Pembentukan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) memunculkan banyak pertanyaan, akan bagaimana pengelolaan BUMN ke depan? Apakah akan terbentuk superholding, yang menjadi induk dari semua BUMN di Indonesia? Lalu bagaimana relasi kelembagaan Danantara dengan BUMN? Barangkali itulah beberapa pertanyaan publik yang masih rancu dengan pembentukan Danantara, sementara Kementerian BUMN tidak dilikuidasi. Kedua otoritas pengelola BUMN ini, selain kementerian keuangan, bersilang jalur dalam menyikapi ide korporatisasi perusahaan negara. 

Korporatisasi 

Pembentukan superholding sejatinya bukanlah hal baru dalam menata kelembagaan BUMN. Wacana ini telah muncul sejak lama, bahkan dulu digaungkan jargon Indonesia.inc. Ini menandaskan BUMN adalah perusahaan negara yang berdimensi korporatik, yang menginduk pada korporasi raksasa. Namun yang berbeda dengan Danantara sekarang, Indonesia.inc meniscayakan likuidasi Kementerian BUMN. Transformasi radikal pengelolaan BUMN yang sama sekali terlepas dari cara pandang birokratis. Bahkan, gagasan ini berdimensi privat, BUMN tidak lagi tunduk pada hukum publik, baik strategi pengelolaan maupun pertanggungan jawabnya. 

Sejatinya pendekatan superholding ini telah dijalankan, meski hanya terbatas pada klusterisasi BUMN. Pemilahan BUMN berdasarkan bisnis intinya, kemudian digabungkan pada induk perusahaan (holding) punya logika yang sama dengan ide Danantara ini. Namun Danantara menempuh jalur lebih radikal, yakni menggabungkan semua BUMN di Indonesia yang menginduk pada BUMN Raksasa. Jika logika ini merujuk pada Ketentuan UU BUMN (UU 19/2003), hanya ada satu BUMN di Indonesia, yaitu Danantara. Selebihnya adalah anak perusahaan BUMN, yang secara legal tidak lagi berkategori BUMN. Jika benar Danantara tidak saja sebatas pengelola aset, namun menjadi pengelola investasi, lembaga ini menjadi super kuat. 

Sesuatu yang terlampau kuat tentu saja tidak baik. Ini justru akan memunculkan celah lain bagi penyalahgunaan (moral hazard). Ada banyak bukti historis     membuktikan asumsi ini. Korupsi Pertamina, misalnya, pada tahun 1975 Pertamina memiliki utang jangka pendek sejumlah US$ 10,5 miliar. Jumlah ini jauh melebihi kemampuan keuangan negara pada saat itu, yang hanya sejumlah US$ 6 miliar, atau cadangan devisa yang hanya US$ 400 juta. Ini diakibatkan oleh salah kelola dan minim pengawasan. Pertamina sudah seperti negara dalam negara, nyaris membuat negara bangkrut. 

Dengan kewenangan yang akan dimilikinya, yakni melakukan investasi, reinvestasi, atau kerjasama dengan pihak lainnya, Danantara punya risiko tinggi untuk menjadi beban keuangan negara. Hal ini tidak terlepas dari karakteristik dasar BUMN yang bergerak dalam ekonomi arus utama dan menyediakan barang serta jasa bagi kebutuhan dasar rakyat. Dalam kondisi terburuk, persoalan di BUMN akan berdampak nyata bagi perekonomian negara, membatasi produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. BUMN justru hanya akan menjadi beban negara (Anja Baum, dkk, Managing Fiscal Risks from State-Owned Enterprises, 2020). 

Payung Hukum 

Mengalihkan peran operasional BUMN dari kementerian negara menjadi organ khusus seperti Danantara memerlukan dasar hukum yang kuat. Ini adalah prasyarat mendasar agar lembaga baru ini dapat bergerak dengan lincah. BUMN adalah perusahaan yang berdimensi publik, risiko operasionalnya berpijak pada hukum publik. Hal ini ditegaskan dalam ketentuan Pasal 71 ayat (2) UU 19/2003 (UU BUMN), BPK berwenang melakukan pemeriksaan terhadap BUMN. Sebab, keuangan BUMN adalah keuangan negara (Pasal 2 huruf g UU 17/2003). 

Oleh karena itu, klausula ini, selain tidak memberikan peluang tafsir, juga dengan sangat terang menusuk jantung pertahanan konsepsi aset negara yang selama ini diyakini. Bahwa sebagai manifes kedaulatan rakyat, segala sesuatu kebijakan perihal BUMN mestilah mendapatkan persetujuan dari dewan perwakilan rakyat (DPR). Kebijakan ini kontroversial karena tafsir absah terkait kedudukan BUMN telah dilegalisasi oleh dua lembaga yustisi negara, yakni melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-XI/2013 dan Fatwa Mahkamah Agung Nomor 1863/K/Pid.Sus/2010. Kedua lembaga negara ini pada pokoknya menyatakan bahwa keuangan BUMN adalah keuangan negara. 

Maka jika pemerintah berkehendak mengalihkan penguasaan saham BUMN dalam sebuah superholding seperti Danantara, status kelembagaan BUMN telah bertransformasi menjadi perusahaan swasta, sebab negara tidak lagi menyertakan modalnya secara langsung (Pasal 1 angka 1 UU BUMN). Praktis yang berstatus sebagai BUMN hanyalah Danantara saja. Jika skenario ini terjadi, maka pilihan kebijakan paling mungkin adalah revisi peraturan hukum. Memijak pada regulasi yang sekarang adalah sebuah bentuk kefatalan berpikir. Bukannya BUMN yang diharapkan bergerak lincah, namun menyebar jaring kriminalisasi. 

Pilihan harus diambil. Merubah total status dan kelembagaan BUMN menjadi perusahaan swasta juga tidak menghapus risiko. Katakanlah, nantinya, pengaturan terhadap BUMN memiliki nomenklaturnya sendiri yang tunduk pada hukum privat. Dengan sendirinya BPK dan KPK tidak lagi memiliki kedudukan hukum untuk mengawasi dan mengaudit kinerja BUMN. Segala bentuk penilaian kinerja diawasi oleh komisaris perusahaan dan diaudit oleh akuntan publik. Bagaimana menjamin postulat ini akan mengurangi penyimpangan? Sementara di sisi lain, negara masih harus menanggung sebagian permodalan BUMN melalui skema penyertaan modal negara. 

Jikalau kebijakan swastanisasi ini dipandang menjadi obat mujarab bagi peningkatan kapasitas BUMN, maka kita perlu bersiap diri untuk menghadapi kekecewaan. Ujung dari privatisasi BUMN ini adalah kuasa klaim. Kuasa jenis ini sangat mudah terjebak disrupsi, yakni kegagalan sistemik dalam imajinya menggapai tujuan kebijakan. Disrupsi yang paling utama adalah pada aras kelembagaan BUMN. Klaim profesionalitas sebagai kunci membangun produktivitas perusahaan kadangkala juga mitos. Banyak fakta empirisnya. Jika direksi BUMN tidak tunduk pada hukum publik, maka potensi melakukan penyimpangan juga sama besarnya. 

Tidak ada postulat baku antara swastanisasi aset dengan penyehatan korporasi. Langkah ini hanya akan mengamputasi kepemilikan rakyat terhadap cabang produksi penting sebagaimana bunyi Pasal 33 ayat (2) UUD 1945. Jika memang komitmennya adalah memperkuat daya saing BUMN, maka cara terbaik adalah memperbaiki kelembagaan dan tata kelola BUMN itu sendiri dengan menegakkan prinsip korporasi yang sehat (good corporate governance) secara serius dan berkelanjutan.***

Arifuddin Hamid
Alumnus Fakultas Hukum UI. Menyelesaikan Magister Perencanaan Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan di FEB UI
Dimuat Kontan, 4 Desember 2024