Langkah pemerintah dalam menata badan usaha milik negara (BUMN) berjalan bagai pendulum yang belum mencapai titik ekuilibrium. Setelah pada pembahasan APBN 2016 lalu gagal mendapatkan persetujuan parlemen melalui skema injeksi fiskal, kini pemerintah kembali mengajukan skema lain yang lebih korporatik, yakni penggabungan beberapa BUMN ke dalam suatu superholding. Skema yang nyaris mencapai klimaks ini kerap dikampanyekan sebagai upaya efisiensi agar mampu bersaing di kancah regional dan global. Namun demikian, terhadap proposisi ini, pertanyaan perlu diajukan: apakah skema ini justru tidak menekan keuangan negara di masa mendatang? Pertanyaan ini kian relevan ketika faktanya hanya segelintir BUMN yang meminta dana talangan dari negara untuk penyehatan korporasi. Jika pada 2015 silam negara mesti mengucurkan Rp64,9 triliun, bukankah jumlahnya kemudian akan berlipat ganda? Terlebih BUMN masih sangat berharap pada dana tertunda APBN 2016 sebesar Rp39,4 triliun.

Pemerintah dalam berbagai kesempatan selalu menyatakan bahwa investasi BUMN adalah dalam rangka menambah sumber penerimaan negara. Diharapkan dengan perbaikan kinerja dan daya saing, BUMN akan mampu menyetor dana lebih besar dari bagian keuntungan perusahaan kepada APBN. Argumen lama yang kembali mengemuka dan secara sistematik digaungkan pada masa Presiden Jokowi. Menguji propaganda fiskal ini, sejatinya perlu dilakukan telaah kritis sejauh mana investasi dana rakyat tersebut berdaya guna dan signifikan untuk menopang penerimaan negara yang timpang dan selalu dibawah target.

Jika dibandingkan dengan masa pemerintahan Presiden SBY (2010-2014), nilai investasi untuk BUMN tidak signifikan dalam kebijakan anggaran tahunannya. Pada APBNP 2010, alokasi untuk BUMN ini hanya sebesar Rp6,03 triliun. Pada tahun 2011, jumlahnya juga tidak bertambah signifikan, yakni hanya Rp8,24 triliun, menurun pada tahun 2012 (Rp7,6 triliun) dan terus menurun hingga mencapai angka Rp3 triliun pada 2014. Sementara kalau dibandingkan dengan realisasi bagian laba pemerintah dari BUMN, tren fiskal ini tidak bergerak searah dengan nilai alokasi investasinya. Pada tahun 2010 misalnya, besar dividen untuk negara senilai Rp30,1 triliun, justru menurun pada tahun 2011 menjadi Rp28,18 triliun. Padahal pada periode ini, alokasi pembiayaannya bertambah.

Paradoks mencolok justru terjadi pada tahun 2012 dan 2013. Pada periode ini, investasi BUMN menurun drastis dari Rp7,6 triliun (2012) menjadi Rp2 triliun (2013), akan tetapi bagian laba pemerintah justru mengalami peningkatan, yakni sebesar Rp30,8 triliun (2012) menjadi Rp34,02 triliun (2013). Volatilitas minus kausalitas antara harapan dan hasil dalam kebijakan investasi ini pada akhirnya memunculkan banyak tanda tanya, terutama menyangkut sejauh mana daya dorong pendanaan tersebut bagi perbesaran penerimaan negara.     

Menegaskan Prioritas

Jika membaca tujuan investasi BUMN dalam Nota Keuangan tahun 2016, pemerintah sedang berusaha mengoptimalkan peran BUMN menjadi agen pembangunan (agent of development) yang dapat mendukung Nawacita. Menurut penulis, disinilah letak pokok persoalannya, yakni apakah memang benar ada relasi kausal antara maksud optimis tersebut dengan desain pembangunan yang termaktub dalam Nawacita? Kewaspaan ini patut disampaikan sebab sampai sejauh ini pemerintah belum merumuskan peta jalan dan petunjuk operasional sebagai tafsir absah Nawacita. Sembilan poin yang disampaikan Presiden Jokowi sebagai bentuk komitmen kenegaraannya ini masih sangat normatif untuk dapat dikatakan sebagai dokumen teknis pelaksanaan arah pembangunan.

Pada pembahasan RAPBN 2016 lalu misalnya, pemerintah dan DPR sampai perlu berdebat panjang terkait skala prioritas pendanaan, apakah ruang alokasi ditujukan untuk melanjutkan investasi BUMN atau menegakkan prinsip desentralisasi fiskal. Pada akhirnya, politik anggaran pemerintah lebih diarahkan untuk memperkuat negara dari pinggiran, persis sebagaimana amanat salah satu poin Nawacita. Preseden ini, jika tidak disikapi secara serius, berpotensi menimbulkan akibat lanjutan tidak konstruktif dalam arah kebijakan mendatang. Bahkan bukannya tidak mungkin Nawacita akan menjadi konflik cita sehingga rapuh dalam pelaksanaannya.

Oleh karenanya, pemerintah perlu menyusun peta jalan pembangunan yang lebih realistik dan terarah guna mencegah potensi kegagalan tersebut menjadi aktual. Setidaknya ada dua langkah mendesak yang perlu dilakukan. Pertama, menegaskan cita prioritas. Dari sembilan cita yang hendak dituju, pemerintah perlu merumuskan cita prioritas sehingga dalam teknis kebijakan menjadi keniscayaan preferensif segenap komponen negara, terutama sekali pemangku kebijakan. Cita prioritas ini nantinya akan tercermin dalam agenda aksi kebijakan dan postur pendanaannya dalam APBN. Secara teoritik, pilihan-pilihan kebijakan (policy options) haruslah mengarah pada keniscayaan cita yang dianggap, tidak saja mampu memberikan efek pengganda terbesar bagi pertumbuhan, melainkan juga prasyarat bagi keberhasilan pertumbuhan itu sendiri. Dengan begitu, aparat negara di pusat dan daerah memiliki kesamaan paradigma dan persepsi tentang kemana negara akan dibawa pada suatu periode tertentu.

Jika mengacu pada fakta empirik yang ada, yakni rendahnya kinerja pembangunan yang ditandai dengan penyerapan di triwulan pertama 2016 yang hanya mencapai 8,3 persen (provinsi) dan 8 persen (kabupaten/kota), penegasan cita ini menjadi pekerjaan mendesak pemerintah. Pasalnya, penyebab utama terjadinya kemandekan tersebut karena pemerintah daerah tidak berani mendayagunakan kucuran dana untuk mendorong pembangunan. Dari fakta yang ada, kita mengetahui bahwa akar masalahnya ada pada ketidakpastian hukum terkait dasar kriminalisasi kebijakan. Jarak penafsiran yuridis antara pemerintah dan lembaga yustisi adalah salah satu faktor penghambat, kalau tidak dikatakan yang terbesar. Artinya, kalau pemerintah merasa bahwa ini adalah cita preferensif, pemerintah dapat saja memproklamirkan reformasi sistem, penegakan hukum, dan pembangunan dari pinggiran sebagai prioritas utama pembangunan selama sekian tahun pemerintahannya, terutama menegaskan alokasinya dalam kebijakan anggaran tahunannya. Kedua cita ini sangat mungkin bersenyawa dan berjalan harmonis dalam pelaksanaannya.

Kedua, menyusun rencana induk cita preferensif. Kalau kita bandingkan dengan masa pemerintahan sebelumnya, penegasan cita ini adalah sesuatu yang lumrah. Pada masa Presiden Soeharto yang menegakkan stabilitas pangan, atau Presiden SBY yang berani menawarkan “jalur infrastruktur” melalui konsep Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), sejatinya Presiden Jokowi tidak perlu ragu menempuh jalan yang sama. Tentu saja dengan penyesuaian-penyesuain objektif tantangan pembangunan di tahun yang baru, pemerintah harus berani untuk menyatakan jalan prioritasnya sendiri. Karenanya, tugas pemerintah selanjutnya adalah menyusun dokumen rencana induk pembangunan yang berisi petunjuk teknis dan langkah operasional, termasuk didalamnya standar dan nalar periodik pembangunan sebagai tafsir absah cita prioritas Nawacita. Pada akhirnya segenap pemangku kebijakan dapat berkonsentrasi penuh, fokus meraih cita yang dituju.      

Dengan adanya ketegasan dan dokumentasi cita ini, pemerintah tidak perlu sampai mengoreksi rencana pembangunan dan anggarannya, yang semata-mata karena DPR menilainya tidak prioritas. Karena kalau hal tersebut menjadi siklus tahunan, selain meruntuhkan ekspektasi di internal pemerintahan (termasuk BUMN), masyarakat dan pasar akan sulit meramalkan konsistensi pemerintah.

Arifuddin Hamid
Mahasiswa Pascasarjana Ekonomi, Universitas Indonesia
Opini dimuat Harian Investor Daily, 10 Juni 2016 [tanpa edit]