Rupa-rupanya pemerintah masih sangat mengedepankan logika represif dalam menyikapi aksi terorisme. Dalam draf revisi atas UU 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (selanjutnya disebut RUU Terorisme), perhatian pemerintah terhadap langkah pencegahan yang terpadu, sistemik, dan berkelanjutan belum kelihatan secara utuh dan nyata. Hal ini terlihat jelas dari langkah pemberantasan yang masih sangat berparadigma institusionalistik. Ketentuan RUU belum menempatkan masyarakat sipil sebagai bagian integral dari upaya besar dan bersama dalam memberantas terorisme. Pemerintah masih saja terlampau yakin aparatnya mampu menyelesaikan berbagai kompleksitas aksi teror ini secara internal tanpa melibatkan masyarakat di dalamnya. Logika ini terlihat jelas dalam klausula Pasal 43b RUU yang menyerahkan tugas besar kemanusiaan ini pada institusi Polri, TNI, dan instansi pemerintah terkait dalam payung koordinasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Padahal kalau hendak menelisik lebih mendalam, tindakan teror bukanlah peristiwa yang lokalistik dan berdiri sendiri, melainkan bersifat relasional, interdependen, serta lintas negara. Apa yang terjadi di belahan dunia lain memiliki pengaruh, bahkan menimbulkan justifikasi pembenar bagi tindakan teror. Fakta empirik inilah yang aktual terjadi, bahwasanya pelaku teror di satu negara kerap menasbihkan tindakannya sebagai jalan suci demi kemurnian ideologi yang dianutnya. Yang jauh memilukan, penggodokan dan pengembangbiakan ide radikal ini terjadi dalam wahana yang sama sekali tidak kita bayangkan sebelumnya: internet. Pola transfer ide ini terjadi secara acak, tidak terkoordinasi, namun sasarannya memiliki probabilitas yang tinggi. Bagi Indonesia, tentu saja ini menjadi ancaman yang nyata, terutama dengan sasaran remaja sebagai kelompok masyarakat yang potensial menjadi radikal. 

Kebijakan proteksi internet melalui penyaringan situs radikal sejatinya upaya yang perlu didukung dan dilanjutkan. Namun mengandalkan upaya ini tanpa kemudian melakukan tindakan penyadaran secara berkesinambungan hanya akan menjadi langkah sia-sia belaka. Hal ini sangat beralasan sebab teknologi selamanya tidak dapat diproteksi. Teknologi selalu menemukan celahnya sendiri yang selalu saja lambat direspon oleh otoritas. Ketika satu situs radikal diblokir, maka kalaupun tidak muncul situs yang lainnya, akan ada piranti lunak atau trik tertentu untuk menembus proteksi yang dilakukan itu. Oleh karena demikian, langkah proteksi ini semestinya bukanlah langkah terakhir yang diupayakan, namun langkah awal untuk meminimalisir dampak tersebar dari gagasan radikal yang berseliweran di belantara maya. 

Upaya deradikalisasi yang sebenarnya berada pada langkah penyadaran berkesinambungan kepada warga masyarakat oleh komponen masyarakat sipil sendiri. Berbagai lembaga yang disebutkan dalam ketentuan Pasal 43b RUU itu adalah penegak hukum yang memang tugasnya menjamin tegaknya ketertiban, tetapi bukan penjamin tidak adanya kekacauan. Artinya, preferensi tugas lembaga-lembaga ini memang ditujukan untuk upaya represif. Keliru pikir jika menyatakan bahwa langkah deteksi oleh Badan Intelijen Negara (BIN), misalnya, sebagai aksi pencegahan (preventif). Yang paling mungkin didapatkan oleh BIN adalah informasi tentang akan atau telah adanya indikasi perbuatan teror sehingga untuk memastikan itu tidak berekskalasi menjadi tindakan teror aktual, BIN menyerahkan hasil temuannya kepada penegak hukum untuk ditindaklanjuti.  

Logika inilah yang pada ujungnya tidak pernah tuntas memutus ritus terorisme. Negara baru hadir ketika embrio tindakan teror telah muncul, namun negara tidak dapat mengupayakan embrio ini tidak muncul. Maka pertanyaannya: bagaimana agar tidak sampai ada gelagat teror? Disinilah peran dari masyarakat sipil, sekaligus jawaban atas kegagalan deterministik dan niscaya dari pendekatan institusionalistik. Sudah semestinya koordinasi dan kerjasama holistik dengan masyarakat sipil ditegakkan lebih serius dan sistematik. Dengan begitu, kebijakan deradikalisasi yang selama ini dijalankan BNPT tidak sekadar berbentuk seminar atau diskusi publik, namun pola berkesinambungan mencegah berkembangnya ideologi radikal. Kita semua mahfum bahwa salah satu sumber aksi teror adalah ideologi. Semakin radikal ideologi yang didapatnya, maka akan semakin nekat calon pelaku teror tersebut, demikian juga sebaliknya. Persis dengan nalar inilah, kerjasama bahkan penempatan masyarakat sipil sebagai garda depan (front liner) pemberantasan terorisme adalah rasionalitas yang tidak saja efektif, tetapi juga efisien bagi keuangan negara.   

Agen Deradikalisasi 

Sudah semestinya pemerintah menggandeng kelompok masyarakat sipil sebagai agen deradikalisasi. Pemerintah harus melakukan pendataan organisasi masyarakat yang potensial untuk diajak kerjasama dan memberikan keleluasan metode dan praktik deradikalisasi sesuai dengan pengalaman mereka. Organisasi seperti Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, Sarikat Islam, Persatuan Islam (Persis), atau Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) sebagai lembaga sipil yang telah mengakar perlu dilibatkan secara integral dan utuh dalam disain besar pemberantasan terorisme, bukan semata menjadikan mereka mitra ketika hajatan seminar hendak dilakukan. Begitu juga dengan berbagai organisasi yang berbentuk kelompok pengajian atau majelis agama, akan jauh lebih efektif jika materi deradikalisasi disampaikan ketika kegiatan dakwah tersebut dijalankan. Tugas pemerintah adalah melakukan koordinasi secara berkala dan berkesinambungan dengan berbagai organisasi sipil yang ada, sembari terus memperkuat komitmen kebangsaan, demokrasi, dan perdamaian. 

Indikator keberhasilan memberantas terorisme tentu saja bukan terletak pada kuantitas pelaku teror yang tertangkap, namun pada nihilnya perbuatan teror yang terjadi. Pelaku teror adalah juga warga negara. Jika rantai radikalitas ini menyebar, maka akan semakin warga negara lainnya yang menjadi pelaku teror. Radikalitas kolektif adalah bom waktu yang akan menjadi bencana besar kemanusiaan. Karena itu, kebijakan deradikalisasi harusnya bukan sekadar seremoni transmisi ide di ruang-ruang seminar, namun upaya kultural yang mentrasmisikan ide perdamaian di ruang keseharian publik. Lagi-lagi pemerintah memang tidak mampu menjangkau lokus ini. Di titik ini pulalah peran deradikalisasi jauh lebih efektif dilakukan oleh masyarakat sipil yang memang berciri kultural. Biarkanlah dengan caranya, entah melalui diskusi ringan di depan beranda, pos jaga, atau bahkan dalam sarasehan komunitas, gagasan antiradikalisme itu tersemai. 

Dengan demikian, revisi UU 15/2003 adalah momentum untuk melakukan reorientasi dan penajaman prinsip pemberantasan terorisme melalui pembentukan payung hukum yang lebih konkrit dan aplikatif. Jangan lagi undang-undang hanya berhenti pada rumusan normatif belaka yang masih harus perlu ditajamkan lagi pada peraturan perundang-undangan di bawahnya. Karena itu, pemerintah perlu merevisi draf undang-undang revisi yang diajukannya kepada DPR dengan cara memasukkan poin-poin kebijakan deradikalisasi dalam bahasa yang lugas, jelas, dan mekanistik. Kita menunggu komitmen dan gebrakan pemerintah dalam menegakkan perdamaian di bumi pertiwi.***

Arifuddin Hamid
Peneliti Partnership for Strategic Initiatives, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Indonesia

Opini dimuat Harian Koran Jakarta, 9 Juli 2016