Target pemerintahan Prabowo – Gibran untuk swasembada energi sebagaimana termaktub dalam 8 cita (astacita) menjadi suatu gagasan yang berani. Ide ini mencoba melakukan dekonstruksi, bahwa jargon ketahanan atau keamanan energi perlu dibongkar, dan mengarusutamakan aspek kemandirian. Dengan beragam kekayaannya, Indonesia harusnya mampu memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya, hingga akhirnya menopang pembangunan secara mandiri. Salah satu sumber energi yang bakal digenjot pemerintah adalah minyak bumi. Meski ambisi ini tidak mudah, namun sebagai sebuah tekad, pantas diberikan apresiasi.
Tidak Mudah
Masalah utamanya adalah terbatasnya sumber daya minyak, atau rumitnya mencari sumber minyak baru. Dalam catatan SKK Migas (2024), cadangan minyak terbukti sebesar 4,7 miliar barel. Atau jika mengacu pada data Kementerian ESDM, cadangan terbukti hanya sebesar 2,4 miliar barel. Jika dibandingkan dengan negara yang tergabung dalam OPEC, sumber daya minyak kita sangatlah minim. Venezuela, misalnya, masih menyimpan cadangan minyak terbukti sebesar 303,01 miliar barel, atau Nigeria yang punya 37,5 miliar barel. Dengan menghitung tren produksi, BPS RI memprediksi minyak Indonesia akan habis 18 tahun lagi. Bahkan Kementerian ESDM menilai minyak hanya akan bertahan selama 12 tahun lagi.
Deretan fakta ini meniscayakan upaya serius dan berkelanjutan dalam mencari sumur minyak baru. Jika mengandalkan pada kondisi yang ada, jelas ambisi pemerintah menjadi tidak empiris. Jangankan melakukan swasembada, memenuhi kebutuhan domestik saja menjadi perkara yang rumit, bahkan mustahil. Pada 2024, Indonesia hanya mampu memproduksi 580 ribu barel/hari, sementara konsumsi melonjak sebesar 1,6 juta barel/hari. Ada selisih nyaris 1 juta barel/hari, yang pasokannya dipenuhi dari importasi. Kian dilematis karena produksi minyak kita menurun secara periodik, turun 3,28 persen/tahun. Dengan target pertumbuhan ekonomi 8 persen/tahun, konsumsi minyak jelas akan kian besar. Sudah pasti defisit akan semakin melebar.
Dalam Laporan Kementerian ESDM (2024), kebutuhan devisa minyak sepanjang 2023 menembus angka Rp396 triliun. Bahkan, dalam kajian Reforminer Institute (2023), proyeksi kebutuhan devisa migas pada 2027 akan mencapai Rp1872,73 triliun, dan mencapai Rp2330,44 triliun pada 2032. Jumlah ini bahkan lebih dari separuh belanja APBN 2025 yang direncanakan sebesar Rp3621,3 triliun. Daya dukung minyak pada ekonomi negara tentunya sangat signifikan, minyak masih menjadi salah satu sumber utama dalam menopang pembangunan. Oleh karenanya, pemerintah dihadapkan pada dua tantangan sekaligus: intensifikasi dan diversifikasi energi. Keduanya bertumpu pada komitmen investasi.
Dengan kondisi aktual yang ada, target swasembada energi tentu akan sebatas imaji. Dari semua skenario dan proyeksi, terbukti daya tahan minyak kita sangat rapuh. Prasyarat utama hanya bertumpu pada investasi, baik berupa pencarian sumber minyak baru, maupun menambah daftar sumber energi. Minyak, meski menjadi sumber energi utama, belumlah cukup menopang kebutuhan total energi nasional. kedua bentuk investasi ini mesti dijalankan bersamaan, tentu dengan tetap menjaga prinsip prudensialitas.
SKK Migas (2023) dalam laporan bertajuk “Mendorong Investasi untuk Eksplorasi yang Masif dan Peningkatan Produksi,” menyebutkan realisasi investasi pada 2023 mencapai US$ 13,7 miliar atau setara Rp 211,2 triliun. Ini menjadi investasi terbesar dalam delapan tahun terakhir, meningkat 13 persen ketimbang 2022 (US$ 12,1 miliar), atau naik 25 persen dibandingkan 2021 (US$ 10,9 miliar). Namun paradoks muncul: kenaikan investasi tidak sejalan dengan peningkatan produksi. Lifting minyak cenderung menurun, dari 660,3 ribu barel/hari (2021), turun menjadi 612,3 ribu barel/hari (2022), dan 605,5 ribu barel/hari (2023).
Paradoks investasi minyak ini tentu menyelip banyak tanda tanya. Porsi terbesar investasi selama tiga tahun terakhir digunakan untuk kegiatan produksi dan sumur pengembangan, berkisar pada angka 88 persen. Jika melihat dari sisi kontribusi pelaku industri hulu migas, Pertamina masih menjadi kontributor terbesar. Dalam laporan tahunannya, Pertamina mampu memproduksi minyak sebesar 566 ribu barel/hari (68 persen) dari total kapasitas produksi nasional pada 2023. Tidak jauh berbeda pada tahun 2022 yang mencapai 514 ribu barel/hari, dan 445 ribu barel/hari pada 2021.
Banyak riset yang menyatakan bahwa prasyarat peningkatan produksi adalah eksplorasi yang masif. Jika eksplorasi menilai ada kelaikan potensi minyak, maka produksi dapat dilakukan. Dampaknya produksi minyak meningkat. Ini tentu postulat baku dan logis dalam struktur industri migas yang sangat kompleks. Masalahnya kian rumit karena banyak sumur minyak di Indonesia yang sudah berupa sumur tua, tentu produktitasnya menurun. Sementara untuk menemukan sumur baru membutuhkan biaya mahal, banyak area potensi minyak yang berada di laut dalam. Dalam konteks inilah insentif investasi menjadi penting.
Perlu Insentif
Menurut Fraser Institute (2023), iklim investasi hulu migas Indonesia hanya menempati peringkat ke-56 dari 86 negara yang disurvei. Faktor yang dinilai berupa beban regulasi, perpajakan, dan kualitas infrastruktur. Menurut penulis, variabel dalam survei ini relevan dengan kondisi di Indonesia. Dari sisi beban regulasi, salah satu hambatan terbesar industri migas adalah hukum yang tidak berkepastian. SKK Migas, misalnya, sebagai regulator di bidang hulu migas, landasan hukumnya masih berupa Peraturan Presiden 9/2013. Jika payung hukumnya hanya sekadar peraturan presiden, maka pergantian presiden potensial mengubah ketentuan hukum yang ada. Padahal, kontrak migas bersifat jangka panjang dan meniscayakan stabilitas.
Ketidakjelasan revisi UU Migas menjadi beban regulasi yang menghambat iklim investasi. Kita butuh investasi dari pelaku industri global agar potensi migas dapat dimanfaatkan. Mengandalkan sumber investasi dari pelaku usaha domestik rasanya belum cukup mengingat struktur geologis sumber migas kita yang terlampau rumit. Kecakapan teknologi dan sumber daya kita masih terbatas, selain permodalan nasional yang minim. Masalah lain karena rezim fiskal migas kita yang tumpang tindih. Pemerintah, melalui Permen ESDM 8/2017 memberlakukan skema gross split, praktis meniadakan skema cost recovery yang selama ini berjalan.
Dalam kajian proyeksi yang dilakukan penulis (2018), skema gross split ini memang menjadi pilihan kebijakan yang lebih tidak beresiko bagi pemerintah. Skema cost recovery termasuk ke dalam sumber resiko penerimaan negara, yakni realisasi penerimaan negara berbeda dengan apa yang direncanakan (Wijaya dan Mokoginta, 2014). Menurut Brixi dan Modi (2002), cost recovery memunculkan kewajiban pemerintah yang langsung dan eksplisit (direct explicit liabilities). Namun ternyata, industri migas terlampau rumit jika mengandalkan perspektif parsial. Dengan struktur geologi dan daya tawar industri migas kita yang rapuh, pilihan kebijakan menjadi terbatas. Kita sepertinya harus mulai bersikap realistis.
Arifuddin Hamid
Direktur Eksekutif Prolog Initiatives. Alumnus Magister Perencanaan Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan, FEB UI.
Dimuat Katadata, 4 April 2025.