji, barangkali, munculnya ketidakbiasaan patut diapreasiasi sebagai diskursus yang menuju, cita masa depan yang lebih baik. Toh bangunan politik Indonesia selama ini selalu terperangkap oligarki dan kesegelintiran. 

Syahdan wacana menjadi titik awal kebaikan, keberanian itu harus dipuji sebagai langkah maju. Wacana tentu bukanlah jaminan, tetapi perubahan adalah kenyataan yang harus didorong. Ketika ternyata pemimpin yang diharap sebelumnya gagal menjawab asa, biarkanlah perubahan itu menjadi keabadian. 

Menggeser Wacana 

Harapan dan wacana itu sah-sah saja. Mengharap Jokowi dan Alex Noerdin, atau bahkan Faisal Basri sebagai alternatif wajar adanya. Bukanlah pada figur-figur tersebut inti soalnya, namun bagaimana pemilu kada kali ini membuka tabir irasionalitas. Politik bergantung ternyata memiliki kelemahan-kelemahan mendasar dalam konteks kekinian.  

Kalau hendak dibandingkan, NTB dan DKI memiliki kemiripan nasib dalam definisi yang berbeda. Walau apa yang dihadapi NTB jauh lebih mendasar, sebab berkaitan dengan pembangunan suprastruktur dan infrastruktur sekaligus, DKI semata berkutat dengan perkara teknis. Kalau persoalan pembangunan manusia NTB mengakar dalam budaya dan kesimpangan perspektif, manusia DKI terjebak kompleksitas hasil industrialisasi dan ruwetnya ruang hidup. Sementara kemiripan mewujud dalam latennya tantangan yang dihadapi. 

Banjir, sampah, pengangguran, kemiskinan adalah persoalan laten yang belum terpecahkan, sementara tingkat melek huruf, perkawinan dini, pembangunan ekonomi masih menjadi momok. Karenanya, apa yang sekarang terjadi di Jakarta adalah kritik atas kegagalan pendekatan lalu. Runtuhnya opini harus putera daerah dan berbasis etnisitas menandai bangkitnya pendekatan rasional. Bahwa soal kesejahteraan dan kecukupan hidup adalah hal-hal utama yang perlu diberi prioritas. 

Menyadari nasab, NTB adalah daerah periferi, terpinggirkan dalam konstelasi pembangunan nasional. Sehingga menjadi tidak elok untuk berlindung di balik suratan takdir, sembari mencari kambing hitam dan penghibur diri. Dalam pandangan penulis, kepuraan-kepuraan politik ini harus segera diakhiri, rakyat harus dicerdaskan dengan konsep dan pandangan dunia maju. Para pemimpin, hendaknya melakukan otokritik, kemudian mulai mengejar ketertinggalan-ketertinggalan pembangunan.  

Keengganan belajar, kepicikan cara pandang, dan tidak mau mengakui kelemahan adalah parasit peradaban. Terutama untuk budaya politiknya, NTB harus berani keluar dari panji-panji yang selama ini menghempas akal sehat dan derap modernisasi. Kelas menengah terpelajar sudah saatnya menggeliat, ikut menyodor konsepsi demokrasi yang lebih sehat. Sehingga nepotisme yang telah menjadi trend dalam setiap perhelatan politik lokal, yang kemudian mereproduksi para mafioso dan pemburu rente, dapat dipangkas jalur rantainya.  

Minimal wacana, sesuatu yang harus berani diperbuat NTB. Sebagai daerah “tidak dikenal” NTB harus menjemput nasibnya melalui pendekatan ekstra. Konstruksi politik lokal harus dibongkar paradigmanya. Wacana klasik di seputar garis keturunan dan ikatan sosial budaya yang hari ini membajak demokrasi mesti dikalahkan oleh akal sehat. Maka dengan sendirinya letupan-letupan sukuis harus dikikis penuh kesadaran. Sejatinya di 2013 nanti, NTB harus sudah berani meneropong kemajuannya. Kalau DKI bisa, mengapa NTB tidak? Nah. 

Arifuddin Hamid 
Mahasiswa Tingkat Akhir FH UI, Kelahiran NTB 
Suara NTB, 28/03/2012