Wacana pembubaran Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menjadi sebentuk gagasan kontradiktif di awal tahun 2016 ini. Selepas daya pijak kelembagaannya yang semakin kuat pasca Putusan Mahkamah Konstitusi bernomor 79/PUU-XII/2014, wacana ini patut dipertanyakan pijak yuridis dan fakta empirisnya. 

Kontradiksi

Uji materi UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) oleh DPD menjadi titik kulminasi gagapnya sistematik kelembagaan parlemen. Uji materi ini menjadi penting sebab memotret dinamika dan manifestasi diskriminasi kelembagaan pembentukan legislasi. Bahwa sebenarnya dengan terbitnya Putusan MK tahun 2013 lalu yang memberikan fungsi dan peran yang setara pada tiga lembaga negara: Presiden, DPR, dan DPD sampai pada pembahasan RUU, masih banyak alasan logis lainnya mendukung sikap yang diambil DPD ini. Dalam rumusan yang tegas dan eksplisit, MK telah memerintahkan kepada DPR dan pemerintah melibatkan DPD sebagai kesatuan sistemik pembentuk legislasi.

Menurut penulis, lahirnya putusan MK tersebut menjadi jawaban atas praktik legislasi selama ini yang tidak optimal. Fakta legislasi ini beraras pada dua persoalan mendasar yakni dalam tahapan proses maupun hasil/keluarannya. Dari segi proses, capaian realisasi pengesahan RUU sepanjang periode legislasi 2009-2014 masih sangat memprihatinkan. Apabila dirinci per tahun, realisasi tidak pernah lebih dari 35 persen, bahkan pada tahun 2010, realisasinya hanya sebesar 11.4 persen. Sementara dari sisi hasil/keluarannya, sepanjang tahun 2003-3013 MK telah mengabulkan permohonan pengujian UU sebanyak 167 UU dari 503 yang diujikan. Dengan demikian, sepanjang satu dasawarsa tersebut, sebesar 33% UU produk DPR dan pemerintah telah dinyatakan batal dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Oleh karenanya, membonsai peran DPD dalam pembentukan Prolegnas sama artinya dengan melumpuhkan, selain pembentukan UU itu sendiri, juga nalar kedaulatan yang telah dijamin konstitusi. Dalam UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPU) tegas dinyatakan bahwa perencanaan penyusunan undang-undang dilakukan dalam Prolegnas (Pasal 16). Dalam ketentuan Pasal 18 UU PPU bahkan dirumuskan lebih lanjut bahwa Prolegnas didasarkan pada perintah konstitusi, sistemik perencanaan pembangunan, dan aspirasi masyarakat. Oleh karenanya, kuasa legislasi tanpa keterlibatan dalam Prolegnas sama artinya memberi arah tanpa disertai tanda penunjuk.

Apabila mencermati fakta pembentukan legislasi kurun 2009-2014, sebagian besar RUU yang disahkan adalah RUU yang memang dirumuskan dalam Prolegnas. Hal ini juga yang menjadi ironi, bahwa dengan capaian yang sangat rendah, persoalannya justru jauh lebih mendasar. Perlu diketahui bahwa Prolegnas tidaklah muncul dari ruang hampa, melainkan kanalisasi pilihan aspirasi dari berbagai kemungkinan politik yang berkembang. Wacana krusial ke depan seharusnya diarahkan pada apa dan bagaimana Prolegnas ideal, bukan menabung masalah dan dijadikan RUU. Persis dalam konteks inilah kepentingan DPD yang paling pokok, yakni menjaga aspirasi rakyat daerah terkanalisasi realistik dan tepat arah. 

Dalam konteks relasi lembaga, DPR dan DPD dapat menjadi mitra konstruktif sehingga pilihan politik berkualitas terbaik. Konteks kesamaan posisi dan peran pada proses pembahasan mengartikan kewenangan DPR dan DPD sama dan sejajar. Termasuk dalam hal ini menyusun Prolegnas, DPD memiliki hak konstitusional melekat mengajukan aspirasi daerah dalam lokus yang digariskan konstitusi. Sebagai lembaga pewakil daerah (regional representation), banyak persoalan-persoalan daerah yang perlu dirumuskan dan ditentukan pengaturannya dalam bentuk UU, apalagi DPD telah melakukan pemetaan masalah dan membuat kajian akademik terkait kebutuhan daerah. Dengan demikian, agar aspirasi ini menjadi kebijakan legal-formal, perlu adanya keterlibatan DPD dalam tahapan penyusunan UU, dalam hal ini adalah penyusunan daftar UU prioritas yang akan dibahas, baik prioritas jangka waku lima tahunan, maupun prioritas tahunan.

Dalam berbagai studi terkini jamak dipahami peranan DPD atau senat di negara lain adalah dalam upaya peningkatan kualitas legislasi. Bahkan demikian, terhadap berbagai kekhawatiran adanya inefektivitas dan nirproduktivitas pembentukan UU juga telah mendapat banyak bantahan dalam kenyataan empirik di berbagai negara. Di Argentina misalnya, dalam kajian yang dilakukan Aleman dan Calvo (2006) berjudul “Analyzing Legislative Success in Latin Amerika: The Case of Democratic Argentina,” mengukur kesuksesan parlemen bikameral terletak pada dua indikator. Pertama adalah keberhasilan legislasi yang mengacu pada tingkat laju persetujuan legislasi yang diajukan oleh aktor politik (presiden, deputi, maupun senat). Kedua adalah produktivitas legislasi yang mengacu pada jumlah RUU yang ditetapkan sebagai UU.

Dalam temuan studi tersebut, tidak ada relevansi antara struktur parlemen bikameral dengan kegagalan legislasi. Tingkat laju persetujuan RUU tertentu tampak tidak dipengaruhi oleh bobot dukungan pendukung presiden di kongres. Bahkan studi ini juga menyimpulkan bahwa RUU yang diajukan oleh senator, para anggota senior, dan pejabat komite besar kemungkinan untuk disetujui. Di Jerman, terdapat mekanisme resolusi konflik untuk menghindari sekiranya terjadi kebuntuan yakni melalui pelembagaan pertemuan dan komite permufakatan (conciliation committee). Secara empiris, institusi tersebut sangatlah efektif dalam memecahkan berbagai konflik bikameral dan menghindarkan kebuntuan (Fortunato, dkk, Government Agenda Setting and Bicameral Conflict Resolution, 2013).

Pada sisi lain, perjuangan konstitusional DPD yang berwujud lahirnya Putusan MK tersebut adalah bentuk komitmen menjaga martabat parlemen. Fakta banyaknya UU yang dibatalkan MK juga berimbas pada kelembagaan DPD sebagai satu-kesatuan lembaga parlemen dengan DPR. Ketentuan UU MD3 tersebut (bahkan) secara langsung menafikan fungsi dan peran DPD membentuk UU yang responsif dan aspiratif. Padahal peran aktif DPD dalam pembentukan legislasi sebenarnya suatu praktik lazim dan wajar dalam kehidupan berdemokrasi. Apabila mendasarkan pada praktik di negara yang berbentuk kesatuan dan memiliki struktur kelembagaan senat yang relatif mirip: asimetris dan inkongruen (Baumgartner, dkk, Legislative Productivity and Divided Government in the US and France, 2011), Perancis telah sejak lama menerapkan pola proaktif di antara kedua institusi parlemennya. Bahkan yang jauh lebih maju, senat Perancis tidak hanya berhak mengajukan RUU, namun juga sampai pada tahap persetujuan RUU: melalui persetujuan di antara dua lembaga perlemen; pembentukan komite bersama sebagai wujud kompromi; ataupun melalui voting oleh majelis nasional sebagai langkah terakhir (Tsebelis dan Money, 1995). 

Oleh karena demikian, selain merupakan keharusan konstitusional sebagaimana diperintahkan MK, peran proaktif DPD dalam penyusunan Prolegnas adalah wujud ikhtiar merawat demokrasi. Dengan kata lain, wacana pembubaran DPD gagal menemukan nalar akademisnya.

Arifuddin Hamid
Mahasiswa MPKP FEB UI dan Alumnus FH UI; Peneliti di Partnership for Strategic Initiatives
Suara Karya, 18 Maret 2016