Kedatangan Raja Salman ke Indonesia yang kabarnya akan melawat selama 9 hari (1-9 Maret 2017) perlu dijadikan momentum revitalisasi skema pendanaan infrastruktur yang mengedepankan pembiayaan syariah. Skema ini menjadi penting dikedepankan sebab faktanya sumber dana infrastruktur yang terhimpun masih jauh dari target. Dengan total anggaran sebesar Rp5000 triliun sampai 2019 kelak, segala potensi sumber pendanaan sudah semestinya dikejar, termasuk dalam hal ini potensi perbankan syariah.

Sinergi

Berdasarkan Laporan Tahunan Perbankan 2015, kinerja perbankan syariah pada tahun 2015 menunjukkan tren pertumbuhan yang konsisten. Meskipun kinerja perbankan syariah juga terkena dampak perlambatan pertumbuhan ekonomi, namun pertumbuhan aset, pembiayaan, dan dana pihak ketiga masing-masing meningkat sebesar 8,78 persen, 6,86 persen, dan 6,11 persen dibandingkan pada tahun 2014. Fakta ini menjelaskan prospek potensial bank syariah dalam menopang ekonomi nasional, terutama mendorong pembiayaan sektor infrastruktur yang sedang masifnya dicanangkan pemerintah.

Pertumbuhan sektor domestik ini baru menjelaskan sebagian potensi perbankan syariah, namun yang juga sangat prospektif adalah peluang perbankan syariah di Indonesia dalam menata kerjasama dengan perbankan serupa atau dengan asosiasinya di negara yang menerapkan prinsip syariah dalam industri perbankannya. Sebagai salah satu negara yang tergabung dalam Organisasi Kerjasama Islam (OKI), Indonesia harus mampu menginisiasi berbagai kepentingan nasionalnya dalam forum ini. Kerjasama yang ada sejatinya bersifat mutualistik sebab di satu sisi akan sangat menolong Indonesia yang sedang kesulitan likuiditas bagi pembiayaan infrastrukturnya, sementara bagi negara mitra syariahnya berpeluang untuk memperluas rentang penetrasi pasar syariah. Secara global, tren ini akan menimbulkan sentimen positif dan konfidensi industrial bagi bisnis syariah di masa depan.

Pertumbuhan aset perbankan syariah global juga menunjukkan tren menaik konsisten dan berkelanjutan. Standard&Poor’s dalam kajian bertajuk “Islamic Finance Outlook 2015” memprediksi aset yang dikelola perbankan syariah di seluruh dunia yang pada 2014 berjumlah USD1,8 triliun akan terus bertumbuh dua digit selama beberapa tahun ke depan sehingga total aset terkelolanya akan sampai USD3 triliun pada 2020. Optimisme yang sama juga disampaikan oleh Ernst&Young dalam laporannya bertajuk “World Islamic Banking Competitiveness Report 2016” yang meyakini industri ini akan terus bertumbuh. Untuk saat ini saja, jumlah nasabahnya telah mencapai 100 juta orang. Dengan potensi pasar yang besarnya enam kali dari yang ada sekarang, tidaklah mengherankan jika dekade mendatang jumlah nasabahnya akan bertambah menjadi 200 juta orang.   

Dalam rangka mempercepat dan memperluas pasar syariah ini, dibutuhkan sinergi supranasional yang preferensif pada pembangunan sektor strategis. Pada konteks inilah pembentukan bank infrastruktur syariah (Islamic Mega Infrastructure Bank) menjadi manifes pelembagaan komitmen ekonomi syariah. Pembentukan institusi yang fokus pada pembiayaan infrastruktur ini berimplikasi ganda, yakni memperkuat basis permodalan perbankan syariah domestik dan memperluas jangkauan pasar (market share). Persoalan klasik perbankan syariah kita adalah minimnya modal yang dimilikinya. Karena persoalan ini, bank syariah tidak mampu berekspansi sehingga berdampak pada rendahnya penguasaan pasar (nasabah). Dengan sinergi ini, bank syariah akan mampu mendapatkan sumber pendanaan yang lebih mudah dan terkoordinasi sehingga berdampak signifikan pada rentang keterjangkauan nasabahnya.

Bagi Indonesia, terbentuknya bank infrastruktur ini diharapkan dapat meringankan beban pembiayaan infrastruktur yang bernilai sangat besar. Dengan posisi sebagai inisiator dan pelaku penting dalam institusi ini, pemerintah dapat lebih optimal menemukan sumber pendanaan baru. Secara kelembagaan, institusi ini juga dipandang lebih kultural sebab didasari nilai keadaban dan preferensi ideologis yang serupa sehingga dapat menjadi katalisator bagi pembentukan kesepakatan kolektif yang solid. Posisi Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbanyak adalah nilai tambah yang penting bagi prioritas penggunaan dana institusi untuk pembiayaan infrastruktur domestik.

Pada lanskap yang lebih luas, perbankan syariah sesungguhnya tidak hanya mampu menopang pendanaan infrastruktur dan berperan penting dalam menjaga asa pertumbuhan ekonomi, namun juga mempertahankan stabilitas ekonomi nasional. Karena karakteristiknya yang berbasis pada pembagian risiko, aktivitas perbankan syariah lebih tertuju pada sektor riil ketimbang sektor keuangan konvensional sehingga berimplikasi pada fleksibilitasnya terhadap guncangan ekonomi, selain juga pertumbuhannya lebih inklusif. Maka tidaklah mengherankan jika perbankan syariah tidak hanya merangsang pertumbuhan, namun juga cenderung minim risiko, seperti misalnya pada fenomena ekonomi gelembung (Dridi dan Maher, 2011, The Effects of the Global Crisis on Islamic and Conventional Banks: A Comparative Study).    

Namun demikian, perbakan syariah juga tidak lepas dari risiko. Tantangan klasik terbesarnya berporos pada dua hal, yakni ketersediaan SDM berkualitas dan penetrasi teknologi. Dari sisi kualitas SDM, bank syariah perlu melakukan kerjasama kelembagaan dengan pihak institusi pendidikan tinggi untuk menjaring lulusan terbaik. Karena itu, lembaga perbankan harus melakukan sosialisasi dan perekrutan langsung secara berkala. Selain itu, bank syariah juga harus meningkatkan kegiatan pelatihan dan peningkatan kapasitas profesi. Hal paling mungkin dilakukan adalah membangun pusat-pusat pelatihan terpadu untuk menunjang profesionalitas pegawai. Dalam memastikan program ini berjalan tepat arah, perbankan syariah harus konsisten melakukan monitoring dan evaluasi guna merumuskan solusi dan alternatif terbaik bagi peningkatan modal manusia ini.

Dalam hal penajaman penetrasi teknologi, perbankan syariah harus berinvestasi banyak pada riset dan pengembangan. Secara empirik, pengembangan teknologi berperan sebagai katalisator bagi peningkatan produktivitas usaha. Pembangunan basis kreatif ini meniscayakan transformasi struktur ekonomi sehingga industri yang tidak berporos pada inovasi teknologi akan mengalami disrupsi. Pada era ekonomi digital ini, perbankan syariah harus mampu membekali dirinya dengan pelayanan dan manajemen berbasis teknologi demi menjaga preferensi dan loyalitas nasabah.***

Arifuddin Hamid
Tenaga Ahli di DPR RI, Mahasiswa Pascasarjana Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
Dimuat Harian Kontan, 1 Maret 2017 (tanpa edit)