Rupa-rupanya komitmen pemerintah pusat untuk melakukan percepatan pembangunan infrastruktur mulai mengalami desersi internal. Data Kementerian Dalam Negeri (2016) menyebutkan bahwa realisasi anggaran di kuartal pertama tahun 2016 ini hanya mencapai 8,3 persen untuk provinsi dan 8 persen untuk kabupaten/kota. Dalam data yang lain, Kementerian Keuangan (2016) menyampaikan angka yang berbeda, yakni realisasi agregat belanja modal hingga akhir Maret 2016 hanya Rp1,15 triiun dari pagu Rp199,26 triliun (0,58 persen). Angka realisasi ini tentu saja tidaklah menggembirakan sebab meleset jauh dari realisasi minimal, apalagi ideal. Persimpangan kinerja antarsatuan pemerintahan ini sepertinya menjelaskan realitas endemik siklus anggaran kita yang tidak disiplin, tidak terarah, dan pada ujungnya kejar setoran.  

Sebagai ujung tombak pembangunan, kinerja daerah menentukan kinerja pembangunan nasional. Maka itu, pemerintah pusat sampai perlu menegaskan urgensitas pembangunan daerah ini dalam prinsip “memajukan Indonesia dari pinggiran.” Prinsip ini bukanlah bualan kebijakan belaka, melainkan bentuk komitmen untuk menguatkan fundamental hakiki perekonomian negara. Membangun daerah adalah membangun Indonesia, sebab kenyataannya sebagian besar penduduk negara ini adalah masyarakat daerah. Selain itu, sumber kekayaan alam negara berlokus di daerah. Karena itu, komitmen pemerintah pusat ini adalah manifes adanya struktur insentif untuk mencapai pembangunan yang berdaya saing. 

Pemerintah pusat menyadari betul bahwa ketimpangan pembangunan yang terjadi selama ini adalah pangkal pokok rendahnya kinerja perekonomian nasional. Sebagai contoh, ciri khas ekonomi kita yang masih sangat bergantung pada sumber daya alam ekstraktif dan buruh murah adalah faktorial penjelas mengapa kita selalu kalah jika dibandingkan dengan tetangga sekawasan. Determinasi ekonomi yang terus saja terjadi ini adalah implikasi dari kebijakan sentralistik yang kerap meminggirkan peningkatan kapasitas dan daya saing daerah. Karena itu, kebijakan surplus pendanaan adalah keniscayaan yang ditempuh guna akselerasi kinerja daerah. Tidaklah mengherankan pula jika preferensi infrastruktur adalah pilihan logis untuk mendorong percepatan kinerja pembangunan.  

Bencana Fiskal 

Secara aktual, desentralisasi pembangunan, baik yang berupa desentralisasi pemerintahan maupun fiskal diterjemahkan secara meluas melalui skema Pilkada langsung dan kucuran dana daerah (dana transfer dan dana desa). Kedua bentuk desentralisasi ini saling menyangga satu sama lain. Desentralisasi pemerintahan tanpa didukung desentralisasi fiskal hanya akan berujung pada anarki sebab kewenangan yang meluas tanpa ditopang logistik yang cukup, rentan menimbulkan gejolak politik. Sama juga halnya dengan desentralisasi fiskal yang minus desentralisasi pemerintahan hanya akan melahirkan pemerintahan tanpa insentif dan tidak produktif.  

Secara konseptual, postulat desentralisasi telah terwujud nyata di Indonesia, yang ditandai lahirnya beberapa payung hukum seperti UU 22/199 tentang Pemerintahan Daerah dan UU 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dalam perkembangan terakhir, komitmen desentralisasi semakin diperkuat dengan spesifikasi paket yuridis yakni UU 9/2015 selaku revisi terkini klausula pemerintahan daerah; UU 1/2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah sebagaimana diubah terakhir dengan UU 9/2015; UU 33/2004 yang mengatur perimbangan keuangan, serta kelahiran UU 6/2014 yang mengatur tentang Desa. Kesemua peraturan tersebut bermuara pada satu hal: penguatan prinsip desentralisasi. 

Namun lagi-lagi, kita masih terjebak pada komitmen semu, yakni canggih dalam konsep dan perencanaan tetapi lemah dalam pelaksanaan. Fakta rendahnya penyerapan anggaran tersebut menjadi indikasi minimnya kesadaran kita dalam menjalankan ritus ideal siklus pembangunan. Repetisi pola ini pada akhirnya berdampak pada jebakan fiskal berupa surplus pendanaan dan defisit pembangunan. Betapa tidak, anggaran yang dikucurkan ke daerah direncanakan akan sebesar Rp770,17 triliun pada tahun 2016 ini. Rencana anggaran ini menjadi soal ketika harus mengorbankan dua hal, yakni beban sosial dan fiskal sekaligus. Target kenaikan rasio pajak guna menutupi beban belanja pembangunan berimplikasi langsung pada merosotnya kesejahteraan sosial dan ekonomi. Sementara di sisi lain, komitmen fiskal ini mesti ditutupi dengan utang luar negeri. 

Belum berhenti disitu, pemerintah bahkan sampai berani mengambil kebijakan berisiko tinggi, yakni skema pengampunan pajak (tax amnesty) yang jelas-jelas memunggungi nalar penegakan hukum. Langkah yang dianggap kontroversial ini semata diambil untuk memenuhi dana pembangunan, terutama dana infrastruktur, yang masih jauh dari cukup. Inovasi pembiayaan infrastruktur ini masih juga harus mempertaruhkan masa depan aset negara melalui skema penjaminan pemerintah pusat atas pinjaman langsung lembaga keuangan internasional kepada badan usaha milik negara (Perpres 82/2015). Jadi jelaslah pemerintah pusat tidak sekadar membual ketika mendeklarasikan kebijakan afirmasi infrastruktur sejak masa-masa awal pemerintahannya. Maka sudah sepatutnya komitmen ini perlu didukung oleh semua pihak, terutama sekali pemerintah daerah yang menjadi eksekutor berbagai proyek infrastruktur yang dicanangkan. 

Karena itu pula, pengawasan atas kinerja pemerintah daerah menjadi sangatlah penting dan mendesak. Apalagi komitmen pembangunan infrastruktur fisik yang dicanangkan pemerintah memang sangat rawan penyimpangan. Ben Olken (2005) dalam tulisan bertajuk “Monitoring Corruption: Evidence from A Field Experiment in Indonesia” menemukan bahwa uang negara yang dikeluarkan dalam pendanaan jalan raya di Indonesia bukanlah angka aktual, melainkan terbebani biaya implisit yang terkategori koruptif. Dalam praktiknya, perampokan uang negara ini bermodus pengurangan kuantitas material. Dampaknya adalah kualitas infrastruktur menjadi sangat rendah. Secara kumulatif, hal ini akan berimbas langsung pada pembengkakan anggaran pembangunan, sebab selain alokasi biaya perawatannya, setiap tahun jalan yang sama akan kembali diperbaiki.  

Oleh karena demikian, fakta rendahnya realisasi anggaran di triwulan pertama tersebut adalah peringatan yang aktual atas persimpangan komitmen dan konsistensi pelaksanaan pembangunan antarsatuan pemerintahan. Tantangan dan kendala utamanya terletak di pemerintah daerah, apakah bersedia melipat lengan baju dan berkeringat mengejar berbagai ketertinggalan yang ada, atau menjadikan langkah afirmasi pusat ini sebagai lahan bancakan belaka? Kalau ternyata semangatnya adalah aji mumpung, maka jangan heran jika desentralisasi memang postulat yang tepat untuk melahirkan perilaku koruptif. Dan kalau sudah begini, lagi-lagi, kebijakan fiskal prioritas ini hanya berakhir sebagai bencana fiskal.*** 

Arifuddin Hamid 
Mahasiswa Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia 
Dimuat Suara NTB, 20 Juli 2016