Kementerian Investasi dan Hilirisasi/ BKPM merilis laporan menyejukkan di tengah dinamika politik yang menghangat sepanjang tahun. Serapan investasi pada kuartal III 2024 mencapai Rp431,4 triliun, tumbuh 15,2 persen dibandingkan kuartal yang sama tahun 2023. Investasi barangkali dapat menjadi penggerak produktif sektor ekonomi. Pertumbuhan investasi di kuartal ketiga tahun ini masih melaju 0,71 persen ketimbang kuartal kedua. Hal ini menyelip asa bagi penguatan fundamental ekonomi Indonesia. Meski politik bergolak, namun iklim bisnis tetap kondusif. Kepercayaan investor masih cukup terjaga. 

Sederet prestasi kelembagaan investasi ini pantas diapresiasi. Selain sepanjang Januari – September 2024 mampu merealisasikan pertumbuhan yang ekual, yakni serapan investasi dominan di luar Jawa dengan proporsi 50,34 persen, proporsi investasi domestik juga tidak beda jauh dengan investasi asing. Capaian ini juga menyuguhkan setitik optimisme bahwa Indonesia dipandang sebagai salah satu negara dengan kondisi investasi yang prospektif, selain kinerja pelaku usaha domestik yang semakin kompetitif. Di tengah ketidakpastian geopolitik dan lesunya perekonomian global, kabar baik ini mengerek kepercayaan diri pemerintah. 

Secara sektoral, Indonesia juga pantas disebut mendapatkan berkah investasi. Sepanjang dua tahun terakhir, investasi banyak teralokasi di sektor manufaktur: 41,2 persen pada 2022 dan 42,1 persen pada 2023. Hal ini menunjukkan terjadi pergeseran alokatif dari sektor padat modal dan berteknologi tinggi menuju sektor padat karya yang diharapkan menyerap banyak tenaga kerja. Di sisi lain, dengan alokasi investasi domestik yang mengarah pada sektor tersier (jasa) sepanjang 2020-2024, investor domestik kian kompetitif dengan bertumpu pada kecanggihan teknologi. 

Karena itu, meski secara kumulatif sektor jasa masih memberikan kontribusi investasi terbesar, namun proporsi sektor manufaktur terus tumbuh. Tren ini tentu dapat menjelaskan mengapa serapan investasi di Indonesia masih berdimensi kerakyatan: bertumbuh 19,23 persen pada 2021, 52,7 persen (2022), dan 14,12 persen (2023). Hal ini terlihat dari penyerapan tenaga kerja yang mengesankan di kuartal III 2024, yakni tumbuh sebesar 25,88 persen dibandingkan kuartal III tahun lalu. Secara kumulatif tahunan, serapan tenaga kerja juga membaik, tumbuh 4,45 persen pada 2021, 8,03 persen pada 2022, dan melonjak 39,73 persen pada 2023. 

Tantangan 

Investasi asing dapat menjadi rujukan daya saing sebuah negara, karena ini berdampak nyata pada diversifikasi ekspor, ketersediaan lapangan kerja, dan keberlanjutan lingkungan. Meskipun ini juga dipengaruhi oleh kualitas infrastruktur dan modal manusia. (Komaliddin, dkk, 2023). Secara faktual, jika merujuk pada peringkat daya saing global (World Competitiveness Report, 2024), peringkat Indonesia menunjukkan perbaikan yang simultan. Dari peringkat ke-44 pada 2022, naik menjadi 34 (2023), dan semakin membaik di urutan ke-27 pada 2024. 

Secara lebih spesifik, peringkat Indonesia untuk beberapa indikator daya saing lainnya cukup positif. Efisiensi berusaha berada di peringkat ke-14, unggul jauh ketimbang Brazil (61), Meksiko (53), atau Argentina (66). Kinerja ekonomi Indonesia juga berada di urutan ke-24, masih lebih baik dari Brazil (38), Meksiko (25), dan Argentina (62). Indonesia juga unggul untuk dua indikator lainnya, yakni efisiensi pemerintahan dan infrastruktur. Jika mendasarkan pada berbagai indikator tersebut, kondisi investasi di Indonesia semestinya jauh kompetitif. 

Namun jika merujuk pada tren investasi asing, UNCTAD (2024) mencatat sepanjang 2022-2023, realisasi investasi asing di Indonesia anjlok sebesar 13,63 persen, dari sebelumnya $25,3 milyar (2012) menjadi $21,6 milyar (2023). Bandingkan dengan Vietnam yang justru mengalami kenaikan, dari $17,9 milyar menjadi $18,5 milyar. Secara kumulatif, total realisasi kita juga masih kalah dibandingkan dengan Brazil, Meksiko, bahkan Argentina. Semuanya negara yang kerap disandingkan dengan Indonesia sebagai episentrum baru pertumbuhan ekonomi dunia, serta negara dengan investasi yang menjanjikan. 

Berbagai fakta ini tentu menyelip paradoks. Perbaikan beberapa indikator investasi tidak sejalan dengan peningkatan arus investasi asing. Tudingan paling mendasar adalah investasi kita yang sangat boros. Angka incremental capital output ratio (ICOR) Indonesia justru mengalami kenaikan, dari 5,2 pada 2004 melonjak menjadi 7,6 pada 2024. Ini artinya, setiap tambahan PDB sebesar $1, investasi di Indonesia membutuhkan tambahan modal sebesar $7 (Verico, dkk, 2024, Towards A Higher Growth Path for Indonesia). Oleh karenanya, pertumbuhan investasi tidak lantas berdampak nyata pada pertumbuhan. Kuantitas investasi yang tidak sejalan dengan efisiensinya hanya menghasilkan output yang kecil. Ini bisa jadi penjelasan paling valid mengapa pertumbuhan tidak meroket. 

Di sisi lain, dengan proporsi alokasi investasi di sektor manufaktur yang cukup gemuk, persoalan mendasarnya justru pada produktifitas tenaga kerja. Pekerja Indonesia termasuk yang tidak produktif di Asia Tenggara, hanya menempati peringkat ke-5, berada di bawah Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Thailand (Asian Productivity Organization, 2021). Padahal, industri manufaktur menyumbang 18,67 persen PDB Indonesia, menjadi kontributor terbesar. Ini berarti, investasi terjebak beban ganda: efisiensi dan produktivitas. 

Mendasarkan keberhasilan ekonomi hanya pada besaran investasi rupanya tidaklah cukup. Ekonomi kita terlalu kompleks, analisisnya perlu berpijak pada hal-hal yang lebih mikro dan teknis. Reformasi struktural nyatanya memang harus menyeluruh, tidak terbatas pada revisi peraturan. Ekonomi biaya tinggi yang menyebabkan input modal tidak sebanding dengan output produk, harus berjalan seirama dengan produktivitas tenaga kerja. Perizinan efisien mesti sejalan dengan peningkatan kualitas SDM. Dan yang juga penting, jangan sampai terjebak euforia, atau bahkan delusi. Kita perlu banyak-banyak mawas diri.***

Arifuddin Hamid
Peneliti Prolog Initiatives. Alumnus Magister Perencanaan Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan, FEB UI.

Dimuat Katadata, 27 Januari 2025