Selama dasawarsa terakhir, pembangunan infrastruktur mendapatkan perhatian sangat besar.

Tidak saja terangkum dalam dokumen rencana jangka menengah sebagai manifestasi politik kebijakan presiden terpilih, pemerintah bahkan merasa perlu menetapkannya dalam suatu paket kebijakan khusus, berikut skenario pendanaannya yang melibatkan peran serta swasta, nasional dan internasional, dan juga lembaga pendanaan multilateral.

Paket kebijakan yang dulu kita kenal dengan Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) tersebut, kini di era Kabinet Kerja yang berjargon Poros Maritim juga memprioritaskan hal yang sama.

Besarnya alokasi anggaran untuk pembangunan infrastruktur menampilkan persoalan ganda, terkait dengan realisasi fisik dan utilisasi pembangunan.

Dalam kurun 2005—2014, pendanaan infrastruktur mengalami tren kenaikan yang konsisten. Pada 2005, alokasi APBN untuk infrastruktur sebesar Rp26,1 triliun, terus menaik hingga 208 triliun pada 2014, dengan rata-rata pertumbuhan 19,25%. Kenaikan terbesar terjadi pada 2006 sebesar 106,8%.

Apabila dibandingkan dengan pertumbuhan rata-rata belanja pemerintah pusat (14,23%), pendanaan infrastruktur masih lebih tinggi, dengan selisih 5%. Selain itu, dari rasio belanja infrastruktur dibanding total belanja pemerintah pusat (di luar dana transfer ke daerah), secara umum belanja infrastruktur menaik, yakni dari 16,54% pada 2013 menjadi 16,9% pada 2014.

Fakta ini menunjukkan bahwa selama sepuluh tahun terakhir, proyeksi kebijakan fiskal pemerintah adalah progresif infrastruktur. Akan tetapi kenaikan alokasi belanja infrastruktur ini belum menunjukkan hasil signifikan bagi peningkatan daya saing.

Berdasarkan laporan Bank Dunia (2014) dalam publikasi tahunannya “Connecting to Compete: Trade Logistic in the Global Economy” pada 2014, Logic Performance Index (LPI) Indonesia hanya meraih peringkat ke-53, jauh lebih rendah ketimbang Malaysia (25), Thailand (35), bahkan Vietnam (48). Lalu apa maknanya hasil pemeringkatan ini?

Kalau menilik realitas fiskal, terlihat fakta ironis. Bahwa meskipun alokasi infrastruktur dalam belanja pemerintah pusat menaik dari berbagai aspek rasio, persoalan berpangkal dari disparitas komitmen antarjenjang pemerintahan. Tren kenaikan alokasi infrastruktur dalam belanja fiskal daerah mengalami kesenjangan dibanding rasionya terhadap total belanja.

Studi oleh Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra, 2011) terhadap pengelolaan anggaran di 42 kabupaten/kota dan 5 provinsi periode 2007—2010 misalnya, menemukan beberapa fakta mencengangkan, yakni belanja infrastruktur hanya berkisar antara 5%-25%. Bahkan di Lombok Timur, Kota Surakarta, Garut, dan Sumedang, hanya mencapai 5%--6% dari belanja keseluruhan.

Belum lagi volatilitas belanja infrastruktur yang sangat tinggi. Namun yang lebih miris, besaran alokasi infrastruktur tidak diikuti oleh komitmen pembangunan kualitas, justru dijadikan sebagai ladang korupsi.

Dalam studi yang dilakukan oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD, 2012) terkait dengan kualitas pembangunan jalan, peningkatan anggaran pemerintah daerah untuk infrastruktur di daerah tidak diikuti dengan peningkatan kualitas infrastruktur secara signifikan.

Menurut KPPOD, peningkatan nilai belanja infrastruktur terjadi karena ‘biaya korupsi’ dimasukkan sebagai salah satu variabel beban keuangan oleh kontraktor proyek. Semakin tinggi korupsi, semakin rendah produktivitas belanja jalan. Bukti empiris terlihat juga dalam sengkarut pemanfaatan dana penyesuaian infrastruktur daerah (DPID) yang menyeret beberapa pemangku kebijakan ke balik jeruji.

Berdasarkan studi ini, nalar infrastruktur tidaklah berwujud tunggal dan terlepas dari pembangunan sektoral lainnya. Fakta bahwa korupsi menjadi penyebab tidak berkualitasnya infrastruktur kita menjelaskan bahwa pembangunan mestilah bersifat holistik.

PERBAIKAN KELEMBAGAAN

Menurut penulis, persoalan klasik yang kerap terlupakan dan tidak serius tertangani adalah perbaikan kelembagaan. Dalam laporan WEF 2015/2016, daya saing kelembagaan kita masih berada di urutan ke-55, dengan indeks 4.09. Fakta yang menarik, pergerakan indeks kita memiliki volatilitas yang tinggi.

Indeks tahun 2012—2014 memiliki tren pergerakan naik yang konsisten, kemudian menurun kembali di 2015 sebesar 0.02 poin. Sebaliknya dari 2009-2011 indeks kelembagaan menurun simultan, yang naik kembali di 2012.

Volatilitas indeks kelembagaan ini menggambarkan belum adanya kebijakan reformasi kelembagaan yang terpadu, efektif, dan berkesinambungan. Padahal ketidakpastian hukum dan tumpang tindih kebijakan adalah faktor yang menjadikan ekonomi berbiaya tinggi.

Karenanya, paradoksal antara daya saing infrastruktur dan kelembagaan tersebut menjelaskan parsialitas kebijakan pemerintah dalam memaknai daya saing perekonomian. Pembangunan infrastruktur akan menjadi pangkal persoalan baru dalam kelembagaan yang buruk.

Fakta sebagaimana disampaikan di atas adalah cuilan penjelasan atas rendahnya indeks kinerja logistik kita. Dan inilah dilema implistiknya, sekaligus menjadi persoalan di sektor hilir pendanaan infrastruktur. Pada akhirnya memunculkan paradoks lain, yakni disfungsi utilitas infrastruktur itu sendiri, yang semula dimaksudkan sebagai stimulan kelancaran arus distribusi, justru menjadi medium urbanisasi.

Kebijakan pembangunan infrastruktur yang senjang dan parsialistik memicu peningkatan arus urbanisasi. Faktanya memang demikian.

Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik, tingkat urbanisasi dari 1990-2025 menunjukkan peningkatan simultan. Bahkan pada 2025 nanti, sebanyak 65% penduduk Indonesia akan tinggal di perkotaan.

Proyeksi paling mendebarkan adalah tingkat urbanisasi di empat provinsi: DKI Jakarta, Jawa Barat, DIY, dan Banten, akan lebih dari 80% pada 2025. Terlebih pada kurun 2010-2020, porsi populasi Indonesia berusia di bawah usia 30 tahun adalah 60%, dengan persentase populasi berusia antara 15 dan 64 tahun sebesar 67% pada tahun 2025, usia angkatan kerja ini potensial memasuki Ibu Kota (ADB, 2013).

Kita patut curiga, kegagalan ini berakar pada aras paradigmatik, bahwa selama pembangunan infrastruktur di Jakarta lebih berkualitas dan berlaju tinggi ketimbang daerah, maka konsep dan kebijakan konektivitas nasional akan memunculkan persoalan baru, dan penciptaan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di daerah akan hanya sebatas wacana.

Infrastruktur sebagai prasyarat kemajuan menampilkan paradoks ganda, yang barangkali akan menghentak kesadaran kita akan suatu delusi—keyakinan tidak berdasar.

*) Arifuddin Hamid, Peneliti Partnership for Strategic Initiatives; Mahasiswa Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, FEB UI

Opini dimuat Harian Bisnis Indonesia, 16 Februari 2016