Berita terkait dugaan tindak penyimpangan dana oleh komite pembentukan provinsi pulau sumbawa (KP3S) menjadi sajian utama harian Suara NTB beberapa hari terakhir. Banyak isu dan opini berkembang, mulai dari tuntutan pemidanaan para pihak yang terlibat sampai pada indikasi adanya demo bayaran dalam proses realisasi pemekaran. Bahkan dalam tulisan MR Pahlevi Putra N.I. Singke berjudul “Murni Kehendak Rakyat (Kebutuhan) atau “Motif Politik (Keinginan)”? (Suara NTB, 15/02/2012), skeptisisme berwujud dalam keserentakan kecurigaan. Apakah pemekaran adalah kebutuhan atau keinginan, barangkali diskursus lanjut dari kontroversi penyimpangan anggaran termaksud. Oleh karenanya, sebelum kontroversi semakin kontroversial, ada baiknya penulis mengurai secuil perspektif dari beragam isu yang berkembang.  

Pemekaran sebagai Proses 

Provinsi Pulau Sumbawa (PPS) sebagai sebuah wacana memang selayaknya ditinjau, didiskusikan, bahkan dikritisi. Sebagai wacana lama yang akhirnya terkristalisasi melalui beberapa ketetapan legal, perkara PPS belumlah selesai. Apalagi evaluasi pelaksanaan pemekaran belum lagi menemukan resolusi ideal di tingkat pemerintah pusat, apakah akan dibatasi -mengingat banyaknya persoalan yang dihadapi daerah hasil pemekaran- atau dilanjutkan -sebagai bentuk pemaknaan prinsip otonomi daerah- masih menyisa keraguan. Hingga wacana pemekaran sempat dipetieskan dan kemudian diwaspadai dengan pertimbangan mendalam. 

UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah jo PP No.78/2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah memberi penjelasan bagaimana mestinya pemekaran daerah berlangsung. Dalam pasal 5 ayat 1 UU No.32/2004, dijelaskan adanya syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan. Secara administratif, pemekaran daerah harus melewati serangkaian persetujuan, baik oleh DPRD Kab/ Kota dan Bupati/ Walikota jurisdiksi calon provinsi baru, maupun oleh DPRD provinsi dan gubernur provinsi induk. Baru kemudian terbentuk tidaknya bergantung pada hasil rekomendasi menteri dalam negeri. Kelanjutan ayat dalam pasal 5 tersebut menguraikan jua syarat teknis dan fisik kewilayahan, apakah Pulau Sumbawa laik tidak dimekarkan menjadi provinsi tersendiri. 

Terkait bagaimana kelanjutan dari rekomendasi menteri sesuai syarat dalam UU.No.32/2004 tersebut, penjelasan lebih lengkapnya tertuang dalam ketentuan pasal 18, 19, 20, dan 21 PP No.78/2007. Inti ketentuan tersebut, bahwa menteri kemudian menyampaikan usulan pembentukan daerah kepada presiden, setelah mendapat saran dan pertimbangan dari dewan pertimbangan otonomi daerah (DPOD). Hingga kemudian finalisasinya berwujud dalam persetujuan presiden terkait usulan tersebut. 

Kalau diperhatikan seksama, dua syarat terakhir dependen terhadap syarat pertama. Dengan kata lain, syarat teknis dan fisik kewilayahan adalah syarat materiil yang wajib dipenuhi oleh PPS, yang kemudian berlanjut pada pemenuhan syarat administratif sebagai syarat formil terbentuknya provinsi baru. Maka sejatinya pertanyaan dan evaluasi proses pemekaran haruslah diawali pengetahuan mendalam, sudah sejauh mana proses pemekaran tersebut berlangsung. 

Mendudukkan Persoalan 

Sejauh pengetahuan penulis, wacana PPS telah selesai di tingkat pemerintah lokal. Hal ini ditandai dengan terbitnya SK Gubernur NTB No.437/2011 tentang Provinsi Pulau Sumbawa. Ini berarti, PPS selangkah lagi menuju keberjadian. Tentang bagaimana pemerintah pusat memandang wacana dan aspirasi ini, sepenuhnya berpulang pada hasil kajian yang dilakukan oleh, baik menteri dalam negeri dengan tim kajian bentukannya maupun DPOD, dan tentunya presiden sebagai penentu akhir. 

Dalam kerangka normatif, runutan alur telah berjalan dalam skenario sistematis. Maka (andaikan) terbukti ada penyimpangan dana hibah oleh KP3S, apakah lantas menegasi berbagai syarat dan proses yang telah terlewati? Menjawab kegusaran tersebut, tentunya harus kembali mengacu ketentuan normatif yang ada.  

Dalam penjelasan pasal 5 PP No.78/2007 terkait persetujuan gubernur dalam pembentukan calon provinsi, salah satu klausul yang dimuat adalah mengenai pemberian dana hibah, yang dalam Permendagri No. 13/2006 pasal 42 dapat diberikan kepada salah satunya kelompok masyarakat (KP3S). Terkait hibah dari Pemprov NTB kepada KP3S, dalam Pergub NTB No.7/2010 pasal 10 ayat 4 dijelaskan tujuan pemberian hibah kepada organisasi kemasyarakatan guna peningkatan partisipasi penyelenggaraan pembangunan daerah dan secara fungsional terkait dengan dukungan penyelenggaraan pemerintahan. Oleh karenanya, hibah berbentuk uang sebesar Rp. 1,2 M dalam rangka percepatan pembentukan PPS adalah amanat peraturan perundang-undangan yang sudah seharusnya diberikan kepada penerima hibah (KP3S). 

Dalam pasal 12 Pergub NTB tersebut, dana hibah dapat diberikan apabila telah tersedia dananya dalam APBD, artinya dana hibah tersebut diambil dari APBD Provinsi. Sehingga ketika ada penyimpangan dana hibah, berarti telah terjadi kerugian anggaran daerah. Dalam UU No.17/2003 Bab IX ditegaskan adanya ketentuan sanksi pidana, administratif, maupun ganti rugi terkait penyimpangan terhadap keuangan negara tersebut. 

Namun demikian, terbukti tidaknya penyimpangan dana seperti apa yang dimaksud peraturan perundang-undangan tidak harus berarti menegasi tahapan proses yang telah terjadi. Pemberian dana hibah yang terjadi pasca adanya SK Gubernur NTB No.437/2011 yang ditindaklanjuti dengan perjanjian hibah daerah antara Pemprov NTB dengan KP3S mengartikan keterselesaian proses di tingakat pemerintah lokal. Sehingga penyimpangan dana oleh KP3S tidak memiliki implikasi hukum apa-apa atas proses administratif yang terus berlangsung. Adanya opini untuk kembali membongkar wacana pemekaran dengan jalan evaluasi mengakar sedari awal adalah persoalan di dataran yang lain. 

Kalaupun dugaan penyimpangan dana ini terbukti, masalahnya bukanlah pada butuh atau inginnya PPS, namun terkait kredibilitas oknum dalam organisasi KP3S. Oleh karenanya, kita semua perlu berpikir dan bertindak bijak menyikapi isu yang berkembang, sehingga politisasi isu tidak harus menihilkan alur hukum yang tengah berlangsung. Mendudukkan persoalan pada tempat yang semestinya berarti cerdas memilah dan memilih arah gerak ke depan. Dan andaikan PPS kemudian terhenti pada wilayah wacana, biarkanlah instrumen formal terkait yang menentukannya.  

PPS bukanlah sebentuk keyakinan dogmatik, iya. Bukan pula keberjadian yang dipaksakan, benar. Namun juga tidak bijak ketika dugaan (bahkan keterbuktian) penyimpangan dana hibah menjadikan kita semua kembali mementahkan skenario alur. Maka adanya opini seperti yang disampaikan saudara Pahlevi Putra patut disayangkan. Dalam pandangan penulis, opini tersebut selain kadaluarsa administratif juga mengalami kedangkalan interpretatif. Bahwa ruang wacana di tingkat masyarakat NTB telah selesai, begitulah ketentuan normatif berkata. Biarlah pemerintah pusat yang menilai, pasca (andaikan) kasus penyimpangan dana hibah ini terbukti, PPS laik tidak menjadi provinsi tersendiri. 

Arifuddin Hamid 
Mahasiswa Tingkat Akhir Fakultas Hukum UI, Kelahiran NTB 
Pernah dimuat di opini harian Suara NTB, edisi Jum’at, 17 Februari 2012.